Berdiri Randy menghadap Pak Mikail di ruangan khusus miliknya dengan maksud menginformasikan tentang siapa Albert yang sebenarnya. Memberikan berkas laporan yang dia buat atas inisiatifnya sendiri pada Pak Mikail yang tampak sedang tak terlalu sibuk dan hanya sekadar bersantai saja.
"Apa ini?"
"Data lengkap Albert yang sebenarnya!"
Mengernyitkan dahi pertanda Pak Mikail tak terlalu mengerti dengan maksud perkataan putranya. Mengambil dan membuka berkas laporan yang dia berikan. Membaca baris demi baris setiap informasi yang tertera didalamnya. Sesuai perkiraan, Pak Mikail sangat terkejut karena seorang sepertinya tidak menyadari bagian yang sepertinya tak terlalu penting tetapi kritis. Bagaimana mungkin dia tak mengetahui jika salah satu petinggi perusahaan miliknya adalah seorang pembohong.
"Ayah pasti tahu Robert Tiebout", terlebih dahulu memastikan. "Albert adalah putranya. Albert
Tibout!" ucapnya mengulang. "Saat ini Monika tinggal bersamanya", pungkasnya.
Melihat dua nama dengan lampiran foto yang Pak Mikail kenal salah satunya.
"Bukankah ini Juno", bertanya Pak Mikail.
"Ya, terapis kesayangan Ayah!" menjawab Randy dengan reaksi kurang senangnya karena pernah merasa tak lebih dihargai darinya ketika itu.
"Kau kenal satunya lagi?"
"Tidak. Tapi semua data tentangnya ada disana."
Membuka beberapa halaman sekaligus. Terkejut Pak Mikail membaca data riwayat hidup orang-orang yang dirasa sangat tidak pantas berteman atau berada disekitar Monika, putrinya.
"Apa benar Monika berteman dengan mereka?"
"Ayah bisa memastikannya sendiri!"
Rencana Monika yang akan mendirikan PH (Production House) bersama Albert dengan dukungan dari Gilang, pihak dari MGC Adv. Seperti Monika mengulang kesalahan yang sama. Tak menyangka putrinya tak lebih pintar dari seekor katak yang kembali jatuh pada lubang yang sama.
Bagaimana mungkin dia menyalahgunakan hukuman yang sebenarnya Pak Mikail maksudkan untuk membuatnya lebih berpikir. Seperti membasuh muka dengan air liurnya sendiri. Mengira dirinya sedang berusaha untuk memperbaiki kesalahannya, namun yang terjadi adalah malah semakin memperbesar kesalahannya.
"Anak itu benar-benar!..." Tak melanjutkan kalimatnya saat dadanya terasa sesak. Randy yang melihatnya sangat tertekan dan khawatir pada kesehatannya. Menawarkan diri untuk mengatasi persoalan yang Randy yakin mampu menyelesaikannya.
"Izinkan aku menangani masalah ini", menawaran diri untuk tugas khususnya.
"Tidak. Aku akan turun tangan sendiri. Mereka harus diberi pelajaran!" tolak Pak Mikail mantap.
Sepertinya Pak Mikail tidak ingin main-main lagi dan benar-benar akan memberi hukuman pada mereka semua yang terlibat dalam permainannya.
*
Melewati megahnya lobby hotel yang teduh dengan petugas keamanan yang semuanya bersikap sangat ramah. Terlebih dahulu Reza menemui petugas lobby.
"Aku ada janji dengan Pak Mikail di kamar 517. Saya Reza!" ucapnya memberitahu.
"Oke, tunggu sebentar ya Pak Reza!"
Tampak petugas itu menghubungi seseorang, menyebut namanya untuk mengkonfirmasikan. Menutup panggilannya dan kembali pada Reza.
"Silakan, Bapak sudah ditunggu!"
Meminta pada seorang petugas untuk mengantarkan ke lift. Meluncur ke lantai lima, nomor 517, yang angka lima di depan adalah menunjuk pada posisi lantainya.
Sama sekali tak sulit menemukannya. Duduk ditepian tempat tidur dengan kedua tangan memegang kepala tongkatnya. Seorang tua bangka yang seharusnya lebih banyak beristirahat dirumah. Sama sekali tak tampak jika dirinya adalah seorang yang menyimpang. Mata tajam dan tegas yang hanya tertuju kearahnya. Sepertinya dia seorang yang sudah terbiasa dengan keras dan kejamnya kehidupan. Seorang yang sudah sering melewati masa-masa sulit.
