Chereads / Secret Friendzone / Chapter 16 - Tentang Kita

Chapter 16 - Tentang Kita

"Om." Shireen menyentuh bahu Sullivan dari belakang. Mereka sudah berada di parkiran mall.

Sullivan menoleh, sesaat senyum tipis tersungging di wajahnya. Lalu berubah dingin, ia mencecar Shireen dengan berbagai pertanyaan. Hampir saja ia putus asa dengan kejadian tadi dan kini gadis itu berdiri di hadapannya.

"Dari mana Lo?" tanyanya.

"Toilet-- Om--," jawab Shireen gugup.

"Bohong!" seru Sullivan.

"Beneran," balas Shireen dengan cepat.

"Terus, kenapa Lo tinggalin ponsel di kamar pass."

"Lupa."

"Sengaja!"

"Udah ah, ayo pulang." Shireen beranjak membuka pintu mobil.

Braaakkhh!

Sullivan menendang pintu mobil, sampai Shireen terperanjat. Rahang Sullivan mengeras, matanya merah tajam, menatap gadis di depannya yang tengah membuka matanya lebar-lebar.

Nafas Shireen tercekat saat Sullivan mencekiknya. Mata pria itu tajam menatapnya nyalang. Shireen memukul-mukul tangan kekar Sullivan. Ia terus meronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman Sullivan.

Tiba-tiba suara riuh sepeda motor datang, Sullivan berbalik lalu menarik Shireen dengan kasar masuk ke dalam mobil. Ia sangat tahu, bunyi motor tracking yang mengeluarkan suara khas dari Geng Bedog. Ia meminta supir mematikan mesin mobil, lalu bersembunyi.

Sullivan menekan kepala Shireen, mereka berdua berdesakan di bawah jok belakang. Cahaya lampu di parkiran yang sedikit redup, cukup membantu posisi mereka aman. Mata Sullivan waspada, ia memasang kupingnya lekat. Meski semua pintu mobil terkunci rapat.

"Om, mereka lagi?" tanya Shireen berbisik.

"Syyuuutt." Sullivan menaruh jari telunjuknya di bibir Shireen.

Mereka berdua saling menatap dalam jarak dekat. Sullivan hanyut dalam keindahan bola mata Shireen yang bulat berwarna cokelat.

"Apa sih, lihat-lihat," goda Shireen, mencolek wajah Sullivan.

"Terpaksa, nggak ada ruang!" jawab Sullivan ketus.

"Bilang aja, aku cantik." Shireen tersenyum lebar, alisnya ia gerakkan naik turun.

"Diem!" Sullivan melotot tajam.

Shireen malah semakin geli, melihat ekspresi Sullivan yang seperti itu.

"Ayo! Kita cari pria itu! Dia bikin kita pusing!" seru seorang pria dengan tubuhnya yang ceking.

"Tapi apa bener dia tadi masuk mall ini?" tanya temannya.

"Bener, gue lihat badannya sama persis kaya si Sullivan yang Bos Bryan cari."

"Ya sudah, kita nggak bisa buat onar di dalam mall. Pakai cara halus saja, siapin senjata kalian."

Setelah semua anggota Geng Bedog masuk ke dalam mall. Sullivan bangkit memindai keadaan sekitar. Mereka memarkirkan kendaraannya cukup jauh. Ia pun segera meminta supir untuk memacu mobilnya pulang.

Sementara itu di basecamp Geng Bedog, Bryan tengah duduk di kursi kebesarannya. Di tangannya ia memegang sebuah foto, potret dirinya, Sullivan, Liliana, dan kekasihnya Clarisa. Seutas senyum tersungging di bibir tipisnya.

"Sulli, kenapa Lo milih jalan berbeda. Lo lupa, kalau kita ini sahabat sejak kecil," gumam Bryan, tangannya mengusap foto lalu menyimpannya ke dalam laci kecil.

Bryan ingat bagaimana janji mereka saat kecil dulu. Di mana persahabatan mereka di mulai, karena sama-sama terlahir sebagai anak terlantar. Kehadiran mereka tidak diinginkan oleh masing-masing orang tuanya.

"Bryan, kalau aku udah besar. Aku mau jadi orang sukses, pakai jas dan sepatu mahal," ucap Sullivan kecil.

"Ya, aku juga mau Sullivan! Nanti kita gandengan, lalu balap mobil mahal, ngengg ngenng," sahut Bryan, memutar-mutar tangannya seolah memegang kemudi.

"Kalau sudah besar, kamu janji akan saling melindungi."

"Aku janji Sullivan!" seru Bryan, bersemangat.

