Sera langsung menuju ke tempat pengambilan bagasi setelah urusan alamnya selesai. Terlihat Aruna dan Yora yang sedang berdiri di depan baggage conveyor dengan 2 koper besar di samping mereka. Satu milik Sera dan satu milik Yora.
"Weh, udah diambilin. Hapal lo ama koper gue," kata Sera saat ia tiba.
"Siapa juga yang bakal bawa koper warna nge-jreng gitu kalo bukan lo," sahut Yora.
"Tapi terbukti jadi gampang kan lo nemunya?"
Yora tidak menjawab karena ia melihat koper dengan beberapa sticker iron man yang tertempel. Gadis itu lalu dengan sigap, dibantu dengan Sera, mengambilnya.
"Lo juga. Tony Stark segede gitu terpampang nyata di koper."
"Biarin lah. Orang ngeliat mukanya RDJ jadi cuci mata. Dari pada ngeliat koper lo, jadi sakit mata."
Mereka bertiga masing-masing membawa 2 koper. Sera sengaja membeli koper berwarna pink dan hijau neon. Supaya mudah dibedakan dengan orang lain katanya. Terbukti memang, kopernya terlihat menonjol dar koper-koper lain. Bahkan dari jauh pun, Sera sudah bisa melihat koper hijau neonnya.
Koper Aruna muncul belakangan. Jika koper Sera mencolok mata, koper Yora penuh sticker, koper Aruna beda lagi. Satu koper polos warna baby blue dan satu lagi berwarna navy yang bagian bawahnya Aruna custom dengan lukisannya. Case koper itu jadi terlihat seperti potret pemandangan matahari terbit.
Memang Aruna nih suka melukis, apa pun medianya. Dari casing HP sampai tote bag. Kalau lagi gabut, Aruna bisa melukis di mana saja. Kata Sera, untung saja tembok rumahnya tidak dijadikan media lukis juga. Kalau tidak, rumah Aruna bisa dikira taman mural.
Setelah mereka sudah mendapat koper masing-masing, tiga sekawan itu lanjut menuju Changi Recommends, sejenis loket pembayaran untuk mengurus beberapa hal yang dapat mempermudah turis selama di Singapura.
Sera, Yora dan Aruna sendiri ke sini untuk membeli tiket MRT. Mereka akan berada di Singapura selama 4 hari 3 malam. Punya kartu MRT tentu saja akan mempermudah mereka dibanding harus membeli tiket di setiap stasiun.
Setelah selesai mengurus kartu, tiga gadis itu lalu menuju stasiun MRT yang berada di lantai bawah tanah bandara.
Katanya, Changi Airport adalah salah satu bandara terbaik di dunia dan tiga sekawan itu setuju. Fasilitas di sini memang lengkap. Dari restoran hingga hotel, semuanya ada di sini.
Mereka bahkan ikhlas lahir batin jika harus menunggu pesawat delay sampai 5 jam lamanya. Ini serius dan pernah terjadi.
"Inget gak sih kita pernah bolak balik naik skytrain dari terminal 3, 2, 1, balik lagi ke 3?" tanya Sera sembari berjalan.
"Terus balik lagi ke 2," kata Yora.
"Tapi terus ke 3 lagi," timpal Aruna.
Mereka lalu tertawa mengingat kelakuan mereka sendiri.
Sekian tahun lalu, saat tiga serangkai itu baru mau naik ke kelas 1 SMP, mereka pernah pergi ke Singapura bersama. Sama seperti sekarang, liburan mereka saat itu juga disponsori Sonya.
Itu karena Yora yang selalu protes karena orangtuanya yang lebih sibuk dengan bisnis tiap mereka liburan ke luar negeri. Jadi, supaya Yora tidak merasa kesepian, Sonya mengikut sertakan Aruna dan Sera.
Penerbangan pulang mereka yang tertunda membuat 3 bocah itu diizinkan Sonya dan Herman untuk berkeliling bandara sendiri. Dari yang niat hati hanya mau melihat toko pernak-pernik, berlanjut jadi adegan kejar-kejaran on the next level.