Semua itu dapat dipastikan dari sikap tenangnya yang dan berkarakter. Memperhatikan sekeliling ruangan yang ketika baru memasukinya saja sudah terkesan sangat nyaman. Berjalan santai dengan kedua tangan berada pada kantong celana Jeans-nya. Dengan masih memainkan permen karet yang sudah mulai terasa pahit dimulut. Jika bukan karena dia seorang beruang, tidak akan Reza bersedia datang, memenuhi panggilannya.
Bersikap menyenangkan, seolah dirinya tertarik pada tua bangka yang sudah bau tanah sepertinya. Sebenarnya tidak sama sekali.
"Aku Reza", ucapnya memperkenalkan diri. Membalas hanya dengan sedikit sekali tersenyum. Dengan tatapan yang setajam mata Elang.
"Kenapa kaku sekali. Apa perlu aku lemaskan dulu?"
Berkata dengan maksud bercanda. Berjalan santai, mendekat kepadanya. Berdiri seolah membiarkan Laki-laki tua itu mengamati seluruh dari dirinya. Seolah memberitahu jika dirinya adalah produk pilihan yang seorang sepertinya pantas menikmatinya. Menukar sedikit materi yang tak bernilai dengan kesenangan sesaat. Sejenak lepas dari beban hidup yang sudah pasti penuh dengan sandiwara. Seperti yang Reza simpulkan untuk manusia bertopeng sepertinya. Seorang yang terikat privasi hingga harus menyiksa diri dengan kepura-puraan seumur hidup. Sungguh keputusan yang sangat melelahkan, dan menyedihkan.
"Berapa tarif kamu?" Bertanya dengan tanpa basa-basi. Sepertinya dia tak
terlalu punya banyak waktu untuk bersenang-senang dengannya. Sama sekali tak masalah, justru akan mempermudah pekerjaannya.
"Khusus laki-laki, 5jt short time!"
"Oke!"
Kemudian Laki-laki tuaitu mengeluarkan dua ikat uang dari balik jas dan melempar begitu saja kearah kakinya. Seperti anjing peliharaan kemudian Reza memungut dua ikat uang itu. Tampak laki-laki tua itu sangat menikmatinya. Merasa sangat terhina, walau sudah sepantasnya orang sepertinya mendapat perlakuan seperti itu. Tugasnya sekarang adalah, memberikan apa saja yang dia inginkan.
Melepas satu per satu kancing baju dengan mata tetap menatap kepadanya. Seakan berkata jika pertunjukkan akan segera dimulai. Memberi sedikit jeda waktu untuk terlebih dulu Laki-laki tua itu melihati bagian tubuhnya yang terbuka. Sambil memamerkan lekuk, bentuk tubuhnya.
Dengan senyum yang lebih tampak seperti sedang menertawai, Laki-laki tua yang tak lain adalah Pak Mikail hanya melihatinya saja.
"Kau ingin aku sebagai apa?"
Sebagai pelacur yang baik, sudah sepantasnya Reza bersedia melakukan apa saja untuk membuatnya puas. Demi mendapat imbalan materi yang setimpal dengan pengorbanannya.
Menangkap kesan tak nyaman yang ditunjukkan clientnya saat membuang pandang. Sepertinya Reza harus sedikit berjuang untuk mengembalikan mood baiknya. Seharusnya dia tak perlu merasa malu karena tak ada orang selain mereka berdua. Menerka-nerka tentang fantasi seperti apa yang bisa membuatnya terhibur.
"Aku ingin kamu sebagai dirimu sendiri!" Berkata dengan suara datar yang terkesan tegas.
Sekali lagi cara yang dia lakukan tak berhasil membuatnya bergairah. Berusaha mencerna maksud dari kata-katanya. Ternyata jauh lebih mudah dari yang dia kira.
Mendekat, membiarkan lelaki tua itu bermain dengan tubuhnya. Membiarkannya menjamah seluruh tubuh sehingga dia segera dapat menyelesaikan pekerjaannya. Tanpa peduli kesakitan atau kepedihan yang meronta dari dalam dirinya.
Pada saat yang sama, dengan tongkatnya Pak Mikail menahan bagian perut Reza untuk tak mendekat. Menekan dengan kuat hingga membuatnya mundur kebelakang. Merasakan sakit karena perlakuannya.
"Aku memanggilmu bukan untuk bercinta!"
"Lalu untuk apa?" bertanya Reza dalam hati.
Baru sekali ini Reza bertemu dengan pelanggan yang terlalu bertele-tele. Membuatnya beberapa kali melakukan tindakan yang sia-sia saja. Mulai timbul kecurigaan mengenai kemungkinan dirinya hanya seorang wartawan yang menginginkan informasi darinya. Namun sama sekali tak tampak dari penampilan fisik maupun caranya bersikap.
