Berhenti tepat didepan gerbang tinggi yang terbuat dari kayu. Pantulan cahaya lampu depan membuat jelas jika pagar itu berwarna hitam. Saat itu juga, seorang penjaga mendengar suara mesin keluar melalui pintu kecil untuk melihat siapa yang datang.
Membuka kaca helm dan menurunkan masker hingga kebawah dagu.
"Cari siapa, Mas?" tanya penjaga.
"Malam pak!" terebih dahulu Reza mengucap salam padanya. "Saya ada janji dengan Maria!"
"Maria?"
"Maria Berliana, dikamar 309!"
"Oo, iya iya. Silakan!"
Membuka pintu gerbang yang cukup lebar dan kemudian mempersilakannya masuk. Reza yang datang dengan menggunakan sepeda motor, memarkir disamping rumah kost yang halamannya cukup untuk memarkir lima hingga tujuh mobil. Kembali menemui penjaga berada di kursi kerjanya, Sementara staff lainnya sudah meninggalkan ruangan.
Menanyakan ruang milik Maria yang Reza sebut adalah teman kantornya.
"Kamarnya ada di lantai tiga, paling pojok. Langsung aja gapapa mas!"
Masuk melalui ruang bersantai yang langsung dengan akses masuk bangunan yang khusus disewakan per-ruang itu.
Hampir menyerupai apartement, hanya saja tak ada lift dan hanya terdiri dari lima lantai. Naik
sesuai petunjuknya, dan benar pintu bernomor 309 ada dipaling pojok. Berhenti tepat didepannya dan mengetuk pintu dengan tak terlalu keras.
Dari dalam seseorang memintanya untuk menunggu sebentar.
Saat pintu terbuka dan perempuan yang muncul ternyata adalah Nina.
"Nina..?" ucap Reza kaget.
Tersenyum malu kemudian melebarkan pintu.
"Masuk, Kak!"
Masih dengan rasa heran Reza masuk sambil memperhatikan Nina, petugas Resepsionis apartement tempatnya tinggal. Tak mengerti kenapa yang muncul adalah Nina atau mungkin wanita bernama Maria yang menghubunginya adalah Nina yang menggunakan nama samaran.
Dari mana dia tahu dirinya seorang laki-laki panggilan dan mengapa dia memanggil dirinya degan cara seperti ini.
"Nina, kamu?",
"Aku tahu kakak pasti kaget",
Menatap antara curiga dan ingin tahu apa sebenarnya motif utama Nina memanggil dirinya dengan cara tidak fair seperti itu. Dirinya bukan artis atau orang yang banyak kelebihan sehingga menjadikannya secret admirer atau pengagum rahasianya. Seseorang yang diam-diam memperhatikan segala kegiatannya dari kejauhan.
Tertawa atas perkiraannya sendiri, Reza mengangkat handphone, lalu menunjukanya pada Nina.
"Jadi ini nomor kamu?"
Tak menjawab hingga seseorang muncul dari arah belakang, tepatnya dari pintu yang setengahnya terbuka.
"Itu nomorku. Namaku Maria!" ucap seorang wanita tiba-tiba dari arah belakang. Membuat Reza menoleh, berbalik pada wanita yang tidak dikenalinya.
Tampak mengunci pintu dengan posisi badan dan wajah tetap mengarah kepadanya. Kini dirinya mulai memikirkan hal-hal aneh atau tindakan buruk yang mungkin menimpanya. Kembali melihati Nina dengan pandangan mencurigai.
"Nina, jelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi?"
Namun sepertinya Nina tak tertarik untuk menjelaskan sesuatu yang sebenarnya Reza sudah dapat memperkirakan.
"Tak ada yang perlu dijelaskan", Wanita yang sekilas tak terlalu asing untuk Reza.
Masih berdiri diposisinya sambil tetap melihatinya.
Raut senang pada wajah kakunya yang menjadikannya terlihat menakutkan.
"Nina..!"
Menegaskan agar Nina menjelaskan apa yang mereka rencanakan dan apa yang dia inginkan.
"Kakak jangan takut. Aku tidak akan berbuat jahat seperti yang kakak pikirkan sekarang", seolah dapat membaca pikirannya.
Dan wanita seumur dua kali lipat usia Nina, kini menjadi seperti penjaga pintu yang tidak akan membiarkannya kabur. Jika tak ada dirinya mungkin Reza bisa berkomunikasi dan bersikap lebih tenang pada Nina.
"Sebenarnya, aku sudah lama suka kakak", ucapnya memberitahu. "Aku yang memberikan nomor kakak ke tante Maria", sambungnya.
Tepat sesuai dugaannya dan Wanita bernama Maria semakin tampak senang karena keterus terangannya.
"Jangan marah atau kesal kepadanya. Aku yang meminta pada Nina karena aku ingin membantunya berterus terang." bela wanita itu.
"Dengan cara seperti ini?" setengah percaya Reza mengetahuinya. Tak seharusnya Nina selugu itu sehingga dengan mudahnya Maria memanfaatkannya.
Memberitahukan kebodohannya saat ini sepertinya akan sia-sia saja. Melihat Nina yang mulai membuka satu per satu kancing bajunya.
"So, kamu masih belum lupa dengan tujuan kamu datang kesini kan?" mengingatkan Reza. "Just do it!" ucapnya antara meminta dan memaksa.