Kenapa? Soalnya bukan hanya di satu ruangan, mereka juga sampai pindah-pindah terminal menggunakan skytrain. Alhasil, mereka kembali dengan peluh yang membasahi tubuh.
"Nyokap gue sampe terheran-heran, pas balik baju kita lepek."
"Iya! Dikira kita abis nyemplung ke air mancur."
"Tapi kok kita bisa-bisanya gak takut ilang ya? Padahal kan ini bandara gede banget," tanya Aruna.
"Gue sebagai bocah kampung yang baru pertama kali ke luar negeri sih waktu itu mempercayakan diri aja sama lo-lo pada," ujar Sera.
"Kalo ternyata kita menjerumuskan lo ke jalan yang sesat gimana?" tanya Yora.
"Ya udah biasa juga sih. Kan lo emang sesat."
Salah emang ngomong sama titisan setan, batin Yora.
Berjalan sambil berbincang, tidak sadar mereka sudah sampai di tempat MRT. Jam baru menunjukkan pukul 11.30 waktu Singapura.
Walaupun belum merasa lapar, tapi tiga sekawan itu memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Sekalian menghabiskan waktu sembari menunggu jam check in hotel.
Yora merekomendasikan salah satu restoran oriental yang ada di daerah Katong, sebuah daerah yang berada di sisi timur pusat kota Singapura. Restoran itu terkenal dengan laksanya, bahkan konon sudah didatangi banyak sosok terkenal.
Saat tanda pemberitahuan bahwa MRT akan segera tiba, Sera-Aruna-Yora melipir ke bagian samping pintu kaca agar tidak menghalangi penumpang yang akan turun nanti. Ini salah satu yang membedakan Singapura dengan Indonesia. Orang-orangnya tertib dan jelas jadi mempermudah pergerakan mereka.
Kondisi MRT cukup penuh, membuat tiga gadis itu lebih memilih berdiri, walaupun masih ada beberapa spot duduk yang kosong. Sera menyempatkan browsing lokasi restoran laksa yang dimaksud dan menyamakan dengan rute MRT.
Butuh sekitar 40 menit sampai mereka tiba di tujuan. Dari stasiun MRT, mereka perlu berjalan kaki lagi. Terik matahari di tengah hari bolong begini terasa menyiksa ketiganya.
Sebenarnya bisa saja mereka pesan taksi. Tapi berhubung naik taksi di sini mahal dan jarak yang ditempuh terlalu nanggung untuk pesan grab, jadilah mereka berjalan kaki.
Katong dikenal sebagai daerah Peranakan. Zaman dulu, daerah yang juga disebut Tanjung Katong ini dihuni oleh kalangan atas. Mereka banyak membangun rumah juga toko-toko megah di sana.
Maka tidak heran, selama berjalan, tiga sekawan itu juga sembari memotret di sudut-sudut yang menurut mereka 'instagram-able'. Banyak bangunan dengan nuansa Tionghoa yang berwarna-warni di sepanjang jalan yang mereka lalui.
"Berasa di Kota Tua gak sih lo?" tanya Sera sambil menggeret kopernya.
"Iya. Cuma full color," jawab Aruna.
"Kota Tua mah Belanda. Kalo ini kayak di film kungfu," tutur Yora.
"Itu tuh, Toko Merah," kata Sera sambil menunjuk bangunan yang ditutupi dengan warna merah. Memang cukup mengingatkan dengan bangunan yang katanya angker itu.
Perjalanan yang menurut google maps hanya 5 menit itu terulur jadi lebih dari 10 menit karna mereka banyak berfoto sepanjang jalan.
Aruna melirik jam tangannya dan sekarang sudah jam makan siang. Maka wajar saja jika ketika sampai di pintu rumah makan, hampir tidak tersisa meja kosong.
Yora sudah berjongkok saking lelahnya. Rambut sepunggungnya ia gulung sampai atas, menampilkan leher jenjangnya yang kini penuh dengan peluh. Untung saja restoran itu dilengkapi dengan pendingin udara.
Seorang wanita tua lalu menghampiri mereka. Dengan bahasa Inggris yang kental akan logat Chinese-nya, ia berbaik hati menunjukkan satu meja kosong yang ada di sisi dalam restoran.
