Besoknya The SeNaRa bangun kesiangan. Selain karna semalam mereka baru kembali ke kamar setelah lewat tengah malam, badan Sera dan Aruna rasanya remuk memapah Yora yang sudah mabuk, banyak tingkah pula.
Sera jadi yang pertama bangun. Bukan karena ia jadi rajin tapi karena tenggorokannya yang terasa amat kering. Pasti karena alkohol semalam. Gadis bersurai hitam itu menyempatkan diri menengok keadaan Yora di ruang tengah sembari meneguk air mineral sebanyak mungkin.
Posisi Yora sudah berganti. Dari yang semalam ada di sofa, sekarang tiduran di lantai dengan kepala yang ada di kolong meja.
Sera lalu kembali ke kamar dan membuka gorden. Cahaya matahari langsung menyeruak membuat Aruna jadi ikut terbangun.
"Oops, sorry. Perlu gue tutup lagi?"
"Gak usah. Jam berapa sekarang?" suara Aruna serak. Pasti tenggorokannya kering juga.
"Setengah sepuluh."
"Temen lo apa kabar?"
DUK.
"ARKKHH! SIAPA YANG TAROH MEJA DI SINI SIH?!"
Bunyi benturan dan teriakan itu jadi jawaban untuk Aruna.
"Siapa suruh lo taroh pala lo di kolong meja?" Sera malah bertanya balik saat Yora masuk ke kamar.
"Kenapa juga gue tidur di luar dan lo pada di sini?" Yora terlihat kesal sekaligus linglung.
"You're drunk," jawab Aruna seraya bangkit menuju kamar mandi.
"And then lo nyemplung ke whirlpool. Thank God lo gak sampe buka baju di depan umum," kata Sera melanjutkan.
Yora refleks melihat ke bawah dan menutupi badannya. "Baju gue… kok udah ganti???"
Sera ikut beracting kaget. Matanya membelalak dan tangannya menutupi mulut. "Emjiii. Jangan-jangan digantiin om-om yang bawa lo semalem."
"HAH? SEMALEM GUE DIGONDOL OM-OM?!"
"Don't you remember?"
"Kita yang gantiin," kata Aruna sambil menggosok gigi.
"Ah, gak seru lu, Na!"
Tepat setelah itu, Sera tumbang dengan dramatis akibat lemparan bantal dari Yora yang mengenai wajahnya. "Dasar, pembohong."
"Makanya jangan suka mabuhay. Lagi lo cemen amat sih. Masa baru 2 gelas udah tepar? Katanya anak malem, the baddest bitch."
"Two glasses of wine plus a glass of whiskey," ralat Yora.
"Itu whiskey cuma sesloki, anjir. Literally cuma seteguk."
"Tapi udah cukup membuat diri ini bergejolak."
Biar kelihatan slengean begitu, tapi Sera selalu berpegang pada prinsip untuk minum dengan penuh tanggung jawab. Ia akan berhenti ketika dirasa kepalanya mulai pusing. Bahkan tidak minum kalau ia bersama teman yang berniat mabuk atau punya toleransi yang rendah terhadap alkohol.
Takutnya ya seperti kejadian semalam.
* * *
Sejujurnya, mereka tidak punya rencana apa pun selama di Negeri Singa. Sera sempat mengajak untuk berkunjung ke Universal Studio tapi ditolak.
Aruna beralasan, mereka sudah pernah mengunjungi satu-satunya taman hiburan bertema Universal Studio yang berada di Asia Tenggara tersebut. Lebih baik mengunjungi tempat lain yang belum pernah mereka singgahi.
Kalau Yora beda lagi. Ia lebih ingin cuci mata di Orchard Road. Ya, biasa lah. Perempuan.
Karena tidak ada rencana, tiga sekawan tersebut memilih untuk santai lebih lama di hotel. Sera dan Aruna tampak sibuk dengan gadget masing-masing saat Yora selesai mandi. Gadis itu sudah tampak lebih segar setelah mabuk semalam.
"Any problem?" tanya Yora pada Aruna yang wajahnya tampak mendung.
"Lagi ngurus masalah lukisan yang kebakar itu."
"Emang part timer lo gak bisa?"
"Bisa sih…"
"Then leave it to them! No works, remember?"
Aruna cemberut, mengetikkan beberapa kata di ponselnya sebelum menaruh benda pipih itu.
Pandangan Yora beralih pada Sera. "Lo juga ngurusin kerjaan?"
"Gue pengangguran, remember?" tanya Sera menirukan nada bicara Yora sebelumnya.