"Apa maksudmu?"
Meminta Reza kembali mengenakan pakaiannya.
Masih belum tahu tujuan sebenarnya, Reza melakukan saja apa yang diperintahkan. Mengencangkan ikat pinggang dan memakai kembali bajunya. Mengamati setiap gerakan termasuk saat dia melihat jarum jam tangannya.
"Aku hanya ingin berbincang denganmu!" masih berdiri didepannya.
"Jangan khawatir, aku bukan pencari berita atau petugas keamanan seperti yang kau takutkan!"
"Oke, aku akan menjadi pendengar yang baik", ...
Seharusnya sejak awal dia langsung mengatakannya. Sedikit merasa lega, karena tak seburuk perkiraannya. Tak disangka pekerjaan menjadi lebih mudah. Berhadapan dengan seorang kaya raya yang tak memiliki teman bicara. Seorang yang tak sanggup lagi menampung beban kepura-puraan, atau mungkin beban kehidupannya. Sekejam itukah kehidupannya, hingga tak memiliki satu pun orang yang bisa dipercayai. Berkata dalam hati jika dia tak salah memilih orang sepertinya. Seorang yang tak akan pernah tertarik untuk lebih jauh mencampuri urusan pribadinya. Melihat seperangkat penyeduh kopi di meja sana. Menawarkan diri untuk menuangkan kopi panas.
"Aku memanggilmu untuk membuat sebuah kesepakatan!"
Kembali dengan membawakan secangkir kopi yang hanya dengan isyarat Pak Mikail menyuruh untuk menyingkirkannya.
"Kesepakatan?"
Memberinya selembar foto saat mereka bertiga berada di sebuah Club malam. Berkata jika dia pun tahu jika dirinya berteman baik dengan mereka. Rupanya perkiraanya kembali salah.
"Siapa kamu sebenarnya?"
Melihati dengan rasa semakin ingin tahu saat dia beranjak, berjalan kearah jendela. Melihat keluar, dari sana Pak Mikail dapat melihat keramaian jalanan siang itu. Seperti dirinya kini berada di dunia yang asing. Setiap saat merindukan kehidupan lamanya yang tenteram, penuh dengan kedamaian. Betapa sangat rindu dia dengan masa lalu yang telah dia tukar dengan kemewahan dan kecemasan. Kini tak satu pun yang tahu betapa dirinya sebenarnya sangat menderita. Sementara Reza hanya bergeser dari posisi berdirinya sambil terus memperhatikannya.
"Gadis yang bersama kalian adalah putriku!"
Benarkah yang tua bangka itu ucapkan? Sepertinya ini lebih serius dari yang Reza perkirakan. Membayangkan reaksi Monika jika tahu saat ini dirinya tengah bersama Ayahnya. Sungguh memalukan sekali. Masuk kedalam perangkap seperti anak kancil yang terjerat oleh jebakan sang petani dengan mengatas namakan orang lain untuk memanggilnya.
"Kau tentu tahu apa yang terjadi antara aku dan putriku!"
Memang benar, walau sejak awal sama sekali Reza tak tertarik untuk terlibat dalam perseteruan mereka. Tampak Pak Mikail kembali mengeluarkan sesatu dari balik jas hitamnya. Memberikan selembar kertas yang langsung dia tahu adalah copy data riwayat pengobatannya. Bagaimana mungkin dia mendapatkan berkas yang tak seharusnya pihak luar memilikinya. Seketika kakinya menjadi lemas karena keterkejutannya.
"Bagaimana kau bisa", ...
Memotong sendiri pertanyaannya.
"Terlalu mudah. Seperti yang bisa aku lakukan pada kalian!"Menjawab dengan menyisipkan sebuah ancaman. Seperti dirinya berhak melakukan apa saja pada orang lain. Dengan segala kemampuan dan kuasa yang dia miliki.
Tidak benar. Mana boleh dia bersikap arogan dan sewenang-wenang seperti itu. Tampak senang karena kemenangan di langkah awalnya. Dengan tangan gemetar, Reza meletakkan secangkir kopi yang seketika menjadi sangat tidak nikmat. Satu orang telah mengetahui kondisi sebenarnya. Dia adalah orang tua Monika, gadis yang tengah terlibat affair dengan salah satu teman dekatnya. Rasa takut yang tiba-tiba datang menyelubung. Bagaimana jika satu
per satu diantara mereka tahu lalu menghujatnya.
"Katakan apa yang kau inginkan?"
Tersenyum senang atas penawaran yang baru saja diajukan padanya.
