"Minum obatnya dulu, Lam," kuturuti perintah Tante Rosi. Saat ini, aku sedang istirahat di kamar. Aku sakit.
Ya... tepatnya setelah kejadian itu. Saat Ricky menciumku, tubuhku berubah panas—dingin. Aku pikir, aku benar-benar terkena virus dari Ricky. Akan tetapi, setelah pulang dan diperiksakan Tante Rosi ke rumah sakit, rupanya aku hanya demam biasa. Mungkin... aku terkejut, menerima ciuman itu.
"Ini aneh... kamu hampir tidak pernah sakit, kan? Kok sekarang sakit... terlebih setelah belajar kelompok dengan penelitian barumu. Apa gara-gara obat kimia yang kamu taruh di rambutmu itu, Lam?"
"Mungkin, Tan." dustaku. Tapi... bisa saja seperti itu. Karena, kepalaku terasa terbakar saat memakainya. Apa mungkin aku salah menggunakan obat pelurus rambut yang membuat rambutku setengah lurus—dan—keriting—kaku sempurna ini?
"Apa kamu mau tampil cantik? Tante tahu, anak-anak seusiamu ini selalu ingin tampil menarik terlebih di depan lawan jenis... iya, kan?"
"Nggak kok, Tan!"
"Itu hal wajar, sayang. Tapi menurut Tante ya... kamu ini sudah cantik, kok. Ingat kata Tante, kecantikan yang sejati itu bukan yang dilihat dari mata... tapi dari hati. Lagi pula... kamu masih pegang prinsipmu untuk tidak pacaran dulu, kan?" aku terdiam, merasa bersalah dengan Tante Rosi. Bagaimana ini? Apakah aku harus mengaku padanya jika saat ini aku sudah pacaran? Aku takut... dia kecewa.
"I... iya, Tan." jawabku terbata. Tante Rosi mengangguk, setelah memberikan obatnya padaku. Kemudian dia keluar dari kamar.
Kuhelakan napasku dalam-dalam. Untung saja hari ini masih class meeting... jadi, aku tak perlu berpikir akan ketinggalan pelajaran. Tapi tetap saja, baik Genta pun Lala pasti akan mencariku. Meski... aku sudah memberitahu pada mereka.
"Nilam! Elo kenapa?!" rupanya mereka panjang umur. Lihat saja, baru aku memikirkannya, mereka sudah ada di sini. Ya... Genta dan Lala. Sahabat-sahabat terbaikku.
"Rambut elo!" belum sempat Lala duduk, dia sudah memekik kaget sambil membungkam mulutnya dengan tangan. Mungkin... dia terkejut, atau bahkan... ingin tertawa.
"Elo beneran sakit, kan? Elo nggak masuk sekolah bukan karena rambut elo, kan?" Genta selalu saja... memperjelas hal yang sudah jelas. Demam adalah salah satu alasan, meski alasan utamanya adalah rambutku ini.
"Gue demam... Gen, La." jelasku. Keduanya duduk di ranjangku, kemudian mereka memelukku bersamaan. Membuatku... susah napas. Tapi, aku senang.
"Elo tadi nggak tahu, sih. Ricky nyariin elo udah kayak orang kesurupan. Mulai dari ruang OSIS, perpus, warung, kantin, sampai di bawah bangku elo. Dia bilang elo hilang... emang, elo nggak ngasih tau dia kalau elo sakit?"
Dari semua tempat yang dicari... kenapa harus di bawah bangku juga? Apakah dia pikir, aku sedang sembunyi menghindari dia? Apa karena dia merasa bersalah karena ciuman itu?
"Belum sempet."
"Nah... ngasih tahu kami sempet."
"Gue—"
"Kenapa?"
"Enggak."
"Masih belum bisa nerima Ricky jadi cowok lo?" todong Lala dengan pertanyaan tanpa henti. Aku menunduk, menimbang pertanyaan Lala. Jujur... aku bingung bagaimana menjawabnya.
Akan tetapi, di balik pertanyaan Lala itu aku sekarang mulai menyadari sesuatu. Tentang perasaanku, karena setelah kejadian itu aku sudah terpikat olehnya. Aku... jatuh cinta padanya. Ya, dia.... Ricky.
Tapi, aku sama sekali tak tahu bagaimana cara berpacaran. Aku belum pernah berpacaran sebelumnya. Apakah... berpacaran itu normal dilakukan anak seusiaku? Aku sama sekali tidak tahu. Terlebih... bagaimana berpacaran yang normal itu?
"Lam... elo mau buka toko, ya?" aku terjingkat saat Genta menanyaiku pertanyaan seperti itu. Apa maksudnya? Aku sama sekali tak mengerti.
"Kok elo beli pembalut banyak banget... banyak merknya lagi."
"GENTA!!!!" teriakku pun Lala bersamaan. Rupanya, cowok itu tidak sensitif. Jika barang tersebut, adalah barang sensitif bagi para cewek. Bukan Ricky pun Genta. Mereka benar-benar membuat gila.
"Turunin Gen! Taruh sana!" marahku. Genta mengerutkan keningnya, matanya tak lepas dari bungkus pembalut itu.
