Chereads / Secret Friendzone / Chapter 17 - Gadis Kampung

Chapter 17 - Gadis Kampung

"Om, mah suka gitu ah. Ngebetin banget!" Shireen mencebik kesal.

"Biasa aja sih, o yah, pertama kali Lo layanin pelanggan. Gimana perasaan Lo?" selidik Sullivan.

"Ya, deg-degan dan takut. Tapi, lama-lama biasa, Om," jawab Shireen.

"Lo nggak ngerasa terhina di gituin sama cowok? Apa motif Lo melakukan hal ini?"

"Terpaksa, nggak ada kerjaan yang cepat kasih duit. Adek gue pada sekolah, gue nggak mau nasibnya sama kaya gue begini." Muka Shireen memanas, air matanya turun.

"Gue mau mereka bahagia, biar gue yang berkorban," lanjut Shireen.

"Oh, nice," sahut Sullivan, ia pura-pura tidur.

"Ya gitu lah, siapapun mau hidup enak dan kerja bersih. Tapi, nggak semua orang bisa dapat, kan."

Hening, tidak ada sahutan dari Sullivan. Shireen menoleh dan mendapati pria itu terlelap. Ia pun merutuk kesal dan mengepalkan tangannya.

Pukul dua dini hari, mereka sudah bersiap menuju bandara. Saat Shireen terlelap tidur, Sullivan bangun dan mengecek semua persiapan mereka. Ia meminta pada Yudi untuk waspada, karena takut anak buah Bryan masuk kapan saja untuk menculik Shireen.

"Yud, sekecil apapun Lo jangan lengah laporan ke gue. Selama gue pergi, bos Rangga pasti bikin ulah," pesan Sullivan.

"Siap, Pak bos," sahut Yudi, menaruh tangan di jidatnya.

Di dalam mobil, Shireen sibuk memasang syal tebal di lehernya. Ia merasa kedinginan dari AC mobil yang dinyalakan. Sullivan melirik sekilas kesibukan Shireen, lalu kembali fokus pada laptopnya.

"Baru AC mobil, gimana di Kanada. Sekarang lagi musim salju," komentar Sullivan, tanpa menoleh.

"Maklum, orang gunung jarang main jauh," sahut Shireen tersenyum kecut.

"Awas Lo malu-maluin gua di negara orang. Kalau sampai kejadian, gua tinggal Lo di sana."

"Jahat amat sih jadi manusia!" sungut Shireen.

"Jahat diluar baik di dalam dia Mbak," imbuh pak sopir.

"Pri, jangan mulai," sanggah Sullivan. Pak sopir yang dipanggil Pri, terkekeh pelan.

"Emang kenapa? Dia baik sama Bapak?" Shireen bertanya, sengaja meledek Sullivan.

"Nanti, Mbak sendiri yang akan rasakan kalau sudah dekat dengan beliau," jawab Pak Pri.

"Idih, beliau, hahaha. Emang cocok sih, tua hahaha." Shireen tertawa puas mendengar Sullivan dipanggil beliau.

Kesal dengan tingkah gadis itu, Sullivan mengambil tisue beberapa lembar. Lalu menyumpalkan nya ke dalam mulut Shireen.

"Emmhhh, emmmhh." Shireen hanya mengeluarkan suara erangan.

"Jangan macam-macam," ancam Sullivan.

Sesampainya di bandara, mereka langsung melakukan serangkaian

prosedur check in. Dari mulai memeriksa kartu identitas, tiket pesawat, paspor. Sullivan langsung menerima boarding pass, ia pun segera membawa Shireen ke gate penerbangan terdekat.

Supaya tidak ketinggalan informasi jadwal penerbangan. Walaupun sudah sering naik pesawat dan bepergian, Sullivan tidak pernah mau ceroboh. Ia memang sangat disiplin waktu, manajemen time selalu ia atur sedemikian rupa.

Mata Shireen berpendar ke sekitar, ia merasa aneh melihat situasi di dekat gate. Ruang tunggu, kapsul hotel, dan berbagai macam kafe. Seumur hidupnya ia baru merasakan berada di area bandara. Sullivan datang membawa dua cangkir kopi panas, ia tahu Shireen tipe orang yang menyukai kopi.

"Wih, kok, tahu gue suka kopi, Om," kata Shireen, mengambil gelas miliknya.

"Keliatan dari muka Lo, burik," jawab Sullivan, santai.

"Suing Lo!" tukas Shireen. "Om, itu apaan? Kok, orang bisa masuk sana? Tempat pijat?" tanyanya menunjuk kapsul hotel.

