Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

SANG PELUKIS AWAN

🇮🇩Januar_EL_Capirco
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.2k
Views
Synopsis
Terinsipirasi dari sebuah lagu populer yang dibawakan oleh Budi Doremi berjudul Melukis Senja menjadikan sebuah penggambaran untuk merangakainya dalam novel "SANG PELUKIS AWAN". Namanya Setyawan Rembulan Pelita dirinya yang harus menjadi pria tangguh memulai benar-benar dari nol, mimpinya membawa semua orang ke atas awan mengharuskannya melakukan berbagai cara. Sebuah alur percintaan menjadikan semuanya juga harus membagi kesibukan maupun perjuangan lainnya, mampukah Awan mampu membawa orang-orang menuju ke sebuah mimpinya itu? dan siapa orang-orangnya yang akan dibawanya itu?

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Maafkan Awan

Kecelakaan itu telah menjadikan penyiksaan terberat bagi Awan, dia harus menerima jarinya tidak lagi genap dan menjadi sebagai tulang punggung diantara kedua adik lainnya. Peristiwa tragis itu bermula ketika sang ayah telah meninggalkannya disaat masih berada usia sepuluh tahun sedangkan kedua adik kembarnya masih tiga tahun, semua belum sama-sama mengerti akan arti sebuah perceraian.

Perceraian yang tidak diinginkan ibunya malah membuat kenyataan pahit jika kekuatan iman maupun psikisnya menjadi melemah, dan terjadilah gangguan jiwa menyebabkan ayahnya membawa menuju ke penanganan lebih serius. Dia dan kedua adiknya terpaksa digotong bersama neneknya yang sudah tidak lagi muda, tentunya bukan perkara mudah bagi laki-laki masih sekolah dan harus membantu keuangan.

Malam yang begitu dingin Awan masih juga belum pulang, dirinya yang mengerjakan tugas kelompok bersama sahabatnya menjadikan neneknya menunggu di depan rumah. Tiba-tiba saja kedatangannya telah menjadikan Aca dan Aci begitu senang, mereka berdua sangat menantikan kepulangan selalu saja mengharapkan kalau kakaknya pulang akan membawakan sesuatu.

"Ye... kak Awan pulang, kak Awan bawa gorengan kan?" Tanya yang penuh harap di mulut Aca.

"Kak Awan, kakak bawa makanan kan? Tanya juga Aci.

"Sudah, sudah. Biarkan kak Awan masuk dulu, kak Awan juga pasti capek kan belajar di rumah temannya."

Awan hanya memberikan sebuah lengkung senyum kepada adiknya dan dia juga nampak begitu berkeringat padahal cuaca malam itu sangat begitu dingin, laki-laki itu pun menaruh tasnya ke dalam kamar dan meletakkan satu bungkus nasi di meja makan.

Tak lama meletakkan kini tubuhnya yang begitu lemah dan kepala pusing menjadikan dirinya segera berbaring, sedikit saja waktu untuk melelapkan kedua matanya.

"Wan, nenek tadi masak telur rebus kesukaanmu. Mari makan bersama." Kata nenek dari balik pintu kamar.

"Iya, nek. Sebentar lagi, Awan ganti baju dulu."

Seusai mandi akhirnya Awan menuju ke meja makan, di depannya hanya tersaji dua telur rebus dan satu bungkus mie goreng.

Aca dan Aci sangat begitu menunggu kedatangan kakaknya hingga menjadikan mereka ketiduran, nenek dengan usia renta hanya bekerja di kebun milik tetangga dan penghasilannya tidak menentu.

Mereka berempat saling sepakat untuk memakan seadanya akan tetapi Awan yang masih berusia sepuluh tahun dituntut agar bisa sekolah hingga perguruan tinggi, banyak para saudagar kaya ingin menggantikan posisi orang tuanya dengan kata lain mengasuhnya tetapi dia menolak.

"Hari ini tadi nenek hanya mendapatkan tujuh ribu saja, ya sisanya tentu membuat bayar kekurangan masih tinggal sedikit ini. Besok kamu sekolah gak ada uang jajan gak papa kan?"

"Sudah, nenek bawa aja. Ini tadi juga dikasih mie goreng sama Evan."

"Ya sudah, sekarang kamu makan sama telur rebus sama mie goreng. Biarkan adik kamu tidur nanti kalau bangun biar makan lainnya."

"Iya, nek. Makasih ya udah kasih ini."

Awan yang ditinggal makan sendirian itu pun hanya memakan nasi dengan garam, dia sejenak menangis karena belum bisa memberikan apapun dan mencuci piring.