"Sebenarnya aku hanya mencemasan putriku bila lebih lama lagi berada dekat dengan kalian!" Berkata dengan kembali menghentakkan tongkatnya ke lantai.
"Aku akan sangat marah jika sesuatu yang buruk terjadi padanya!"
Insting melindungi yang tak seharusnya dia lampiaskan kepadanya. Sudah menjadi kewajaran memang seorang ayah mengkhawatirkan anaknya. Tidakkah dia memandang jika dirinya juga anak manusia? Dan yang baru saja dia lakukan adalah kebalikannya. Menghakimi seolah dirinya manusia tanpa dosa yang memandang rendah manusia lain.
Merasa dirinya tak pernah mencari masalah dengannya. Namun dia telah dijadikan salah satu target sasarannya.
"Jika kau mau berpihak padaku, aku akan bersikap baik dan berpihak kepadamu!"
Berkisah kehidupan masa lalunya yang bagi Reza terdengar sangat menyayat. Masa lalu yang semakin ingin dia lupakan, tetapi semakin menjadi momok yang terus membayangi. Masa lalu yang secara langsung mengubah kepribadian serta kehidupannya. Rupanya laki-laki tua itu lebih banyak tahu dari yang dia perkirakan.
"Aku akan jaga rahasia ini sampai kau benar-benar pergi dari dunia ini!"
Seolah kematian adalah sesuatu yang tak ada nilainya. Bahkan sama sekali dia tak mempertimbangkan bagaimana perasaannya saat mendengar kata kematian. Sedangkan mereka telah sama-sama tahu, kematiannya kini sudah dapat dihitung dengan waktu.
Diam dengan menahan kecemasan dan detak jantung yang semakin kencang.
"Kenapa kau tak langsung melakukannya? Kenapa kau menggunakan diriku sebagai alat?"
"Karena kau yang paling lemah dan aku menyukai kesakitan setiap lawanku!"
Menggelengkan kepala sebagai bentuk keberatannya.
"Aku tak akan melakukannya!"
"Aku tidak sedang memberimu pilihan!"
Bersimpatik atas tujuan baik untuk membahagiakan orang tuanya. Walau dengan cara yang salah. Menawarkan kebaikan untuk menutupi kekurangan yang dia perlukan untuk kembali membeli rumahnya. Sama sekali Reza tak percaya, karena yakin yang dilakukan hanyalah bentuk politiknya saja.
"Anggap saja kebaikanku adalah hadiah untuk Ibumu!"
Pekerjaan yang ternyata jauh lebih mudah dari yang dia perkirakan. Mendengar satu per satu pernyataan yang cukup mengejutkan tentang satu per satu diantara mereka. Informasi sensitif yang dapat dia gunakan sebagai senjata untuk melawan mereka. Kini dia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk melepas serangan.
Menarik kembali putrinya dari orang-orang dan lingkungan yang akan memperburuk citra baiknya.
Sementara Pak Mikail berlalu dengan tawa senangnya. Meninggalkan Reza yang tersungkur tanpa daya setelah mengeluarkan racun-racun dari dirinya. Menganggap lemah dirinya yang untuk bertahan saja tak mampu.
Reza Meninggalkan keramaian untuk mencari ketenangan. Berdiri diantara luasnya hamparan pasir. Menghujam kuat ditepian sana, sebongkah karang besar. Sendiri tanpa pernah merasa takut akan kesepian. Biarpun malam datang bersama angin dingin. Ombak yang tak kenal lelah terus mengikis. Berganti badai datang menerjang dan mengoyak. Sekuat dan seperkasa apapun karang. Karang tetaplah karang, benda mati yang tak merasakan sakit. Lalu bagaimana dengan dirinya yang hanya manusia biasa?
"I'm sorry, I'm sorry",...
Di hamparan pasir cokelat, ketika hari menjelang sore. Berdiri menunggu senja menjemput terang. Membawa keindahan yang hanya sesaat. Angin berembus dari balik-balik pohon nyiur. Membelai lembut, hanyut dikedamaian. Berdiri di pasir kering yang beterbangan. Diam untuk mengenali makna alam.
Ketika serangga-serangga pasir berlarian. Debur ombak berakhir dibentangan pasir cokelat. Bersama hari yang akan segera berakhir. Berjalan meninggalkan jejak-jejak langkah kaki. Seperti kehidupan yang sesaat, jejak-jejak hilang tersapu ombak.
Ketakutan yang terbukti nyata adalah menjadi seperti karang. Terlihat tenang dan kuat menghadapi segala terpaan. Menyembunyikan kerapuhan yang menggerogoti dari dalam. Diam, seolah sakit itu tak nyata, menahan tangis tanpa derai air mata.
***