Gadis itu cantik sekali, berambut hitam dan berkulit pucat. Namun anehnya dia tidak populer seperti Erika, yang menurutku dia tidak secantik gadis berkulit pucat itu. Gadis yang kuperhatikan itu termasuk pendiam, dan harum dari badannya menyebarkan aroma bunga popy merah, lembut namun bisa membuat kecanduan.
Gadis berparas rupawan itu bernama Devina.
***
Pagi ini, aku melihat Devina berjalan pelan namun anggun, wajahnya indah bagaikan porselen. Berapa kali pun aku melihatnya, aku selalu merasakan debaran di hati ini.
Heran sekali aku tidak berani menyapanya. Padahal, aku termasuk orang yang berani berbicara ke orang lain yang bahkan tidak kukenal. Tapi kalau dengan Devina...
Hanya menatap wajahnya saja, aku tak bisa berkata-kata. Seolah perbendaharaan kata lenyap dari otakku.
Irsan, sahabatku, memandangku seolah aku orang idiot yang bahkan tidak bisa berbicara dengan orang yang kukagumi.
"Arthur, jangan bilang ini pertama kali kamu jatuh cinta?"
"Enggak kok," kilahku, memalingkan wajah.
Irsan menghela napas dan menepuk bahuku.
"Kalau mau jatuh cinta jangan sama orang sesuram Devina. Nanti ketularan aura suramnya."
Aku menepiskan tangan Irsan dari bahuku, dan memandang jengkel.
"Devina enggak seperti itu," ujarku membelanya.
Irsan mengangkat alisnya. "Oh? Terus di mata kamu Devina itu seperti apa sih?"
"Dia cantik, berkulit pucat namun halus, berambut hitam panjang sebahu, dan mempunyai wangi bunga popy merah." Mataku menatap langit-langit kelas, sembari membayangkan wajah Devina yang cantik. "Dia pernah tersenyum ketika memberi makan kucing hitam kecil di samping sekolah."
"Kita sekelas di 11 SMA udah hampir mau setahun. Kamu sudah memperhatikan Devina sampai seperti itu, apa kamu pernah menyapanya sekali saja?"
Aku membuka mulutku. Dan kesadaran itu menghantamku.
"Tidak," kataku sedih.
"Dasar bodoh!" Ujar Irsan sembari menghela napas.
***
Irsan dan aku tidak langsung pulang sekolah, kami berlatih sepak bola hingga jam setengah enam sore. Sehabis latihan sepak bola, Irsan dan aku langsung berjalan pulang menuju rumah. Badanku penuh dengan keringat napasku nyaris tidak berirama. Sementara Irsan, yang berjalan di sampingku, masih memilki napas teratur dan keringat pun tidak sebanyak punyaku.
Kami berlatih di belakang sekolah, dan berjalan menuju gerbang depan sekolah, tak banyak anak-anak yang masih di sekolah.
Irsan memberikan senyum mengejek.
"Makanya, kalau diajak lari pagi itu mau. Lihat sekarang perbedaannya."
"Aku ... malas... bangun pagi," ujarku sembari mengatur napas.
Irsan melirik ke arahku. "Gimana ceritanya kamu masuk tim inti sekolah kalau kamu malas lari di pagi hari?"
"Hmm... aku beruntung?"
Aku melihat Irsan mau membantah ucapanku, tapi terhenti karena ada suara teriakan pelan dari dalam gudang sekolah yang berada sebelum pintu sekolah.
"Hei, San," aku berjalan mundur selangkah. "Klub sepak bola kita kan yang paling akhir pulangnya?"
"Kayaknya."
Setelahnya kami tidak berbicara lagi, menatap pintu gudang lantai bawah sekolah kami.
"Buka pintunya," Irsan berbicara pelan.
Aku menganggukkan kepala.
Ketika membuka pintunya, seperti yang kuduga, pintunya terkunci. Tapi baik aku dan Irsan bisa mendengar suara teriakan pelan dari dalam pintu itu.
Aku menoleh ke arah Irsan.
"Enggak ada cara lain, kita dobrak pintunya." Irsan menggerakkan lehernya, dan mereganggangkan kedua tangannya ke atas, terdengar suara tulang berderak.
Aku menganggukkan kepala.
"Bersama."
"Hitungan ke 3," kata Irsan dengan suara pelan dan dalam.
"1."
Irsan dan aku berdiri bersisian di samping pintu.
"2."
Kami mulai bersiap.
