Gibran tidak mengubris apapun yang kedua sahabatnya lontarkan, seolah telinganya mendadak tuli saat ada orang yang memintanya untuk menjauhi Kanaya. Rasa sadar kalau Kanaya sudah menikah seakan Gibran tepis. Entah kenapa laki-laki itu merasa Kanaya masih mencintainya.
"Kamu kenapa tumben nggak kerja?" Siapa yang tidak heran dengan sosok se giat Gibran. Bahkan, laki-laki itu jarang sekali berlibur.
"Entah ... aku lagi malas hari ini."
"Tumben?"
Gibran tak menjawab, ia memilih membuka ponselnya untuk membuka aplikasi Instagram.
****
Untuk merayakan rasa bahagia yang menyelimuti hati Kanaya saat ini, ia mengajak Ratu untuk makan di sebuah cafe. Mengingat hanya Ratu satu-satunya orang yang dekat denganya saat ini. Kanaya juga ingin memberikan rasa terima kasih kepada sang sahabat karena sudah membantunya saat suka maupun duka.
"Kamu mau pesan apa?" tawar Kanaya pada Ratu.
"Sok-sokan ... kamu memang punya uang?" Ratu tidak ingin membuat uang sang sahabat berkurang hanya karena membahagiaan dirinya walau itu hanya sedikit.
"Punya dong!"
"Nggak usah! Aku aja yang traktir kamu."
"Mana bisa? Aku yang lagi bahagia, aku dong yang traktir," protes Kanaya.
"Sudah lah, Nay ... nanti kalau kamu sudah sukses pasti aku tidak akan menolak kamu traktir," tutur Ratu dengan tulus.
Kanaya rasanya ingin meneteskan air mata dengan penuturan Ratu yang mampu membuat hatinya tersentuh. Bukan hanya rasa sahabat yang Kanaya rasaka, tetapi rasa saudara benar-benar menyatu padanya dan Ratu.
"Baiklah ... doakan ya," pasrah Kanaya.
"Pasti."
****
Laki-laki itu mencari cari sebuah akun di instagram dengan sangat teliti, ia juga beberapa kali salah orang, yang Gibran pikir akun itu milik Kanaya. Entah sampai kapan Gibran akan paham jika dia dan Kanaya sudah tidak ada ikatan apapun. Seharusnya Gibran sadar jika Kanaya sudah memiliki suami, itu yang harus selalu Gibran ingat. Semantara pikiranya selalu lupa akan status Kanaya saat ini.
Setelah mencari, ia menemukan akun instagram Ratu, dan tidak berjarak lama tentu ia mendapatkan akun milik Kanaya. Setelah mendapatkan akun Kanaya, ia berusaha mencari postingan sang mantan. Gibran beberapa kali di buat bingung saat melihat beberapa postingan Kanaya yang hanya tentang dirinya dan para temanya. Ada beberapa cowok yang di unggah oleh Kanaya. Namun, itupun tidak berdua saja, dan tidak ada adegan mesra yang menunjukkan mereka sepasang suami istri. Gibran mengamati tanggal dan bulan postingan Kanaya yang terakhir, ternyata masih dua hari yang lalu.
"Maksudnya ini bagaimana?" Gumam Gibran lirih.
"Apa?" Sahut Rian yang baru saja datang.
"Ehm ... bukan apa-apa."
Rian dan Rio saling mengangkat kedua alis mereka, seolah sedang saling memberikan code keras. Tidak jarak lama, Rian menyahut ponsel Gibran lalu melemparnya ke Rio.
"Woi ... apaan sih kalian? Balikin!" wajah kesal benar-benar menyelimuti Gibran saat ini. Apalagi laki-laki itu sedang berpikir serius tentang apa yang ada di pikiranya saat ini.
"Baca, Yo ..." ujar Rian dengan senyum menggoda.
"Ehm ... Kanaya Sangita." Rio langsung terdiam setelahnya.
"Kanaya?" Rian langsung memudarkan senyum yang tadi terbentuk dengan baik.
"Bro ..." Rio mendekat dengan nada lemas.
Rian menatap Gibran yang hanya terdiam menatap mereka tanpa kata-kata. Entah apa yang laki-laki itu pikirkan sekarang.
"Gib, lo lupain perempuan itu! Banyak perempuan yang lebih baik dari dia. Aku tidak ingin lo, terjerumus ke lubang yang sama," kali ini tatapan Rian nampak lebih serius dari sebelumnya.
