Mereka lalu lanjut menuju Haji Lane yang berada di area Bugis. Jaraknya sekitar 25 menit dengan MRT.
Bugis ini daerah yang populer di kalangan turis karena toko-tokonya yang menyediakan harga cukup terjangkau. Maklum, Singapura termasuk negara 'mahal' untuk Asia.
Perlu jalan kaki sedikit dari stasiun MRT sampai ke sebuah ruas jalan yang dikenal dengan Haji Lane. Tembok bangunan sepanjang jalan itu dipenuhi dengan mural penuh warna yang jadi spot foto favorit turis.
Selain tembok mural, daerah ini juga terkenal dengan cafe-cafe yang cocok dijadikan tempat nongki bagi anak muda. Salah satu yang menarik perhatian adalah kedai kopi bertuliskan 'Selfie Coffee'.
"Jadi ada muka kita gitu di kopinya?" tanya Aruna.
"Mungkin. Mari kita lihat," ajak Yora.
Sebuah papan tulis besar berisikan menu adalah yang pertama mereka lihat. Ada sepasang pria dan wanita kaukasia yang sedang memilih menu, membuat The SeNaRa punya waktu untuk memilih minuman mereka sendiri.
"Idih, mehong tsay," tutur Sera.
"Yaudah, beli satu aja. Tapi selfienya bertiga. Bisa kan?" tanya Yora.
"Mana gue tau. Emangnya gue yang jualan."
Dan jawabannya adalah bisa. Mereka memilih matcha sebagai rasa minumannya, lalu mengambil selfie.
Namanya juga cewek ya, apalagi ini Sera-Aruna-Yora. Yang sesimple mengambil selfie saja bisa jadi ribet. Untungnya, belum ada pengunjung lain sehingga mereka tidak menghambat orang lain.
Paling diketawain mbak-mbak kasirnya aja.
"Lo kiri-an dikit dong, Ra. Gak pas di tengah ini!" protes Aruna sembari memegang handphone.
"Itu mukanya Sera aja kegedean, jadi makan tempat."
Tidak terima, Sera menoyor kepala Yora. "Anjing."
Setelah memberikan hasil foto, beberapa menit kemudian minuman mereka jadi. Ketiganya dibuat kagum nyaris norak saat melihat wajah mereka benar-benar tergambar dengan baik.
"Is this foam? Whipped cream?" tanya Sera.
"Iya, kak. Itu whipped cream."
Sera kaget. "Lah, bisa bahasa Indonesia Mbak-nya?!"
"Bisa, hehe. Sering denger soalnya."
Sebenarnya tidak begitu mengherankan mendengar bahasa Indonesia juga diucapkan di sini. Singapura memang negara multikultular yang didominasi Tionghoa, India dan Melayu.
Banyaknya orang Indonesia yang datang ke Negeri Singa, ditambah bahasa Melayu yang mirip-mirip dengan bahasa Indonesia, membuat bahasa nasional kita bukan hal asing lagi di telinga warga Singapura.
"Di atas ada tempat duduk, kak, kalo mau minum di sini."
"Oh, gak usah. Kita mau lanjut jalan lagi. Makasih ya."
Setelah puas mengambil foto minuman dengan wajah mereka tersebut, ketiganya berjalan keluar kedai baru kemudian mencoba matcha frappe mereka di luar. Itu juga ribut dulu.
Sera menancapkan sedotan tepat di gambar berwajah Aruna, membuat yang punya wajah kesal. "Ih, kok ditojosnya di muka gue sih?"
"Ya masa di luar cup-nya, Na?"
"Di pinggirannya kan bisa."
Yora lalu mengambil alih sedotan tersebut, menancapkan sedotan di gambar berwajah Sera. "Dah tuh, impas."
"Ck, ini baru impas," tutur Sera, gentian menusuk gambar berwajah Yora. Setelah itu, ia langsung menyesap isi gelas plastik di tangannya.
"Apa rasanya?" tanya Yora.
"Rasa greentea."
"Ya iya lah, Bambang! Pan kita mesennya rasa matcha. Kalo jadinya rasa stroberi baru bingung. Maksudnya tuh jabarin, gimana kekentalannya? Matcha nya strong gak? Kemanisan gak? Gitu!"
"Lo coba aja dah sendiri. Ribet."
Yora lalu gentian mencicipi disusul Aruna.
"Enak sih, mirip-mirip Starbucks," tutur Yora. "Cuma ini banyak creamnya, gara-gara ada fotonya kali ya?"
"Harus enak lah! Mehong."
Tiga sahabat itu lalu lanjut menelusuri jalanan yang cukup ramai dengan turis tersebut. Sinar matahari sudah tidak seterik tadi, membuat mereka lebih nyaman saat berjalan.
