Chereads / GIGOLO METROPOLITAN / Chapter 17 - 17. Mengapa Ada Cinta Bila Membuat Insan Meratap

Chapter 17 - 17. Mengapa Ada Cinta Bila Membuat Insan Meratap

Berdiri dari balik dinding kaca, memandang luas keluar.

"Bagaimana. Sudah dapat berita mereka?" bertanya pada seorang karyawan yang berdiri sekitar tiga meter dibelakangnya.

"Mereka semua telah pindah. Hanya Monika yang saya tahu telah kembali pada keluarganya", ucap wanita berambut sebahu dengan berpakaian formal yang elegan.

"Oke", ucap Albert kemudian memintanya kembali pada pekerjaannya.

Ketika langit sedang tidur. Sang pendosa bersenang-senang bersama Iblis.

Menari, bertelanjang dan bersukaria. Mereguk Wine, meraba lekuk kiasan Surga.

*

Terkungkung di sudut ruang gelap. Ketika tahu sudah berada di penghujung waktu. Bersembunyi dari puncak ketakutan. Menghadapi sisa waktu yang terbatas. Mungkin lebih lama dari kecemasannya. Mungkin lebih cepat dari prasangkanya.

Seorang Ibu selalu tahu bagaimana putranya yang hanya membutuhkan belas kasih sayangnya. Terbangun dan langsung merasakan ketakutan. Menatap sekeliling dan melihat kenyataan. Akankah semua itu menghilang, ataukah diri ini yang menghilang.

Kematian yang sudah sangat dekat. Ketika rasa pertama yang dirasakan adalah ketakutan dan kesedihan. Menangis didalam hati. Memendam kepedihan yang untuk sekadar diceritakan saja sudah tak perlu. Reza yang kini tak lebih hanya seperti seonggok sampah.

"Kumaha lamun Fendy maot tiheula? Saha nu ék ngajaga ibu?"

Tentang kemungkinan besar dirinya yang akan lebih dahulu meninggal dunia dari pada ibunya

"Hirup jeung maot mah keun jadi urusan gusti nu agung. Entong ringrang manéh téh!"

Menasihati putranya untuk tidak terlalu mencemaskan waktu kematian, karena kematian sudah menjadi kuasa dan kehendak Sang Hyang Widi.

"Tapi Dokter bilang kemungkinan Reza tak akan hidup lebih lama lagi,"

"Dokter gé manusa. Jelema teu bisa nentukeun maot jeung hirup jelema lain!" Manusia tak berhak menentukan kematian manusia lainnya. Merasa senang walau hanya untuk sesaat saja.

"Fendy, sieun lamun saré teu bisa hudang deui," Ketakutan atas kemungkinan bila dirinya tak pernah bangun lagi dari waktu tidurnya.

Menahan air mata saat mendengar kata-kata sedih putranya yang takut akan kematian. Walau bukan tak mungkin kematian akan lebih dahulu menjemputnya.

"Ibu, Fendy sieun asup ka Naraka!" 

Memberi tahu kepada ibunya tentang ketakutannya bila saja akan masuk Neraka. Ketakutan yang berasal dari hati terdalamnya.

"Kalau ibu masuk Surga, sementara Reza masuk Neraka, naha ibu arek nulungan Fendy?" bertanya atas kesediaannya menolongnya bila benar dirinya akan masuk Neraka.

Menggeremas hidung serta sebagian mulutnya. Memalingkan muka tetapi sama sekali itu tak membuatnya terhibur. Bahkan melihat wajah putranya yang seperti tengah memohon membuatnya semakin bersedih. Membuat tangisannya semakin menjadi.

"Ibu teh bakal ngalakuken naon wae jang anjeun!"

Berkata dengan sangat ihklas atas tindakan yang mungkin saja bisa dilakukan untuk menolong

putranya. Walau dia tahu semua itu tak mungkin. Karena masing-masing nasib baik, hanya ditentukan oleh amal baik masing-masing makhluk. Bukan karena bantuan orang lain yang amalannya lebih baik.

Sementara dirinya pun tak tahu apakah dirinya kelak langsung masuk Surga. Kesalahan yang dibuat sehingga putranya terjebak dalam lembah dosa. Tak lepas dari kekurangannya sebagai seorang ibu yang tak bisa mengontrol penuh bagaimana kehidupan

putranya, sehingga terlena dalam permainannya di lembah dosa.

"Fendy nya'ah ka ibu," Mengatakan perasaan sayang dan cintanya pada ibunya.

"Poé ayeuna teh masak jang anjeun!"

Mengalihkan pokok pembicaraan dengan memberitahu jika hari ini Ibunya memasak enak, khusus untuknya.

"Apa ibu masak enak karena tahu Reza akan mati?"