"Iya, Gib. Lo juga tau kalau dia sudah menikah, buat apa lo pikirin wanita seperti dia."
"Hentikan ucapan kalian! Aku tidak suka ada orang yang merendahkan Kanaya," tatapan Gibran benar-benar marah ke arah kedua sahabatnya tersebut.
Rian dan Rio sama sama di buat bungkam seketika, seolah ancaman Gibran menusuk tanpa permisi.
"Bukan gitu, Gib. Kita hanya tidak mau, kamu berurusan dengan perempuan yang bersuami," Rio berusaha meluruskan agar tidak ada kehebohan di siang bolong.
"Iya, maksud kita itu. Kamu jangan sampai berurusan dengan suami Kanaya," tambah Rian.
Rio menatap tajam ke Rian, seolah tanda kesalnya kepada sang sahabat.
"Lo, nggak punya kalimat lain?" bisik Rio kesal.
"Gue gugup. Gibran jarang semarah itu," Rian berusaha mencari alasan.
"Alasan."
Gibran masih diam dengan wajah menunduk, membuat kedua sahabatnya semakin merasa bersalah.
****
Setelah selesai makan, Kanaya memustuskan untuk pergi sebentar ke taman yang biasa ia kunjungi saat suntuk. Namun, Kanaya kali ini tanpa Ratu. Ratu harus pulang untuk urusan penting. Kanaya terpaksa kesana sendirian untuk menghibur diri. Beberapa bulan Kanaya hanya sibuk mencari uang tanpa memikirkan badan dan pikiranya yang butuh jalan-jalan.
Kanaya duduk di bangku taman sembari memperhatikan orang yang lalu lalang dengan pasangan maupun sepasang suami istri. Ingin? Semua manusia pasti ingin berkeluarga. Namun, keinginan Kanaya harus ia kubur lebih dulu, perempuan itu belum ingin menikah jika belum menyelesaikan segala masalah yang belum ia selesaikan.
"Entah sampai kapan?" Gumam Kanaya pada dirinya sendiri.
Tatapan perempuan itu tertuju ke arah langit yang cerah, kedua matanya tiba-tiba memanas seolah air mata siap menetes. Rasa lelah? Iya memang lelah, tapi apa yang bisa dia lakukan agar mempercepat segalanya. Menikah dengan Febian? Mungkin hal itu yang paling tidak ingin Kanaya lakukan.
Kanaya berdiri, ia ingin berjalan menikmati jalanan di sekeliling taman. Berharap bebannya berkurang tanpa ia minta.
"Pulang jalan kaki gimana ya?" ujar Kanaya pada dirinya. Seolah sedang mencari kenikmatan.
"Tapi kalau aku lelah gimana? Ah ... nanti aku tinggal panggil taxi atau angkot di jalan." Tambahnya.
Kanaya mulai berjalan, berencana pulang dengan jalan kaki. Entahlah ... apa yang membuat perempuan itu merasa nikmat saat jalan kaki di jalan raya. Sanggupkah ia jalan kaki sampai rumah? Sejauh 200 kilometer.
Kanaya mengamati setiap bangunan dan kendaraan yang berlalu lalang dengan cepat, seolah rasa takut tidak ia rasakan lagi.
"Heh, kamu ngapain?" Ujar seseorang dengan nada sedikit tinggi.
Kanaya cukup kaget dan menoleh ke sumber suara.
"Gib ... Gibran?" Kanaya melihat Gibran yang masih menatapnya dengan tatapan kesal bercampur penuh tanya.
Kanaya masih diam di tempat, ia cukup bingung dengan kehadiran cowok itu yang secara tiba-tiba.
"Kamu ngapain jalan kaki? Naik ke mobilku sekarang!" Gibran kali ini semakin meninggikan suaranya.
Kanaya tak kunjung menjawab, tatapannya masih bingung dan tidak mengerti. Ia mulai mengerjabkan matanya beberapa kali, untuk memastikan ia tidak sedang berpimpi atau mengkhayal.
"Gibran, ini kamu?"
"Naik!" Sentak Gibran yang semakin kesal.
Gibran menarik Kanaya dengan raut wajah kesal agar perempuan itu cepat masuk kedalam mobilnya.
BACA TERUS KISAH GIBRAN
NANTIKAN PART SELANJUTNYA
JANGAN LUPA SUBSCRIBER DAN VOTE YA ...
SALAM
NURKHUSNA.