Sesampainya di indekost, Shireen memasukkan motornya ke dalam garasi. Rumah besar yang di huni oleh para pekerja yang merantau dari daerah itu nampak sepi. Kamar Shireen berada di lantai tiga, paling ujung dekat tangga menuju lantai atas tempat jemuran.
Dia membuka pintu kamar lalu membanting dengan kasar, tubuhnya dia lempar ke atas kasur. Hatinya benar-benar kesal terhadap lelaki yang dia temui, sekaligus merepotkannya dalam urusan pembunuhan. Flashback kejadian di klinik sebelum pulang.
Dua jam dia duduk di lobby klinik, Sullivan belum juga keluar dari ruang pemeriksaan dokter. Shireen sempat tertidur karena lelah setelah seharian bekerja, ditambah lagi lemburan yang mendadak harus dia jalankan. Imelda, temannya tidak bisa masuk malam itu.
Shireen merasa penasaran, apakah Sullivan keluar diam-diam saat dirinya tertidur. Atau melanjutkan sandiwaranya pura-pura sakit dan bermalam di klinik. Dia sudah menduga kalau orang seperti Sullivan pastilah banyak uang, diskotik tempatnya bekerja, bukanlah tempat kaleng-kaleng.
Para pria hidung belang, pejabat, bahkan anak seorang alim saja datang kesana. Shireen sudah terbiasa bertemu dengan banyak orang seperti itu, walau tidak semua mabuk dan bermalam dengan wanita cantik. Ada juga yang hanya mengobrol melepas penat, namun orang yang seperti itu bisa di hitung dengan jari.
Dia melangkahkan kakinya menuju ruang pemeriksaan, pintu sedikit terbuka. Terdengar suara seperti orang berdebat, Shireen memperlambat langkah dan memasang telinganya. Dia berdiri menguping didekat pintu, samar terdengar suara Sullivan dan seorang dokter wanita.
"Sulli, come on baby. Maafkan saya," ucap Dokter.
"Diamlah, saya mau pulang," tukas Sullivan.
"Sulli, aku ...." Ucapan Dokter terhenti, Sullivan mengangkat jarinya. Dia melihat bayangan seseorang yang tercermin di lantai keramik berwarna putih.
"Terima kasih, ya, Dok. Saya akan segera tebus obatnya," kata Sullivan, mengalihkan pembicaraan mereka.
"Sama-sama, lekas sembuh," balas Dokter, mendesah pendek.
Shireen mengetuk pintu, mereka berdua menoleh ke arahnya. Shireen mengulumkan senyum, Dokter mempersilakan duduk padanya. Dibalik mejanya Dokter menuliskan resep obat, Sullivan duduk di ranjang pasien.
"Ini obat yang harus ditebus untuk Bapak, kalau boleh tau adik siapanya?" tanya Dokter.
"Emh, istrinya, Dok," jawab Shireen cepat. Matanya melirik Sullivan yang melotot ke arahnya.
"Istrinya? Muda sekali yah, cocoknya jadi Om sama ponakan," seloroh Dokter, tersenyum tipis.
"TErima kasih, Dok. Saya permisi pulang, ayo say-sayang kita pulang," ajak Shireen, menghampiri Sullivan dan menggandeng tangannya.
Sullivan menepis halus tangannya, tapi dia terus mengapit pria itu dan berkata ," Sudah diam! Aku mau pulang, capek banget badanku ini. Gara-gara kamu, aku jadi ribet," bisiknya.
"Ngapain lo ngenalin diri jadi bini gua," balas Sullivan berbisik.
"Vudu amat, buruan pulang," ketus Shireen.
"Eheem, ehem." Dokter berdehem, melihat ereka masih di dalam ruangannya dan berbisik-bisik.
"Maaf, Dok, mari," ucap Shireen menganggukkan kepalanya, lalu dia menyeret Sullivan keluar dari ruangan.
Saat berada di apotek yang bersebelahan dengan loby, Sullivan memindai keadaan. Dua motor yang mengikutinya masih terlihat menunggu. Dia mulai merasa gelisah, dua jam mengulur waktu dengan Dokter Kanaya Adiyaksa, teman hidupnya. Ternyata tidak membuat anggota geng Bedog beranjak pergi.
Shireen menunggu apoteker menyiapkan obat, kantuk kembali menyerang wanita itu. Sullivan berbalik ke ruangan Dokter Kanaya, di sana wanita itu terlihat membenamkan wajahnya di meja kerja.
"Kanaya, aku boleh minta tolong?" ucapnya, dengan wajah gusar.
Mendengar suara Sullivan kembali, Dokter Kanaya mengangkat wajah. Terlukis jelas di pipi mulusnya, bekas air mata mengalir. Wanita berambut pendek, dengan kacamata yang menghiasi mata bulatnya yang indah. Segera menghampiri Sullivan, kepalanya mengangguk setuju membantu pria itu.
"Thanks," ucap Sullivan, mengusap bahunya.
"Your welcome, Sulli," jawab Dokter Kanaya.