"Ini dari Ricky?" tanyanya yang berhasil membuat wajahku memerah. Bagaimana bisa dia tahu kalau itu dari Ricky? "Ada tanda tangan dan nama terang Ricky di setiap bungkus pembalutnya, dan kata; pasal keempat undang-undang pacaran 'simpan dengan rapi barang pemberian pacar' hahahaha." Genta tertawa lepas. Buru-buru aku turun dari ranjang untuk melihatnya. Rupanya benar, ada tulisan kecil-kecil di sana dan aku baru tahu. Terlebih... tulisan itu ditulis dengan menggunakan spidol permanen.
"Gue bingung... maksudnya harus disimpan? Pembalutnya?"
"Bukanlah Lala sayang... tapi bungkusnya, masak iya—"
"GENTA!! Elo cowok!" marahku dan Lala bersamaan. Mungkin... karena Genta sering bersamaku pun Lala. Itu sebabnya di antara kami tidak pernah malu pun sungkan membahas masalah perempuan. Akan tetapi... ini kasus beda. Ini menyangkut Ricky.
"Ricky beneran playboy seperti yang dikatakan anak-anak nggak sih? Suka buntingin cewek? Kok gue ragu ya."
"Kenapa, Sayang?"
"Sayang... lihat saja deh. Kalau dia cowok pengalaman, nggak mungkinlah ngasih kado ceweknya pembalut! Yang ada itu boneka, bunga, cokelat, tas atau hal-hal yang cewek suka lainnya. Iya, kan?"
"Bener juga ya... kelewat bego jadi cowok. Aku nggak bisa bayangin, bagaimana jadinya kalau hal ini sampai kesebar di Sekolah. Julukan black prince yang selalu dieluh-eluhkan cewek-cewek apa masih akan bertahan?"
"Jadi... kalian bisa tutup rapat mulut kalian?"
"Tapi ini berita besar Nilam sayang." sepertinya, Genta senang sekali. Seperti seorang reporter yang menemukan mangsa besar. Tapi... aku malu. Terlebih, aku tak ingin membuat Ricky malu.
"Demi gue." rengekku. Setelah menghela napas, akhirnya Genta mengangguk. Syukurlah dia setuju. Jika tidak... aku tidak tahu lagi, bagaimana menyelamatkan Ricky.
@@@
Hari ini, aku kembali ke rutinitasku setiap hari. Bersekolah... mengingat, empat hari lagi class meeting akan usai. Sekarang ini sudah babak penyisihan. Antara SMA Pelita Mulya dan SMA Harapan Bangsa. Aku benar-benar tidak tahu, bagaimana jika salah satu di antara mereka kalah. Karena aku yakin, untuk mencapai kemenangan itu... mereka akan menggunakan berbagai cara. Dan pada akhirnya... ide pertandian persahabatan dari Kak Aldi, bukan untuk menyatukan mereka malah akan memperkeruh suasana. Aku yakin akan hal itu.
"Cieee rambut gimbal sekarang dilurusin! Tapi kayak sapu lidi! Ciee!!!" segera kutundukkan wajahku saat Echa dan Salma mengataiku. Aku tahu... ini akan terjadi. Seharusnya, aku tidak perlu malu, kan?
"Denger ya cewek singa... elo mau dandan kayak apapun hasilnya tetap sama. Elo itu buluk. Jadi... sadar diri deh dan ngaca! Pergi dari kehidupan Ricky sekarang juga!"
"Bener kata elo, Ma... cewek ini terlalu besar kepala!" Echa hendak mencengkeram rambutku. Tapi, aku segera menggenggam tangannya. Dia mengaduh kesakitan, kemudian kulepaskan cengkeramanku.
"Udah berani ngelawan lo?"
"Awas lo ya, gue—"
Salma ingin menamparku. Belum sempat kucegah, ada tangan seseorang yang mencegahnya lebih dulu. Bukan tangan Ricky, tapi... tangan itu milik Arya.
"Anak Pelita Mula serem-serem, ya. Ceweknya pada sakti kayak preman! Gimana ceritanya, temen sendiri mau dikeroyok kayak gini? Kalian waras?"
"E... elo Arya, kan? Model majalah remaja itu, kan?"
"Nggak usah tanya, gue nggak akan jawab. Yang jelas... jangan ganggu lagi gebetan gue, ngerti?!" Arya menarik tanganku pergi dari tempat itu. Kemudian dia melepaskan genggamannya, saat kami sudah berada di depan kelas. Dia berdiri sambil memandangiku yang memandanginya tanpa kedip. Jadi... dia benar-benar seorang model? Aku baru tahu. Mungkin... aku harus membeli beberapa majalah agar tahu jika dia seorang model.
"Cewek kemoceng! Elo kenapa?"
"Oh... enggak." Jawabku kikuk. Aku baru sadar, jika dia memakai seragam olah raga sekarang. Bukan lagi seragam putih abu-abu pun cream kotak-kotak yang sering dia gunakan.
"Apa jangan-jangan elo suka ya gue akui jadi gebetan? Ah elo beruntung banget jadi gebetan gue. Kebetulan juga'kan elo jomblo. Jadi... cocok kita!" serunya semangat.
"Maaf... tapi lo salah sangka, sebenernya gue—"
"Udah deh... elo nggak usah jelasin betapa bahagianya elo jadi gebetan gue. Yang jelas mulai saat ini. Gue akan jagain elo sama kayak dulu. Gue nggak mau kehilangan lo lagi, Lam."
"Tapi gue—"
"Gue pergi dulu, ya! Nanti gue telfon!"