"Jadi hari ini kita mau kemana?"
"Naik bianglala?"
Tawaran Aruna jelas ditolak Yora. Dia kan takut ketinggian.
"Oh, naik cable car?" usul Sera.
"Bisa gak saranin destinasi yang nempel di tanah? Jangan yang melayang di udara."
Sera kembali melihat layar ponselnya. "National Gallery Singapore? Deket kayaknya, dari sini keliatan," katanya sambil menunjuk asal ke arah jendela.
"Yaudah, itu aja."
* * *
Tiga puluh menit kemudian, mereka sudah berada di lobi hotel. Yora sedang memesan taksi online saat tiba-tiba seorang pria kaukasia menyapa. Dari mereka bertiga, hanya Aruna yang nampaknya mengenal orang itu.
"Siapa? Sodaranya?" bisik Yora yang dijawab gelengan clueless oleh Sera. Baru setelah Aruna memberi tau siapa pria tersebut, Sera ber-oh ria.
"Oh, I see! Pardon me, didn't wear my glasses last night. Horrible eyesight."
Sepertinya hanya Yora yang tidak mengerti situasi. Mungkin ia terlalu mabuk semalam.
"Thomas, meet my 'no more drunk' friend, Liora," kata Sera dengan nada sindiran.
"Say thank you and apologize to him because you probably still in the hot tub right now if he didn't lift you up last night," sambung Aruna.
Yora buffering sebentar sampai ingatan semalam kembali hinggap di kepalanya. Ia tidak ingat dengan jelas, yang pasti ia sudah melemparkan gombalan sampah pada pria itu. Mengingatnya membuat Yora ingin kabur sekarang juga.
"Hi, thank you so much. I'm sorry for the chaos I've made… and said," kata Yora seraya menjabat tangan orang yang dikenali bernama Thomas itu.
Sungguh Yora merasa sangat canggung sekarang, walau harus dia akui, bule itu ganteng juga. Seperti belum cukup, pria lain ikut menghampiri.
"Tom!" teriak seorang pria berwajah Asia yang membuat tidak hanya Thomas yang menengok, tapi juga beberapa pengunjung yang ada di lobi.
"Aye, Kev!" sambut Thomas. "Ladies, this is my friend, Kevin. Kev, meet ms. Aruna, ms. Sarah and ms. Liora."
"It's Sera, actually," ralat Sera dengan suara berbisik. Lebih seperti keluhan. Kebanyakan bule salah mengira namanya Sarah. Kalau di mulut orang barat, memang pengucapan Sera dan Sarah beda tipis sih.
"Oh, hi! Sorry, I came late and couldn't help you all last night. Are you sober now?"
Pertanyaan yang ditujukan untuk Yora itu membuat yang ditanya hanya bisa mengangguk kikuk. Beruntung, tidak lama kemudian taksi online yang mereka pesan datang.
"I think we should go now. Gentlemen…" ajak Yora pada kedua sahabatnya seraya pamit undur diri.
Ketiganya lalu masuk ke dalam mobil. Hanya kurang dari 10 menit, mereka sudah tiba di tujuan.
"Deket ya, bun. Baru masuk mobil, udah nyampe," tutur Sera sepeninggal mobil yang mereka tumpangi.
"Tapi kalo jalan, setengah jam," kata Yora.
"Oh, ini National Gallery?" kali ini Aruna yang berkomentar. "Gue pikir ini semacam Balai Kota."
"It was a City Hall. Yang itu Supreme Court," kata Sera menunjuk bangunan dengan kubah di sebelahnya.
Bangunan galeri tersebut memang dulunya adalah Balai Kota serta Mahkamah Agung. Tidak heran, kesan kolonial masih terlihat jelas pada bangunannya. Baru pada tahun 2015 silam, bangunan bersejarah Singapura ini diresmikan menjadi galeri, setelah sebelumnya direnovasi selama kurang lebih 4 tahun.
Setelah membeli tiket, ketiganya lanjut berkeliling galeri yang menaungi sekitar 8000 karya seni tersebut. Yang cukup mengagetkan adalah ternyata ada cukup banyak hal berbau Indonesia di sini. Karya yang dipajang tidak melulu tentang Singapura, tapi juga mencakup se-Asia Tenggara.
Salah satu yang menarik perhatian mereka adalah patung Ken Dedes yang digambarkan dalam bentuk lain berupa bagian bawahnya yang menampilkan aurat dan mengenakan celana. Sebuah bentuk pertemuan tradisional dan modern.