Shireen kebingungan melihat Sullivan tidak ada di tempatnya. Dia merutuk kesal, karena terus dipermainkan oleh pria yang baru saja bertemu dengannya. Sekaligus menyeretnya ke dalam masalah, dia berdiri mematung menunggu Sullivan kembali.
Dalam pikirannya mungkin Sullivan sedang ke toilet buang air kecil. Sepuluh menit menunggu, sebuah brankar terdengar didorong dari lorong yang terhubung dengan ruangan Dokter. Shireen terpaku saat semakin dekat, dia melihat wajah Sullivan tertidur di sana.
Sebagian tubuhnya di selimuti kain putih, hidungnya tertanam selang oksigen. Shireen menutup mulut, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia pun berlari menghampiri Dokter dan perawat yang mendorong brankar.
"Do-dokter, di-di teh kenapa, ku-kunaon? Ta-tadi, dia ber-diri di-situ," tanya Shireen, gelagapan. Hatinya panik melihat keadaan Sullivan.
"Emm, itu, Bu, dia," sahut Dokter Kanaya, kebingungan menjawab Shireen.
"Kenapa? Dia stroke? Jantungan? Atau ambeien, Dok?" ulangnya mencecar Dokter dengan pertanyaan.
"Dia ...." Dokter Kanaya terdiam, tidak melanjutkan ucapannya. Tangannya mencubit lengan Sullivan.
"Aduh." Sullivan mengusap tangan kanannya.
"Lah, dia ...." Shireen menunjuk-nunjuk Sullivan, matanya bergiliran menatap pria itu dan Dokter Kanaya, meminta jawaban.
Sullivan membuka selang oksigennya, pria itu menatap Shireen lekat. "Gua baik-baik aja, lo pulang sana. Kan, tadi bilang udah ngantuk. Bisa, kan, pulang sendiri," ucapnya, lalu memasang kembali selang oksigen di hidungnya.
"Jadi, semua ini sandiwara?" tanya Shireen, napasnya masih terengah-engah. Dokter Kanaya dan dua perawat yang mendorong brankar, mengangguk serentak.
"Udah, lu pulang aja sana. Dua orang itu nggak bakalan ngejar lu, kok. Mereka ngincarnya gua," perintah Sullivan.
Shireen merutuk kesal, dia marah karena merasa di olok-olok dengan tingkah Sullivan. Dia menghampiri Sullivan, lalu menarik hoodie yang melindungi kepala pria itu.
"Kamu, sumpah! Aku gak bakal lupain muka kamu yang ngeselin ini! Udah ngerepotin, ngelibatin orang dalam masalah. Sekarang nyuruh pulang seenaknya, nggak berterima kasih pula. Dasar manusia nggak sopan!" rutuknya, kesal dan membalikkan badan. Namun, Sullivan meraih tangannya.
"Jangan suka marah-marah begitu, cepet tua nanti, menor" ujar Sullivan.
'Bujug, menor?' bisik hati Shireen.
"Suing!" makinya, lalu berjalan cepat ke luar klinik.
Beriringan dengan Shireen, brankar ikut melaju ke parkiran. Lalu memasukkan Sullivan ke dalam ambulance. Shireen masih duduk diatas motornya, saat ambulance keluar parkiran. Dia pun mengikuti dari belakang, dia takut nyawanya dalam bahaya karena dua motor itu masih terlihat mengintainya.
"Ck, dia lolos lagi," ucap pria berbadan gempal, menatap ambulance yang melaju.
"Lo yakin, dia orangnya?" tanya salah seorang temannya.
"Yakin, dia orang yang bos kita inginkan. Lihat saja caranya melarikan diri, benar-benar halus. Tidak mencurigakan dan membuat keributan sedikitpun," jawabnya.
"Tapi Gong, kita tadi nggak lihat mukanya," timpal seorang teman di motor sebelah.
"Kalian ingat! Dia itu bergerak dalam diam tapi mematikan, siapapun tidak ada yang bisa menebaknya. Dia memang beruntung, selalu selamat dari tangan kita."
"Terus kita gimana sekarang?"
"Balik aja, bos pasti paham. Susah nangkap orang kaya dia."
"Emang, siapa sih dia?"
"Gue nggak tau pasti, yang jelas dia sering di panggil Ngah atau Sulli."
Dua motor geng Bedog pun membubarkan diri. Mereka kembali ke markasnya, karena sadar sangat Sullivan menangkap Sullivan, buruan mereka selama ini.
Shireen memukul-mukul bantalnya, dia merasa kesal dan marah. Baru kali ini, dia dipanggil menor oleh seorang pria. Selama ini tidak pernah ada yang mengoreksi penampilannya dan selalu memuji dirinya cantik. Sullivan membuatnya merasa menjadi cewek paling buruk di diskotik D'jacko.
"Semoga, aku nggak ketemu lagi sama dia. Ih, sumpah kesel banget disebut menor." Shireen meremas bantal, lalu membenamkan kepalanya sampai akhirnya dia tertidur.