Ketika semua sudah tertidur Awan selalu menyempatkan diri keluar rumah, hampir kebiasannya selalu menaiki genting dan berbaring di sana.

"Tuhan, Awan ingin sekali bisa seperti bintang di langit. Mereka saling bersama-sama meski kabut tebal menyelimuti, belum juga rajanya sang bulan sering menemani malam."

Dengan memejamkan kedua mata mencoba menyerap angin hingga membuatnya merasa dalam sebuah pelukan, dirinya menginginkan hal tersebut hingga terbawa dalam mimpi.

Sejenak saja mimpi itu terlihat begitu nyata ketika masa lalunya sedang menggambar di atas buku gambar, kala bersama ibunya awalnya tetapi suasana pertengkaran hadir bersama kedatangan wanita seusia ibunya dan bahkan lebih terlihat modis.

Awan masih berusaha menggambar dengan sejuta imajinasinya, pertengkaran itu semakin menjadi-jadi hingga terdengar suara keras di dalam kamar.

Dia sangat ketakutan dan bahkan sesenggukan menangis, tetapi semuanya bertambah hingga ada sebuah kata menyakitkan di telinganya.

"Pokoknya hari ini aku minta berpisah denganmu."

"Tapi kenapa?"

"Kamu bilang kenapa? Kamu tahu jika hari demi hari kita cuman makan nasi dengan kecap saja, belum juga begitu banyak anak kamu."

"Apa ini tidak bisa diperbaiki lagi? Aku sudah bersusah payah untuk mencari kerja dan juga memperbaiki keadaan ekonomi kita."

"Sudahlah, aku sudah capek sepuluh tahun denganmu. Pokoknya jangan cari aku lagi."

Pria yang disebut ayah itu pergi meninggalkan rumah dengan menggenggam tangan wanita digandengnya itu, Awan menangis dan berusaha menjadikan gambarnya.

Ketika semuanya pergi Awan mendengar jika di kamar orang tua seperti ada benda jatuh, perasaannya sangat begitu kacau. Matanya telah tersapu derasnya air, tubuhnya cukup gemetar dan ia berusaha berlari.

"Awan, ayo turun! Sekarang sudah jam sebelas malam, gak baik anginnya."

"Iya, nek."

Mimpi itu terpotong dengan terpanggilnya perempuan paruh baya yang membuatnya berusaha tetap bertahan selama ini, dia yang turun dari atap tiba saja memeluk orang dicintainya.

"Awan sayang sama nenek, besok sebelum ke sekolah bangunin lebih awal ya. Besok Awan mau belajar dulu, he he."

"Pasti dong, udah sekarang kamu tidur dan biar besok bisa bangun lebih pagi. Pokoknya cucu laki-laki nenek ini harus semangat."

"Iya, nek. Awan mau gosok gigi dulu, lagian sebelum tidur kita harus gosok gigi dulu."

Tiba saja terdengar sebuah suara ketukan pintu cukup keras, nenek tentu saja meminta Awan segera tidur tetapi dia kali ini tak menurut karena rasa ingin tahu tentunya ada dalam diri anak kecil seusianya

Orang itu di luar berusaha menggeretak nenek paruh baya hingga menjadikan terjatuh, cucu mana yang rela jika neneknya disakiti orang lain dan tentunya Awan berlari menyusul ke depan rumah.

"Om, om punya tata krama kan? Om gak boleh begitu sama nenek, dia itu lebih tua dari om. Sekarang om harus minta maaf sama nenek?"

"Coba ulangi!"

"Om harus minta maaf sama nenek, kalau enggak...."

"Sudahlah, Wan. Tadi nenek minta kamu untuk tidur bukan menyusul nenek ke depan."

"Tapi om telah mendorong nenek sampai terjatuh, ayo om sekarang minta maaf!"

Orang itu pergi begitu saja tanpa menuruti keinginan Awan, dia juga melemparkan sebuah surat dan masuk ke dalam mobil.

"Om itu jahat, gak berperikemanusiaan!" Teriak Awan dengan mengepalkan kedua tangannya.

"Sudah, Wan. Jangan begitu lagi, pokoknya ini terakhir kali nenek lihat kamu begitu. Sekarang kamu masuk ke dalam temani kedua adik kamu, kasihan mereka nungguin kamu lagi."

"Maaf, nek. Awan sudah buat nenek marah, maaf."

"Udah iya, tapi lain kali jangan begitu lagi."

Dan pintu coklat itu tertutup lalu mengantarkan semua yang dalam rumah bergegas untuk terlelap.