"Nanti besar kita akan hidup di kota besar dan menaklukkan dunia, Bryan."

"Benar, kita duo ksatria yang akan mengalahkan para penjahat!" Bryan bergaya seperti superhero dalam film.

Bryan tersenyum kecut mengingat masa kecil mereka. Janji tinggallah janji, kini mereka hidup berbeda jalan dan pilihan. Hal tersebutlah yang membuat Bryan marah pada Sullivan, terlebih sahabatnya itu pergi membawa sesuatu yang berharga bagi dirinya.

"Gue harus dapatkan apa yang seharusnya. Sullivan, tunggu saja pembalasan gue," gumam Bryan, penuh dendam ia mengepalkan tangannya.

***

Sullivan terus menoleh ke belakang, ia takut jika Geng Bedog masih mengikuti mereka. Hampir sampai di kantor, mereka semua selamat dan langsung masuk ke dalam kantor.

Mereka pulang lewat pintu sping, dekat pemukiman warga. Yudi segera mengunci pintu kantor, setelah Sullivan dan Shireen masuk. Ia juga membawakan belanjaan Shireen yang cukup banyak.

"Yud, kamu bawa deh koper saya ke ruangan sebelah. Beresin juga barang cewek ribet ini," titah Sullivan.

"Tapi, saya nggak bisa beresin barang cewek, Pak," sahut Yudi, kebingungan dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Nggak usah ribet, Pak. Taruh aja sebisa Bapak, saya mah cewek tampan. Jadi, nggak seribet para ratu dunia," sela Shireen, matanya berkedip pada Pak Yudi.

Pak Yudi merasa senang, di kedipin sama cewek cantik seperti Shireen. Ia pun bersemangat mengangkat koper Sullivan ke ruangan sebelah dan membawa barang Shireen. Karena di sana hanya ada satu kamar, Sullivan terpaksa bermalam dengan Shireen.

"Lo, tidur sana. Jam dua pagi kita harus berangkat," kata Sullivan, ia melepas jam tangan dan menaruhnya di meja kerja.

"Tidur di mana?" tanya Shireen.

"Di kasur, gua di lantai." Sullivan menarik selimut dan satu bantal.

"Tapi, lantainya dingin, Om," ucap Shireen tak enak hati.

"Gua udah biasa hidup begini," sahut Sullivan, menggelar selimut lalu menyimpan bantalnya. "Akhirnya bisa rebahan." Sullivan melepaskan kacamatanya.

Shireen masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Hatinya merasa heran dengan sikap Sullivan yang tidak bisa ditebak. Kadang manis dan terkadang juga pahit. Ia membasuh mukanya berkali-kali, lalu keluar dari kamar mandi.

Sullivan terlihat sudah lelap, Shireen mendekat lalu memperhatikan wajah sendu pria paruh baya di depannya yang tengah berbaring. Ia merasa seperti melihat sosok lain dari diri Sullivan, sangat jauh ketika pria itu bersikap kejam padanya.

"Ngapain merhatiin begitu, cepetan tidur!" seru Sullivan, membuka matanya.

Shireen terlonjak kaget, ia mengira Sullivan sudah lelap. "Eh, iya, itu, anu, tadi lihat kecoa lewat," ucapnya berkilah, lalu naik ke atas kasur.

"Mana ada kecoa di sini. Bilang aja modus, lihat cowok ganteng."

"Idih, ganteng apa. Udah alot juga, wekss." Shireen menjulurkan lidahnya.

"Nggak usah munafik, gua tau lu suka sama gua," ucap Sullivan dengan percaya diri.

"Nggak doyan sama Om-Om." Shireen mulai membaringkan tubuhnya, matanya lurus menatap plafon kamar.

"Jangan sombong Lo, entar jatuh cinta sama gua repot loh."

"Lu emang kepedean banget ya Om."

"Jelas, karena gua ganteng dan ngangenin," sahut Sullivan datar.

Shireen terdiam sejenak, ia malas mengajak Sullivan debat. Karena tahu ujung-ujungnya, dia sendiri yang terbawa perasaan.

"Jangan bicara cinta, Om. Cinta semua cuma menyakitkan," kata Shireen, ia menghela napas dalam-dalam.

"Anak kecil sok ngomong cinta. Kencing aja dulu yang lurus," sahut Sullivan.

"Om, gue tadi ketemu mantan. Makanya sempat ngilang."

Sullivan terkesiap tak menduga, jika Shireen memiliki mantan kekasih. Ia pun memiringkan wajahnya dan melihat Shireen dari bawah ranjang.

"Emang, ada yang mau sama Lo?"