Chereads / Biarkan Tahi Mengambang / Chapter 2 - Gembelengan*

Chapter 2 - Gembelengan*

"ya mustofa, ya mustofa! Anak bakhil namanya mustofa, sana sini nggak ada akhlaknya. Coba suruh nasehatin...!" begitulah kiranya suara nyanyian khas pengamen keroncong tanggapan* di warung tersebut.

Sembari memijat kepalanya ketiga klien tersebut mengumpulkan keberanian untuk melontarkan sepatah-dua patah kata kepada Jemadi.

"Mohon maaf tuan, begini sebelumnya mohon maaf apabila kami..." ucapan Pak Eko seorang guru terbata-bata langsung terpotong.

"Sampai Shubuh juga minta maaf terus! Bicara yang jelas!" Jemadi sedikit menggertak.

"Biar saya luruskan tuan, kami di sini merupakan sahabat lama yang sedang reuni. Namun kami sedang ada kerenggangan antara hubungan kami..." lanjut Pak Eko

"Kerenggangan karena hutangmu maksudnya?" ledek Suparno, seorang pedagang yang mahsyur.

"Heleh, kau juga sering sakit-sakitan! Makanya, jangan kikir!" timpali Gunadi seorang tabib.

Brakk! Ceplas! begituah kiranya teguran Jemadi yang tiba-tiba.

"Kalau bicara, pelan pelan! Sampaikan secara utuh tolol! bentak Jemadi kembali... "Baik, sekarang kau Eko! Kau ini kan seorang guru? Tolonglah sampaikan secara ringkas, padat, dan lugas!" lanjutnya.

"Baik tuan Jemadi, jadi yang dimaksud kerenggangan di sini adalah saling tidak terimanya kami atas peran masing-masing." lanjut Eko.

"Apakah kalian mengeluhkan soal uang? Atau saling ejek tentang kondisi ekonomi?" Jemadi mencoba memastikan.

"Bukan, bukan begitu tuan. Maksud saya adalah, kami...."

"Begini tuan Jemadi! Si Eko ini telah berhutang materi kepada saya. Logistik saya telah memasoknya, jangankan untuk guru! Untuk semua penduduk se-karesidenan ini, saya mampu tuan. Betapa tidak terimakasihnya si Eko ini...!" potong Suparno angkuh.

"Lantas, apa yang kau tagih?" ucap Jemadi sembari menatap Suparno dengan jengkel.

"Saya tidak menagih berupa materi, hanya saja tolong hormatilah kaum pedagang! Kaum makelar! Bukan perkara mudah mengendalikan pasar! Bukan perkara mudah mengatur pemasokan barang! Begitu saja kau masih sombong mau makan seadanya..." lanjutnya mencari muka.

"Bagaimana saya mau menghargai? Lha wong para pedagang saja harus lulus Sekolah Rakyat terlebih dahulu baru bisa membaca dan menulis! Dimana moralmu itu?" ucap Eko tak terima.

"Jangankan harus lulus Sekolah Rakyat! Semua warga juga tahu, bila mereka semuanya tidak sehat tidak akan ada yang namanya pedagang, petani, guru, kiai, ulama! Siapa yang mereka datangi? Sudah pasti tabib dan dukun!" timpali Gunadi tidak mau kalah.

"Jadi menurutmu kaulah yang terhebat? Ya sudah! Aku terpaksa menghentikan pasokan barangku untuk daerahmu! Biar mereka kelaparan, urus saja kesehatan mereka!" Suparno meng-amin-kan pernyataan sang tabib.

"Ya sudah sana, aku juga akan memberitakan ini pada seluruh serikat tabib dan tenaga kesehatan. Bahwa tidak usah mengurusi kesehatan para penduduk lagi. Kalaupun diurus, hanya para pejabat saja yang kami urus. itupun dengan harga yang sangat mahal!" jawab Gunadi tak kalah angkuh.

"Akhirnya kalian tidak tahu diri juga ya!" celetuk Eko sang guru.

"APA MAKSUDMU?" gertak Suparno dan Gunadi hampir bersamaan.

"Jikalau demikian, maka aku dan keluargaku akan pergi saja ke negeri seberang. Aku akan meninggalkan kebodohan di sini, dan mencari suaka yang lebih bermoral!" ucap Eko sinis.

"Ya sudah! Pergi sana semaumu!" bentak Suparno geram.

"Semoga kau temukan orang bermoral, dan semoga saja kau tidak terjangkit malaria." Gunadi mencibir tajam.

Jemadi yang kala itu mendengarkan perdebatan mereka bertiga tidak tahu harus mengekspresikan apa? Antara ingin tertawa terbahak-bahak atau ingin membunuh para manusia tolol itu perlahan. Namun yang pasti, Jemadi telah mempersiapkan jawaban yang bisa membuat mereka malu terkencing-kencing dan tidak ingin bertemu dengannya lagi.

Bersambung...

Glosarium

Gembelengan = ngawur dalam memikul tanggung jawab

Tanggapan = bayaran/sewa, biasanya berlaku untuk seniman, musisi, dan jasa lainnya.