"Iy-- iya." Kendra berusaha bangkit dan mengajak kelompoknya pergi.
Sullivan tersenyum lebar, ia membantu satu persatu pemuda yang terkapar. ayam sedikit anak kecil juga ikut kena keberingasan kelompok Tangsel. Sebagian pemuda membawa temannya ke rumah sakit.
Sebagian lagi mengurus temannya yang lain. Sullivan sedih melihat keadaan ini, ia sangat tidak suka dan benci kekerasan. Ia tidak bisa membiarkan hal tersebut terjadi di depan matanya.
"Man, makasih ya udah SMS saya," ucap Sullivan pada Man.
"Kami yang makasih, kalau nggak ada Om. Habis udah kami semua," sahut Man, matanya berkaca-kaca.
"Hei! Cowok jangan cengeng!". Sullivan mengacak rambut Man.
"Om, jangan tinggalkan kami." Man menghambur ke dalam pelukan Sullivan.
"Kami butuh Om, Om orang baik. Kami nggak takut kalau ada Om," kata Man sambil terisak.
"Sudah, hidup itu harus kuat, Boy. Jangan lemah oke, lo cowok jangan cengeng."
Man menganggukkan kepalanya dengan cepat, ia bergerak cepat melihat keadaan teman-temannya. Setelah memastikan semua keadaan baik-baik saja. Sullivan segera beranjak pulang kembali ke kantornya.
Namun, ditengah jalan ia dicegat oleh Bryan dan anak buahnya. Motornya yang sedikit rusak, tak bisa mengelak. Sullivan memilih berhenti dan menghadapinya, matanya ia tajamkan untuk mengamati benda-benda di sekitar.
Ia melihat beberapa benda yang bisa ia gunakan jadi senjata. Dalam beberapa detik ia menganalisa apa yang dibawa anak buah Bryan. Sullivan lega karena ia tidak mencium bau peluru atau pistolnya itu sendiri. Mereka semua hanya membawa senjata rakitan seperti tadi.
"Hai jagoan! Lewat sini juga kamu." Bryan berkata, matanya nyalang menatap Sullivan.
"Mau apa lo," sahut Sullivan pendek.
"Gue denger, lo bisa ngalahin banyak anak buah gue dalam sekejap. Ternyata, jiwa preman lo nggak bisa dibunuh ya," cibir Bryan.
"Gua nggak ada waktu. Minggir! Gua mau pulang." Sullivan bersiap dengan motornya.
"Sullivan!" bentak Bryan, dengan langkahnya yang cepat, ia meluncur hendak menyerang Sullivan dengan tongkat besi di tangannya. Tapi, Sullivan bisa menangkisnya dengan tepat.
"Katakan, di mana Clarisa!" teriak Bryan.
"Buat apa lo tahu di mana dia. Kalau lo cuma bisa nyakitin hatinya," sahur Sullivan, mereka tegang saling dorong.
"Bukan urusan lo! Lo tahu nggak Sulli, dia bawa semua harta gue bajingan!" Bryan terus mendorong Sullivan.
"Tapi, Lo punya sesuatu yang lebih dari itu Bryan."
"Maksud lo?"
Sullivan melotot lalu terdiam, ia hampir saja mengatakan apa yang selama ini ia sembunyikan. Sullivan menginjak kaki Bryan, lalu menarik tangannya dan membalikkan tubuh Bryan hanya dengan satu tarikan.
"Haaaaa." Bryan berteriak kesakitan, ia ingin meronta, tapi cengkeraman tangan Sullivan terlalu kuat.
"Gua sudah peringatkan lo sejak tadi, jangan halangi jalan gua," bisik Sullivan.
Beberapa orang anak buah Bryan maju hendak menghajar, tapi Sullivan mengancam akan mematahkan leher bos mereka. Bryan pun meminta mereka untuk mundur, ia tidak mau mengambil resiko atas nyawanya. Ia tahu bagaimana Sullivan bertindak, tidak pernah ancaman kosong.
"Mundur! Kalian mundur!" Bryan memberikan perintah.
"Bryan, lo tahu siapa dan bagaimana gua. So, jangan bertindak keterlaluan sebelum lo, menyesal nantinya," ancam Sullivan.
"Persetan lo! Gue makin benci sama lo Sulli."
"Up to you." Sullivan mendorong tubuh Bryan dengan keras, sampai tubuh kecilnya tersungkur ke jalanan aspal. Ia segera membawa sepeda motornya dan menjauh Bryan beserta Geng Bedog.