"It says that this work was criticised for insulting Indonesian culture. What do you think, ms. Aruna?" tanya Sera layaknya seorang reporter.
"You are Indonesian. What yourself think about this? Is it insulting your culture?"
Sera tampak menimang jawabannya sejenak. "Hm, ini menurut gue aja ya. It doesn't insulting, but clearly shocking. Apalagi Jawa tuh identik ayu, gemulai. Ngeliat Ken Dedes jadi edgy begini sih, ya aneh ya wak. Tapi ini relate sih. The upper part represents the past, as the lower is kids nowadays."
"There you go. There's nothing wrong about being creative. Art is about freedom. It depends on how you see it. Jadi, terserah lo juga mau liat ini gimana."
Puas dengan jawaban Aruna, Sera lanjut berkeliling. Meninggalkan Yora dan Aruna yang masih bergeming di tempat.
"Kalo menurut gue ini semacam pelecehan buat budaya dan perempuan Indonesia gimana?" tanya Yora.
"Gapapa juga. Judging art is a really subjective thing. Orang lain bisa bilang sebuah lukisan itu jelek dan gak bernilai seni, sementara di saat yang sama, ada juga yang seneng sama lukisan itu. Mungkin karena pengalaman pribadinya, mungkin juga karena dia merasa selera orang-orang gak sebagus dia. Buat gue, setiap karya seni punya makna dan keindahannya masing-masing. It really depends on how people respond to it."
Keduanya sempat diam sejenak. Aruna hendak melangkah pergi tapi terhenti karena pertanyaan lain dari Yora.
"Can you see yourself as a masterpiece too? Gue tau kalo karya seni itu benda mati dan lo makhluk hidup. But in the end of the day, just like arts and the critics, there's always people who judge us as a human being."
Aruna tersenyum kecut dan hanya membalas seadanya sebelum kembali melangkah. "Ngomong emang selalu lebih gampang daripada praktekinnya. Iya kan?"
* * *
Sudah kira-kira 1 jam mereka berkeliling. Tentu saja mereka juga sudah mengamalkan kewajban anak muda zaman now. Apa lagi kalau bukan mengambil foto di spot-spot aesthetic.
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah hari. Tidak heran ketiganya sudah merasa lapar. Mereka lalu memutuskan untuk pergi ke Chinatown menggunakan MRT.
Nuansa khas Tiongkok langsung terasa begitu eskalator dari stasiun yang berada di bawah tanah membawa mereka naik ke atas. Ketiganya lanjut menelusuri jalan yang ramai tersebut menuju tempat yang banyak menjajakan makanan yaitu Chinatown Street Food.
Sesuai namanya, satu ruas jalan tersebut dikhususkan untuk lapak kuliner, semacam pujasera. Banyak terdapat kedai makanan dan meja-meja untuk pengunjung di sepanjang jalan.
Beruntung juga mereka datang saat jam makan sudah lewat. Mereka jadi tidak perlu pusing mencari tempat duduk karena pengunjung yang makan sudah mulai berkurang.
Yora jadi yang bertugas 'taken' tempat duduk setelah sebelumnya menitip pesanan pada Sera dan Aruna. Sambil menunggu, gadis bersurai sepunggung itu memilah foto yang bagus untuk diupload di media sosial.
Satu notifikasi dari Instagram masuk, membuat Yora berbinar, bertepatan dengan Sera yang hendak duduk.
"Ngapa lo senyam senyum? Udah gila?"
"Gue difollback sama Adelio!"
"Adelio? Yang beli Sun Up?"
Yora mengangguk girang sementara Sera mengernyit. "Kok bisa?"
"Ya bisa lah."
Percakapan tidak berlanjut karena Sera menangkap kode Aruna untuk membantu membawa makanan. Tidak lama, santapan siang mereka lengkap, memenuhi meja.
"Abis ini kita mau ke mana lagi?" tanya Aruna ketika mereka sudah mulai makan..
"Haji lane, yuk," ajak Sera.
"Di mana itu?"
"Daerah Bugis."
"Gak bisa yang searah Orhard apa?" tanya Yora. "Gue pengen cuci mata di Orchard."
"Tapi ini tempatnya lucu, Ra. Instagramable," ujar Sera seraya menunjukkan layar ponselnya.
"Oh iya. Boleh deh."
Selesai makan, ketiganya lanjut berkeliling daerah pecinan terlebih dahulu. Sesekali berhenti untuk mencoba camilan tester atau untuk melihat barang-barang unik yang menarik mata.