"3."
Irsan dan aku mendobrak pintu bersama. Engsel dari pintu yang kami dobrak rusak dan pintu tersebut nyaris roboh.
"Nyeri nih bahu," keluhku pelan.
"Cepat cari siapa yang nangis," kata Irsan seolah tidak mendengar keluhanku.
Aku menatap kesal Irsan sesaat sebelum pergi masuk ke dalam gudang lebih jauh.
Gadis yang dinobatkan menjadi gadis tercantik di sekolah, Erika, duduk di lantai, kedua tangannya yang kurus menutupi mukanya.
Erika terlihat rapuh.
"Kamu enggak apa-apa? Kenapa di sini?" Tanyaku bingung.
"Arthur?"
"Ayo bangun. Irsan menunggu di depan."
Aku tidak begitu mengenal Erika, gadis tercantik di sekolah kami. Tapi, aku mengerti satu hal, Erika terlihat menyukai Irsan. Aku tidak tahu apa Irsan tahu perasaan Erika, karena kulihat Irsan terlihat cuek dan acuh kepada Erika.
Erika mengenggam tanganku sembari berdiri, kulihat kakinya goyah dan nyaris jatuh kalau tidak kutahan.
"Kenapa kamu di sini?" Tanya Irsan saat kubawa Erika keluar dari tempat gudang.
"Devina," gumam lirih Erika. Wajahnya terlihat pucat dan rapuh. Membuatku menjadi simpati, dan sorot mata Irsan yang acuh berubah jadi lembut.
"Devina?" Tanyaku kaget. "Dia kenapa?"
Tapi, Erika menutup mulutnya, tidak mau menjawab.
Irsan menatapku dan menggelengkan kepalanya, seakan mengisyaratkan agar aku tidak mendesaknya.
Tapi aku tidak bisa menahan rasa penasaranku. Sama sekali aku tidak percaya kalau Devina terlibat dengan Erika yang terkunci di dalam gudang kecil di sekolah.
"Aku yang akan mengantarkan Erika pulang," kata Irsan memecahkan keheningan.
Erika dan aku menatap Irsan, dia masih merangkul Erika yang terlihat mau jatuh kapan saja.
Aneh. Aku tidak tahu kenapa, aku tidak percaya dengan Erika. Karena aku tahu Devina tidak mungkin melakukannya. Devina yang kukenal itu acuh dengan sekitarnya, dia bahkan mempunyai sedikit teman. Tapi, pasti bukan Devina...
Irsan dan Erika berlalu dari hadapanku. Seakan tidak menyadari, aku masih berdiri di depan pintu gudang sendirian.
Erika yang masih dirangkul Irsan, menundukkan kepalanya. Hingga aku tidak memperhatikan raut wajahnya.
Itu...
Erika tersenyum tipis sembari menundukkan kepalanya.
Aku berani bersumpah, Erika tersenyum.
Jadi, apa Erika berbohong ketika mengatakan Devina menguncinya di gudang kecil?
***
Aku pulang setelah memastikan tidak ada orang lain yang terkunci di sekitar gudang. Begitu semua menurutku aman, aku langsung berjalan menuju pintu pagar sekolah, dan dihentikan oleh teriakan dari belakang.
"Hei, kamu. Yang lagi jalan. Tunggu sebentar."
Karena merasa aku yang dimaksud, aku berhenti berjalan. Dan menoleh.
Ternyata mang Dudung, penjaga sekolah sekaligus salah satu pembantu sekolah, yang memanggilku.
"Mas Arthur, Mas yang mendobrak pintu gudang ya?"
Aku mengangguk.
"Iya, maaf soal itu, Mang Dudung. Nanti saya ganti biaya perbaikan pintunya."
"Bukan masalah itu, Mas." Sergah Mang Dudung. Dia terlihat bingung.
"Terus kenapa, Mang Dudung?" Tanyaku setelahnya menatap arloji di pergelangan tangan, sudah nyaris jam 6 sore. "Saya pulang dulu deh, nanti kemalaman lagi. Kalau soal biaya perbaikan, besok saja ya, Mang? Saya pasti bayar."
Mungkin mang Dudung melihatku terburu-buru. Jadi, dia membiarkanku pergi. Tentu saja, dengan wanti-wanti agar aku tidak lupa membayar biaya perbaikan pintu gudang yang kurobohkan bersama Irsan untuk menyelamatkan Erika yang terkunci di gudang.
Bersambung.