Kafetaria hanya diisi oleh beberapa orang, kebanyakan dari mereka berkelompok dan tampak mengobrol satu sama lain. Beberapa lainnya sedang melahap makanan sambil sibuk dengan rumus-rumus kalkulus. Sebagian malahan tampak tak tidur dan sibuk mengetik di laptop. Suara ketikan keyboard terdengar mendominasi daripada dentingan alat makan. Kafetaria seolah sudah kehilangan fungsi utamanya, tempat makan para mahasiswa dan staff kampus.
Hal yang sama terjadi pada pemuda berambut sehitam arang, bibir semerah darah, dan kulit seputih salju. Sayangnya binar dikedua bola matanya berpendar remang, cepat atau lambat bisa menghilang sendirinya. Manik rubah nya menatap tanpa minat pada nampan berisi makanan khas kafetaria, perkedel dan beberapa daging asap. Setiap hari menu akan selalu diganti, sehingga meminimalisir rasa bosan, sebuah teknik marketing yang selalu berhasil menarik minat pembeli. Apalagi bagi para mahasiswa yang tak punya banyak waktu untuk membeli makanan di luar.