Saat sedang melihat-lihat buku menu, Sera terlonjak. "Eh, oma-oma yang tadi kayaknya yang punya deh. Liat, dia foto bareng sama Gordon Ramsay!"
"Oh iya! Keren amat," kata Yora. "Kita maksudnya yang keren, langsung disambut sama ownernya."
"Kayaknya dia kasian deh sama kita," timpal Aruna. "Udah bawa koper gede, muka lusuh."
"Tapi emang panas banget sih ini. Kayaknya entar sore ujan deh," kata Yora yang menjadikan buku menu sebagai kipas.
"Lebay lo. Baru gitu doang, udah kayak abis melintasi padang gurun."
Aruna tidak mengambil pusing perdebatan duo RaRa. Ia memilih fokus pada buku menu. "Laksanya 3, yang kecil apa gede?"
"Kecil aja lah. Yang kecil juga porsinya banyak tuh," tutur Sera sambil melirik ke meja sebelah yang memesan 2 ukuran laksa yang berbeda.
"Hakau satu sama somay satu ya kalo gitu?" tanya Yora.
Yora lalu ke meja kasir untuk memesan sekalian membayar. Tidak lama, pesanan mereka datang bersamaan dengan 3 cola yang Yora pesan.
Saat sedang khusyuk menikmati makan siang mereka, ponsel Aruna bergetar. Panggilan video dari Keano itu tanpa ragu Aruna angkat. Tapi bukannya mengarahkan kamera ke wajah, gadis bersurai coklat itu justru memperlihatkan menu makan siangnya.
"Wuih, enak banget! Udah nyampe bukannya kasih kabar, malah langsung kulineran."
Yora lalu menginterupsi, membuat Aruna mengarahkan kamera ponselnya ke Yora. "Sorry, Kak Keano. Kita bukan lagi shooting kabar kabari."
Keano tertawa tapi secara tiba-tiba memperlihatkan wajah Romeo, membuat kuah pedas yang Yora hendak telan berbalik arah ke hidung. Gadis itu terbatuk-batuk membuat Sera kepo dan mengintip layar ponsel Aruna.
Gadis berkaca mata itu langsung tertawa. Dua respon yang berbeda itu bikin Aruna buru-buru membalik ponselnya. Ia membulatkan mata melihat Keano yang sepertinya sedang duduk bersebrangan dengan Romeo di sebuah kafe.
Cowok itu masih tersenyum geli. Tampaknya puas dengan respon kaget Yora barusan.
"Kamu… sejak kapan temenan sama Romeo?" tanya Aruna sambil berbisik. Takut Romeo juga mendengar dan merasa tersinggung. Masalahnya, setau Aruna, pacarnya dan Romeo itu tidak saling kenal.
"Sejak hari ini. Tadi pas abis kamu check in, tiba-tiba dia ngajak ngopi. Kan aku gak enak kalo nolak."
"Cie, Kak Keano. Boys day out sama Romeo," timpal Sera.
"Kamu gak usah deket-deket sama dia."
Yora mengangguk menyetujui Aruna.
"Biarin lah. Siapa tau ayang beb lo bisa kecipratan gantengnya Kak Ken."
Perkataan Sera lalu dihadiahi tatapan nyalang, baik dari Aruna maupun Yora.
"Jangan dengerin Sera!" ancam Aruna pada Keano.
"Iya, sayang. Sampe segitunya."
"Abis dia tuh creepy, Ken."
"Creepy banget!" imbuh Yora.
Keano mengangguk paham walaupun masih tersenyum geli. "Mana Liora? Ada kata-kata penutup nih dari Romeo."
Aruna lalu mengarahkan ponselnya ke Yora lagi, menampilkan Romeo sedang tersenyum malu. Sungguh Yora jadi ingin mencelupkan handphone dengan logo apel tergigit itu ke kuah laksa.
"Hati-hati di sana ya, Liora. I miss you."
Sera tak kuasa menahan tawanya. Begitu juga Aruna yang berusaha menutupi gelaknya dengan wajah prihatin.
Sementara Yora, kalau bisa diilustrasikan, mungkin sekarang wajahnya sudah memerah, disusul kepala yang mengepul dan BOOM, meledak.