"Mang, Ana kira hubungannya cukup sampai sini."
Pesan singkat itu memadati layar ponselku. Semua masih sama : lampu menggantung di tepi kolam, menerangi ikan-ikan mencari kehidupan dari satu-dua butir remah makanan yang melayang di permukaan. Namun tidak dengan dadaku yang seketika sesak di telan kehampaan. Malam itu, aku menguasai kegalauan.
Sesaat sebelum ku balas, sekejap waktu seolah terhenti berdetak. Memberi waktu bertanya pada sebab. Namun tidak ada jawab.
"Hey! Kenapa? Ada apa? Mungkin kamu capek?! Istirahat dulu, gih! Besok kita bahas. Okey?!" Demikian kuobati luka di nadiku.
"Nggak, Mang. Udah."
Kalimat itu lebih singkat dari sebelumnya, namun lebih cepat membuat dadaku berhenti berdetak. Malam itu, senyapnya malam yang biasa kunikmati seolah hambar dengan kegaduhan berita duka seorang jawara lebur di lahap patah hati.
***
Ini sisi balik kehidupanku dengan gelar santri. Kepribadian yang tidak banyak orang tau bagaimana sebenarnya.