"Si Nana kalo bawa cat sama pilox kayaknya bakal ngegambar di sini juga kali," ujar Sera.
"Ya kali," sahut Aruna.
Saat sedang mencari spot foto yang bagus, tiba-tiba seorang wanita berkerudung menghampiri Sera. "Hello, excuse me. Boleh ambil gambar saya?"
Dihampiri dengan tiba-tiba dan diajak bicara dalam bahasa Melayu dengan sangat cepat membuat Sera buffering secara temporer.
"Ya?"
"Gambar, picture. Boleh tak?" tanya ibu tersebut sembari tangannya membuat gestur memotret.
"Oh, sa-saya fotoin? Boleh boleh."
Setelah puas dengan hasil jepretan Sera, keluarga yang sepertinya dari Negeri Jiran itu pergi. "Thank you."
"Iya, sama-sama," balas Sera dengan kikuk.
"Gimana sih. Ngomong eotteoke-eotteoke, bisa. Giliran diajak ngomong bahasa tetangga, gagu," ledek Yora.
"Tau. Bahasa bencong lancar lo," timpal Aruna.
"Maklum keleus. Nervous aku tuh."
* * *
Puas foto-foto di Haji Lane, Sera-Aruna-Yora lanjut menuju Orchard, surganya para shopaholic. Jalanan sepanjang kurang lebih 2,5 km itu memang terkenal sebagai pusat perbelanjaan elit yang dipenuhi toko-toko merek terkenal.
Namanya juga cewek, bahkan Sera yang tidak hobi belanja saja 'ngiler' lihat brand-brand terkenal ini. Kalau Yora sih gak usah diragukan ya. Sebagai anak sosialita, rasa ingin memiliki barang-barang tersebut jelas sangat tinggi.
Sayangnya, sebagai gen z yang hidup di zaman sekarang, harapan kerap kali bertolak belakang dengan dompet. Alhasil, ketganya berkeliling hanya untuk cuci mata. Keluar masuk mall dan toko branded hanya untuk lihat-lihat dan 'ngadem'.
Selain karena barang-barang yang terpanjang mayoritas bisa menguras isi dompet, mereka juga gak butuh-butuh amat dengan barang tersebut.
"You know, I'm not into business things. Tapi kalo udah liat barang bagus, rasanya gue pengen jadi crazy rich independent woman yang hartanya bejibun, sampe bingung duitnya mau dibelanjain apa lagi."
"At least you owned the crazy one. Just achieve the rich and independent now. You're a woman afterall."
Sera tergelak mendengar penuturan Aruna. "Agree."
Yora berhenti melihat-lihat tas dan menatap dua sahabatnya dengan jengkel. "Lo pada ya, jadi temen gak ada suportif-suportifnya!"
Aruna yang sedang melihat tas yang terpajang di rak depan Yora menengok. "Gue suportif kok. Semangat kerjanya supaya bisa jadi kaya dan mandiri," tutur Aruna seraya tersenyum manis.
"What about the crazy one?"
"Ya semua orang juga tau kali, lo sama Sera sama-sama sinting natural. Murni, gak pake campuran."
"Lah, kok bawa-bawa gue sih?" sambar Sera saat mendengar namanya diikutsertakan.
"Aruna kelamaan temenan sama lo sih, Se. Makanya jadi rese begini."
"Dih, lo kali yang bawa pengaruh buruk."
Aruna terkekeh melihat duo RaRa berdebat. Ia lantas merangkul mereka di kedua lengan agar beranjak dari toko tersebut sebelum mereka benar-benar membuat keributan. "Udah! Sesungguhnya, kalian sama-sama negatif. Mending kita capcus, cari makan."
Ah, tampaknya mereka terlalu asik berkeliling, sampai tidak sadar matahari sudah nyaris tenggelam. Padahal tadinya mereka mau menikmati sunset di Merlion.
"Mau cari makan di sini apa deket Merlion?" tanya Sera.
"Merlion aja. Lo berdua juga belom laper-laper amat kan?" usul Yora.
Sera dan Aruna setuju. Akhirnya mereka naik MRT dan berhenti di stasiun Raffles Place. Berjalan beberapa menit, ketiganya memutuskan untuk makan di Mcdonald saja.
"Gue mau pesen kentang sama es krim sundae. Lo mau juga gak?" tanya Sera saat mereka selesai makan.
"Pesen 2 aja buat kita bertiga," ujar Aruna.
Sera mengangguk. Mencuci tangannya dahulu di wastafel sebelum kembali mengantri. Datang ke Mcdonald saat langit sudah gelap membuat gadis berkacamata itu serasa bernostalgia.