"Serius, Lo nggak tahu itu apaan?" Sullivan balik bertanya.

Shireen menggelengkan kepalanya pelan.

"Itu namanya kapsul hotel, orang yang punya duit biar bisa istirahat bisa sewa itu. Bayarnya per empat sampai enam jam," jelas Sullivan.

"Terus, itu tempat apa? Kok, ada tv besar nggak ada sinetronnya." Shireen menunjuk area digital lounge.

"Astaga, Lo emang beneran mainnya kurang jauh. Masa gituan aja nggak tahu juga?" Sullivan menggeleng keheranan.

"Kan, aku orang gunung," sanggah Shireen memonyongkan bibirnya.

"Orang gunung tapi nggak bego juga."

"Ih, kalau ngomong suka pedes. Lebih dari cewek!"

"Itu namanya area digital lounge, Lo mau main game, mau ngapain terserah di sana." Sullivan membetulkan kacamatanya.

"Kaya Play station gitu? Perjam bayar berapa?"

"Banyak nanya!"

"Ih, Om, jawab dong," desak Shireen.

Sullivan mengabaikan gadis dihadapannya, matanya fokus menatap ke luar jendela besar. Melihat pesawat yang berjejer, burung besi yang gagah itu, nampak menyegarkan penglihatannya. Dulu, Sullivan dan Bryan mempunyai cita-cita yang sama yaitu menjadi seorang pilot.

Bryan dan dirinya duduk diujung bangunan lantai empat sebuah gedung kosong. Masing-masing kepala mereka memakai helm, dasi yang terbuat dari kardus, juga baju pilot dari kain putih bekas mukena emaknya jadi bahan untuk mereka berhalusinasi saat itu.

"Hallo, di sini dengan captain Sullivan dan co pilot Bryan Andromeda. Kepada penumpang yang terhormat, diharapkan kita semua berdoa sebelum melakukan penerbangan," ucap Sullivan, bergaya layaknya seorang pilot.

"Woy! Lo, mau jadi pilot atau pastur, kenapa nada ngomongnya gitu," protes Bryan.

"Kan, biar kita selamat saat penerbangan. Kita harus berdoa Bryan, biar Tuhan melindungi perjalanan kita," jawab Sullivan.

"Alah, Tuhan mana ada. Itu pesawat terbang karena mesinnya, bukan karena Tuhan, Sulli," sanggah Bryan.

"Udah ah, kita latihan lagi jadi pilot," kata Sullivan, malas berdebat dengan Bryan.

"Ayo, gue aja yang jadi pilot. Lo, jadi co pilotnya." Bryan duduk tegap, seolah memegang sebuah kemudi.

"Bruumm, bruumm."

"Heh! Emang suara pesawat kaya gitu? Bukan kali!" Giliran Sullivan yang protes.

"Lah, terus gimana? Masa preet, preett, dutt, kentut dong."

"Hahahaha." Tawa kedua sahabat itu meledak seketika.

Sullivan tersenyum mengingat masa kecilnya dengan Bryan. Terkadang, hatinya merasa rindu dengan sahabatnya itu. Namun, ia menyadari jalan mereka kini sudah berbeda. Shireen mengernyitkan dahinya melihat Sullivan tersenyum sendiri.

Cukup lama menunggu, Sullivan kembali mengecek gate keberangkatan mereka. Lalu mengajak Shireen segera berkemas, karena sebentar lagi mereka akan masuk ke dalam pesawat. Shireen mendadak keringat dingin, ia merasa tegang membayangkan berada di dalam pesawat.

"Om, gue kok, kok mau muntah ya," bisik Shireen.

"Apa?" Sullivan menghentikan langkahnya.

"Iya, mendadak gugup begini," kata Shireen, menyeka keringat yang mulai mengucur.

"Biasa, baru pertama kalinya naik pesawat. Udah, santai aja." Sullivan menggenggam jemari Shireen, perlahan rasa tenang menyelusup ke dalam hati gadis itu.

"Iya-- iya." Shireen tersenyum lebar.

Mereka melanjutkan langkah sampai ke dalam pesawat. Setelah mencari kursi duduk, mereka pun tenang. Karena berada di samping jendela pesawat, Shireen menatap keluar menikmati pemandangan sekitar bandara.

Setelah penumpang semua naik, para awak kabin dan pramugari langsung memberikan pelayanan ramah. Shireen menyimak serius apa yang diarahkan oleh para pramugari yang sedang memperagakan cara memasang oksigen dan segala hal.

"Gila ya, keren banget, Om jadi pramugari," komentar Shireen.

"Nggak sekeren yang Lo lihat. Don't judge by the cover," sahut Sullivan.