"Huss  A, teu kénging su'udzon kawas kitu!"

Memberitahu jika dia pernah membaca sebuah artikel yang menjelaskan disana jika seorang ibu selalu tahu dan dapat merasakan apa yang dirasakan Anaknya. Memastikan apakah dirinya juga merasakan ketakutan yang dia rasakan dan tahu kapan kematian benar-benar akan menjemputnya.

"Maot cuman gusti nu terang. Teu aya hiji pun Umat-Na, termasuk ibu apal kana ajalna hiji jelema!" Manakala dunia mengubah debu menjadi kristal. Melupakan takdir jika debu hanyalah debu.

*

Seharusnya dia datang ke kantor untuk mengakhiri kerja sama yang seharusnya memang sudah berakhir. Ini untuk hari kelima Randy menunggu dan Direktur yang sebenarnya belum juga muncul. Berpikir dan menimbang, akhirnya Randy memutuskan untuk menemui Pak Mikail, orang tuanya. Pertama kali kembali menginjakkan kaki dipelataran rumah. Perasaan aneh seketika menyelusuk masuk.

Terasa dirinya menjadi asing ditempat dirinya dibesarkan. Menghabiskan masa kecil hingga dewasanya. Suasana tampak sepi, lengang. Mungkin karena masih terlalu pagi sehingga mereka masih berada didalam ruang masing-masing.

Berjalan melewati kolam buatan yang dulu penuh dengan ikan-ikan mas. Rumpun pohon bambu kuning yang tumbuh disepanjang sisi tembok telah semakin rimbun, tak beraturan. Pohon kelapa yang kini telah tumbuh lebih tinggi, tetapi buahnya masih tetap banyak. Tampak beberapa buahnya yang jatuh disekitarannya.

Saung panjang tempat biasa bersantai pada siang dan sore hari. Angin bertiup sepoi menimbulkan bunyi dedaunan.

Memperhatikan kolam ikan, tempat dimana dirinya dan Pak Mikail menghabiskan minggu pagi untuk sekadar memancing disana. Waktu cepat sekali berlalu. Kala itu Pak Mikail masih sangat kuat dan belum menggunakan tongkat. Dari jarak yang tak terlalu jauh, Pak Mikail mengamati dari arah belakang. Seakan tak ingin mengganggu putranya yang sedang menikmati kenangan masa lalu.

Berdiri menghadap taman luas didepan rumah besarnya. Merasakan seseorang tengah mengamatinya, dan Randy menoleh kebelakang. Beberapa waktu saling menatap kemudian Pak Mikail berbalik arah, kembali masuk kedalam. Memperhatikan langkah orang tuanya yang kepongahan diusia senjanya. Untuk berjalanan saja dia harus menggunakan tongkat.

Antara naluri dan egonya beradu untuk sekadar membantu atau membiarkannya. Bila dibandingkan, bahkan Randy merasa tak lebih baik dari tongkat penyangga yang selalu berada didekatnya tanpa pernah mengeluh.

Tak tahan lagi, Randy segera menyusul Pak Mikail yang sedang berusaha menaiki satu per satu anak tangga dengan penuh perjuangan. Memegang satu tangannya dan menahan pundaknya dengan tangan lainnya.

Berhenti dan hanya menoleh, kemudian Pak Mikail kembali menaiki anak tangga, dengan dipapah putranya. Hingga berada di undakan teratas, dan mengambil napas dengan suara beratnya. Berputar dan mengedarkan pandangannya pada sekeliling halaman luasnya. Bergerenyit pangkal tongkatnya yang beradu dengan lantai keramik.

"Maaf karena tak mengabari terlebih dahulu."Bereaksi dengan hanya melihatinya saja.

"Ya",

Memperkirakan tujuan sebenarnya putranya datang kerumahnya.

"Jangan khawatir. Aku sudah menyiapkannya!"

Kemudian Pak Mikial masuk kedalam rumah dengan diikuti Randy yang tak lagi memapahnya. Mengambil sesuatu dari dalam lemari dan memberikannya pada Randy. saat itu juga dan dia mengintip isi dalam amplop yang di berikan. Selembar cek bertuliskan

nominal rupiah yang ternyata jauh melebihi jumlah yang telah disepakati.

"Aku akan segera mengirim kembali kelebihannya!"

"Tidak!" ucapnya tegas. "Itu bukan untukmu, tapi untuk cucuku." Seakan keputusannya tidak terbantahkan. "Pertimbangkan kalau aku juga punya hak atas anakmu", sejenak berpikir. "Setidaknya untuk memberinya perhatian", dengan suara melemah.

Tak seharusnya memang Randy terlalu berpikir buruk pada orang tuanya sendiri.

"Maaf jika telah menyinggungmu", sesalnya.