Dulu saat SMP dan SMA, Sera juga suka ke mekdi. Entah itu sambil menunggu Sean latihan basket atau hanya sekedar nongkrong saja. Menu yang dipesan juga hampir selalu sama; es krim dan kentang.
Makan french fries mekdi sambil dicocol es krim mekdi sejatinya adalah kenikmatan yang
hakiki.
Setelah pesanannya selesai, Sera membayar dan langsung mengajak Aruna dan Yora keluar. Mereka lanjut berjalan kaki menuju patung setengah singa setengah duyung yang menjadi destinasi wajib turis di Singapura, the Merlion.
Ketiganya lalu duduk di anak tangga yang ada di situ. Hari sudah gelap, tapi kawasan ini masih ramai. Sepertinya memang tidak akan sepi sampai menjelang pagi.
Tiga gadis itu duduk meluruskan kaki. Hari ini adalah hari yang panjang. Entah sudah berapa puluh kilometer kaki mereka melangkah.
"Gila, betis gue bisa sekeras tongkat baseball kalo gini caranya," kata Sera sambil memijit kakinya.
"Baru juga sehari," cemooh Yora. Gadis itu lalu mengambil satu kentang goreng. Di sampingnya, Aruna ikut mencomot kentang dengan es krim.
"Udah malem kedua," Aruna berkata. "Dan masih ada 300 malam lain yang bakal kita lewatin. Bertiga doang. Di negeri orang. Can't you believe it?"
Aruna mencocol kentang gorengnya dengan es krim lagi sebelum melanjutkan. "We were here. We're just 3 silly twelve years old girls back then."
"We're still silly, but 24," tutur Sera.
Masih teringat dengan baik di benak ketiganya saat sekian tahun lalu, untuk pertama kalinya mereka ke luar negeri bersama. Sonya dan Herman terlalu sibuk dengan urusan bisnis, jadi mereka mempercayakan 3 bocah itu kepada seorang karyawan yang merangkap jadi babysitter dadakan. Tempat ini adalah adalah destinasi pertama mereka saat itu.
Kembali ke tempat yang sama setelah bertahun lama terlewati, rasanya cukup aneh. Mereka di tempat yang sama dengan teman yang sama. Suasana di tempat ini tidak begitu banyak berubah, tapi yang aneh, mereka tau mereka tidak lagi sama.
Mereka bukan lagi 3 bocah yang baru lulus SD, yang akan bertengkar sampai mengadu ke orangtua. Bukan lagi bocah yang jika hilang, akan berlari ke call center untuk memanggil mama. Tidak.
Ketiganya sudah lulus kuliah. Untungnya, masing-masing punya pekerjaan. Menapaki karir dengan caranya sendiri-sendiri. Stress dengan rintangan yang bermacam-macam.
Seperti dunia punya cara khusus untuk mendewasakan ketiganya.
"Lo bakal jadi seperempat abad dalam beberapa hari," ujar Aruna pada Yora.
"And I'm still single." Yora menghela napas berat. Perhatiannya lalu terarah pada bangunan hotel Marina Bay Sands yang terlihat jelas dari tempat mereka duduk.
Gadis berhighlight ash grey itu menatap bagian teratas hotel. Dari jauh, jadi terlihat bentuk rooftop yang menyerupai kapal. Lalu, tiba-tiba kejadian heboh malam sebelumnya dan sosok bule bernama Thomas yang mereka temui tadi pagi, kembali hinggap di kepala.
"By the way, waktu gue wasted kemaren, gue ngapain aja? I mean, I didn't say anything stupid to that Tom guy, right?"
Aruna dan Sera yang duduk di kanannya menoleh. Sera lalu merangkul tangan Aruna, menirukan Yora yang terlihat tidak fokus semalam.
"Siapa ya?" tanya Sera seraya menunjuk Yora. "Ganteng juga. Pacaran yuk! Papi aku holkay loh."
Yora mengernyit lalu menduduk lemas. "Ck, untung gue ngomongnya pake bahasa Indonesia."
"Versi Inggrisnya juga ada," ujar Aruna. Sekarang ia berganti peran dengan Sera, pura-pura menjadi Yora. "Oh, are you come from the future? Because you look like a future to me."
"Anjir, cheesy banget gue."
Sungguh Yora merutuki dirinya sendiri. Mana tadi pagi Thomas senyam senyum gitu lagi. Pasti bule itu ingin menertawakan Yora. Gak lagi deh mimi-mimi sampai bablas.
Gak di sini. Gak tau deh kalau di destinasi selanjutnya.