"Bos, kok, diam aja sih," protes seorang anggota.
"Tolol! Jangan gegabah menghadapi dia, jika sudah seperti itu kita akan kesulitan, tau!"
Bryan menggerutu dalam hatinya, ia merasa malu dikalahkan oleh Sullivan di depan anak buahnya. Dendam dalam hatinya kian membara dan membuat relung jiwanya semakin terbakar. Ia Ingin membunuh Sullivan secara perlahan.
"Cih! Tunggu tanggal mainnya Sullivan."
***
Sesampainya di kantor, Sullivan melihat Shireen tertidur lelap. Wajah polos wanita itu membuatnya teringat pada Liliana. Meski sekarang ia sudah menikah dengan Kanaya. Nyatanya pernikahan tersebut hanya sebatas di atas selembar kertas.
Sullivan sama sekali tidak mencintai Kanaya. Karena sejak awal mereka berkomitmen, tidak main perasaan dan hanya sebatas jadi seorang teman hidup yang saling membutuhkan. Dalam surat perjanjian nikah yang mereka tanda tangani.
Di sana tertulis bahwa Kanaya tidak boleh menuntutnya secara perasaan dan mengatur segala hal tentangnya. Mata Sullivan enggan beralih dari wajah Shireen, ia merasakan sesuatu yang telah lama hilang. Sebuah gairah yang ia pernah rasakan sekali seumur hidupnya.
Keesokan harinya Shireen kaget, karena ia sudah pindah ruangan. Saat membuka matanya, ia berada di dalam kamar berukuran dua kali tiga meter. Hanya ada kasur busa dan lemari kecil di dalamnya, tak lama kemudian Sullivan masuk membawa sesuatu di tangannya.
"Morning," sapa Sullivan.
"Yes," sahut Shireen, ia menggeliat pelan.
"Apa itu?" tanya Shireen kemudian.
"Mau kerja nggak? Katanya kerja apa aja mau." Sullivan duduk jongkok didekatnya, lalu menyerahkan seragam kerja yang masih dibungkus dalam plastik.
"Mau dong, kerja apa?" sambut Shireen antusias.
"Tukang bebersih di kantor ini," jawab Sullivan, wajahnya tersenyum semringah.
"Nggak masalah dah, asal gue makan. Thanks, eh makasih Om tua," ucap Shireen lalu menghambur memeluk Sullivan.
"Udah ah, jangan lebay begitu. Buruan mandi dan ganti baju, hari ini hari pertama lo kerja."
"Apa? Hari ini? Tapi, gue masih capek tahu!"
"Mau capek atau nggak makan?" Sullivan mendelik tajam. Shireen nyengir kuda, lalu bergegas mandi.
Sullivan sudah berada di ruangannya, ditangannya ia memegang foto Shireen saat mereka di Kanada. Sullivan sadar sesuatu bahwa Shireen lumayan cantik. Ia mengamati gesture senyuman Shireen, banyak beban yang belum lepas dari pikirannya.
"Permisi, Om, kopinya." Shireen tiba-tiba masuk ke ruangan.
Sullivan terkejut dengan kedatangan gadis itu yang tidak mengetuk pintu. Foto yang sedang dipegangnya pun jatuh ke lantai dan melayang tepat di bawah kaki Shireen. Sullivan memasang wajah dinginnya dan menatap tajam pada Shireen.
"Lo emang nggak tahu sopan santun ya. Stupid banget jadi orang," teriak Sullivan.
Shireen masih tertegun di tempatnya.
"Kalau masuk itu ketuk pintu dulu, ngerti nggak," bentak Sullivan, suaranya sampai terdengar keluar. Beberapa orang menguping di dekat pintu.
"Mas-- maaf-- Om," ucap Shireen, tangannya gemetar mendengar kemarahan Sullivan.
"Saya bos kamu! Jadi bersikaplah selayaknya bawahan dan atasan. Cepat simpan kopinya di meja sana!" titah Sullivan.
Shireen merasa takut, badannya gemetar dan langkahnya ia coba stabilkan. Setelah menyimpan kopi di meja, ia pun melangkah mundur. Tapi karena tidak hati-hati, ia bertabrakan dengan Sullivan.
Beruntung pria itu menangkapnya tepat waktu, sehingga ia tidak jatuh ke lantai. Beberapa saat mereka saling memandang, debaran jantung Shireen berpacu dengan cepat. Tiba-tiba Kanaya masuk dan melihat pemandangan tak mengenakkan baginya.
"Ekhem, Sulli." Kanaya berdeham.