"Apapun alibimu tentang keburukanku, kamu tetap keturunanku. Dan dalam tubuh putramu juga mengalir darahku!"

"Aku tak mengatakan kau buruk. Aku hanya harus membicarakan dulu dengan istriku!"

Menatapi putranya yang kini telah dewasa. Bahkan telah memasuki masa dimana dirinya harus bertanggung jawab atas beberapa orang sekaligus. Terutama keluarga dan lingkungannya. Secepat itukah waktu berlalu. Dimana putra kecilnya yang dulu pernanh merengek, meminta mainan baru padanya. Dimana putra kecilnya dulu yang harus dia marahi karena ketidak disiplinannya. Dimana putra kecilnya yang dulu berprestasi, dan membuatnya bangga didepan para guru dan wali murid lainnya.

Sungguh Pak Mikail sangat merindukan masa-masa itu. Pantaskah seorang ayah meminta maaf terlebih dahulu pada putranya? Jika memang harus, dirinya bersedia meminta maaf pada putranya. Terdengar sangat menyedihkan dan membuat Randy sebagai seorang anak merasa bersalah dan tak berbakti. Sedikit berputar, dengan bertopang pada tongkatnya.

"Bertahanlah di Miracle dan aku akan mengabulkan apapun permintaanmu!"

Hanya berkutat ditempat, dan masih dengan prinsipnya.

"Tempatku bukan disini. Bukankah itu yang pernah kau katakan? Bukankah kita memulai kerja sama ini dengan mudah? Mohon jangan mempersulit keadaan."

Mengenai perjanjian awal ketika Pak Mikail memintanya kembali pada Miracle untuk sementara waktu sampai Monika siap dengan kemampuannya.

"Bila kau mengaitkan ini dengan masa lalu kita. Sebenarnya aku telah menganggap masa lalu hanya bagian dari takdir. Tak ada yang perlu dipermasalahkan dan tak ada yang perlu disesalkan!"

Meradang seketika itu Pak Mikail pada putranya yang keras kepala.

"Kau memang batu", ucapnya tegas.

"Bagaimanapun, aku tidak bisa membenarkan keputusanmu!"

"Ini bukan soal salah atau benar. Tapi karena harga diri. Seperti yang selalu kau ajarkan kepadaku, sebagai seorang laki-laki!"

Melihat dengan hanya menggerakan bola mata pada orang tuanya yang tetap bersikap kaku. __ "Aku harus kembali ke kantor, untuk bersia-siap!"

Sedikit membungkuk kemudian Randy berlalu dari hadapannya. Berusaha menguatkan diri dengan bersikap tegar dan tak terguncang. Sementara Monika yang memang sejak tadi menunggunya dari balik pintu, berdiri menghadangnya.

"Monika",

Monika yang melihat dengan tatapan tak sukanya.

"Aku tak mengira kau se tak tahu diri ini!" ucapnya datar. "Bagaimanapun dia orang tua kita. Tak

sepantasnya kamu bersikap seperti itu padanya!" lanjutnya lebih tegas.

Randy yang menganggap kemarahan Monika tak lebih hanya reaksi atas tindakan beberapa waktu lalu padanya.

"Aku tahu kamu marah, bahkan benci kepadaku", ucap Randy kepadanya.

"Secara pribadi, aku minta maaf atas semua kejadian beberapa waktu lalu. Kamu tahu Aku melakukan semua ini untukmu, tapi jangan khawatir, aku telah mengembalikan semua yang

menjadi hakmu!" pungkasnya.

Membalas dengan hanya menyunggingkan sisi bibirnya. Membuang pandang kemudian kembali

melihatinya.

"Kau pikir aku benar-benar menginginkannya?" ucap Monika kesal. "Sebenarnya aku hanya senang bertikai denganmu!"

"Berhenti berpikir kalau ini sebuah pertarungan!" tegas Randy. "Bersikap dewasalah Monika. Jadilah anak yang baik!"

Tertawa Monika sebagai bentuk ketidak sukaannya.

"Apa kamu bilang?" sambil memusatkan pandangannya pada Randy. "You think You're a good Man?" berseloroh dengan tawa merendahkan.

Menatap tegas Monika yang sama sekali tak gentar, juga menatapinya. Menghela napas kemudian Randy berlalu pergi dari hadapannya. Tampak ragu dalam beberapa langkah kemudian berhenti kembali. Sedikit menoleh pada Monika.

"Sampai kapanpun, dan apapun yang terjadi, kalian tetap keluargaku!"

Sedikit tersenyum, kemudian berjalan kembali tanpa ragu. Melewati jalanan setapak, menurun hingga keluar dari area rumah. Monika yang mengamati Randy hingga benar-benar tak tampak lagi, kemudian masuk kedalam rumah.

***