"Ini klenteng yang ada gigi Budha itu bukan sih?" tanya Aruna ketika mereka tiba di depan bangunan kelenteng.
Sera kaget mendengar pertanyaan Aruna. "Hah?! Beneran ada giginya???"
"Gak tau. Abis namanya Buddha Tooth Relic Temple."
"Masuk aja, biar gak penasaran," kata Yora.
Ketiganya lalu berjalan memasuki bangunan yang dodominasi warna merah tersebut. Di pintu masuknya terdapat tempat untuk membakar hio yang sangat besar. Beberapa orang terlihat bersoja, sembahyang.
Kilau emas langsung memenuhi indra penglihatan mereka begitu memasuki aula utama yang dikenal sebagai Hundred Dragon Hall. Sesuai namanya, banyak patung Buddha berwarna emas yang diletakkan dalam kotak yang mengisi sisi-sisi tembok aula tersebut. Di sisi tengah aula terdapat sebuah patung Buddha berukuran besar dengan dua patung lain yang mengapit sisi kanan dan kirinya.
Terdapat aula lain saat mereka masuk lebih dalam. Tentunya masih didominasi warna merah dan ornamen emas.
Ruangan yang tampak cukup kontras dengan nuansa kelenteng adalah museum yang terdapat di lantai 3. Sebagian besar museum ini berisi tentang kisah hidup Buddha, Sidharta Gautama.
"Padahal udah enak jadi pangeran, why did He choose to live such a hard life?" tanya Yora. Mereka sedang berkeliling museum sekarang.
"Because that's what He chose."
"You don't say, Na."
"Lo juga harusnya gitu, Ra," timpal Sera. "Tinggalkan harta duniawimu dan mulai melayani sesama."
"Ada kata-kata bijak berbunyi; perbaikilah dirimu sendiri sebelum memperbaiki hidup orang lain."
"Tapi lo percaya gak sih? Dewa-dewi begini?" tanya Aruna.
"Well, as a catholic, I believe one God," tutur Yora.
Aruna lalu menatap Sera, membuat yang ditatap menatapnya balik. "What?"
"Do you believe, Gods and Goddess?"
"I do more believe in myself."
Yora berdecih mendengar jawaban Sera. "Selain durhaka ternyata dia juga ateis."
"Bukan gitu," sanggah Sera. "I don't know. I'm a logical person. Dewa dewi kayak gini terasa fiktif buat gue. Yet, I never meet God, or the saints. Ya amit-amit sih. Belom mau juga gue."
Mereka lalu berjalan ke luar bangunan kelenteng tersebut. Sera sempat kecewa karena ternyata tidak bisa melihat relik yang kataya gigi Buddha. Ketiganya kembali menyelusuri jalan sambil terus berbincang.
"Gini nih. Terlalu pinter dan merasa tau segalanya, jadi gak perlu Tuhan."
"Akhirnya lo mengakui kalo gue pinter," ujar Sera penuh kemenangan pada Yora. Ia lalu melanjutkan, "Tapi serius, daripada musingin sesuatu yang kita gak bakal tau sampe akhir zaman. Like, 'does God really exist?' Gue lebih mentingin prakteknya in daily basis. Kayak, percuma lo ngaku beragama tapi korupsi. Percuma lo ngaku taat tapi masih aja ngerendahin orang lain."
"Mantab. Andai saja perkataanmu bisa direalisasikan," ledek Yora sambil bertepuk tangan.
"Bacot. Lo juga."
"You two, stop roasting each other," kata Aruna.
"Ini tuh cara kita menunjukkan cinta kasih buat satu sama lain. Iya gak, Se?"
"Yoi!"
"Tapi, serius deh. Lo ada niatan mau jadi ateis, Se?"
Pertanyaan Aruna membuat Sera tergelak. "Did I really sound like an atheist before? Tenang aja, Na. Temen lo ini masih di jalan Tuhan kok," ujar Sera dengan tangan di dada. Mengisyaratkan kalau ia tulus.
"Ya, kadang nyerempet dikit sih," tambahnya. "Kenapa emang?"
"Karena gue juga pernah mikir kayak gitu. Ragu. Salah gak sih?"
"Salah," tutur Yora. "Tapi wajar. Gue rasa kita emang lagi di umur di mana kita mempertanyakan segalanya. Kita bukan remaja lagi, tapi juga belom cukup matang. Everything seems wrong and questionable. You might get lost."
Lalu sambil merangkul Aruna dan Sera di kiri dan kanannya, Yora melanjutkan. "But don't worry, be happy. Kalo kata lagunya Toy Story, you've got a friend in me."