"Aku tak bisa. Ini diluar perjanjian",
Kembali pada Nina yang masih pada tindakannya.
"Nina, stop it!"
"Don't stop Nina!" potong Maria menyela.
"Nina, please jangan bodoh. Bagaimana aku akan suka padamu kalau kamu bersikap seperti ini."
"Aku tak peduli. Aku hanya ingin merasakan apa yang mereka rasakan ketika bersentuhan langsung denganmu!" sambil terus membuka satu per satu kancing bajunya.
Menatap kearah Maria yang sepertinya telah banyak bertukar pikiran dengan Nina hingga membuat Reza melihat sosok yang lain keluar dari diri Nina atau memang mereka sudah lama saling mengenal, sama sekali Reza tak tahu dan belum dapat memperkirakan.
"Kamu lakukan seperti yang biasa kamu lakukan atau akan ada keributan disini", ucap Maria mendesak.
Walau bukan hanya dirinya yang akan dirugikan bila keributan benar-benar terjadi.
"Jangan khawatir, aku tetap membayarmu secara profesional!"
Menatap Nina dan Maria secara bergantian.
"Oke, kalau ini mau kalian!"
Kembali pada Nina yang kini menghampiri hingga berada sangat dekat dengan Reza. Berdiri saling berhadapan, merasakan setiap embus napas sambil membuka baju yang dia kenakan. Mencium bibir sambil menarik keatas untuk Reza melepas T-shirt yang dia kenakan. Seperti yang sudah diperkirakan,
Maria ikut bergabung, karena sudah menjadi tujuannya yang menginginkan Nina.
*
Menyendiri dibangku taman selama lebih dari dua jam. Merenungkan bagaimana jalan kehidupan yang sebenarnya sangat melelahkan. Walau ini memang keputusnnya dan mungkin sebuah keputusan yang salah.
Menghabiskan sisa minuman kaleng dan mematikan batang kretek kelimanya, kemudian Reza beranjak dari duduknya.
Kembali ke apartement yang hanya berjarak tak lebih dari satu kilometer. Sengaja Reza memutar hanya untuk memperlama waktu. Bukan menggunakan lift tapi melalui underpass yang sepi. Lembapnya angin malam menjilat leher serta bagian kulit luarnya.
Muncul diruang terbuka, berjalan santai menikmati tenangnya sekeliling Apartement. Taman kecil disisi kiri gedung tampak sepi dengan lampu-lampu penerang berbentuk bulat disetiap sudut-sudutnya.
Waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Kini dia telah sampai di halaman parkir tunggu, pintu utama. melewati pintu kaca otomatis dan melihat perempuan tua bersama seorang gadis di sofa tunggu.
Memastikan jika dirinya tak salah melihat, buru-buru Reza menghampirinya.
"Ibu!"
Memegang erat kedua telapak tangannya, dengan posisi duduk berlutut didepannya.
"Ibu, aya naon kadieu?"
Bertanya alasan ibunya tiba-tiba muncul di lobby apartement-nya. Pertanyaan yang tak seharusnya terlontar oleh seorang anak pada orang tua yang datang untuk mengunjunginya.
"Ibu inget ka anjeun!"
Menjawab dengan mengatakan jika dirinya selalu teringat dan merindukan putranya. Beberapa kali mencium dan menempelkan telapak tangan pada bagian pipinya.
"Naha ibu teu nyarios heula?"
Menyesalkan Reza pada ibunya yang tidak memberitahunya terlebih dahulu sebelum datang.
"Kunaon ibu kudu nyarios heula rek ningali anak teh?"
Menjawab dengan mengatakan jika tidak ada kewajiban untuk seorang ibu meminta izin terlebih dahulu, untuk sekadar menemui putranya. Memang tak sepantasnya Reza mengajukan pertanyaan seperti itu pada orang tuanya sendiri. Melihat wajah Ibunya dengan tatapan galau.
"Tong kitu ibu! Kalau tahu kan Fendy bisa jemput ibu atau pulang lebih awal!"
Dengan mengganti nama Reza-nya menjadi Fendy, nama sesungguhnya.
"Teu nanaon. Ibu juga karek nepi."
Mengatakan jika dirinya baik-baik saja, dan juga baru saja sampai. Sekadar untuk membuat putranya tak merasa bersalah.
Melihat Irma yang tertidur pulas di sofa, sepertinya dia sangat kelelahan atau mungkin karena sudah terlalu lama menunggu.
Reza yang berusaha menahan banyak pertanyaan dalam benaknya. Mengenai mereka yang tiba-tiba muncul ditempat yang seharusnya belum mereka ketahui. Namun semua itu tak lebih penting untuk mengajak mereka keatas agar bisa istirahat dengan lebih nyaman.
Irma yang terbangun karena mendengar suara-suara. Tersenyum dan segera merapikan diri.
"Aa tos uih?" ucap Irma begitu melihat Reza sudah kembali dari rutinitasnya.
Meraih tangan Reza dan menciumnya. Mengikat rambut kemudian mendekatkan tas bawaannya. Reza yang tak banyak bereaksi.
"Tunggu disini", beranjak Reza untuk mengambil kunci yang dia titipkan pada petugas lobby.
"Dari jam berapa mereka disini?" bertanya pada petugas resepsionist.
"Dari sekitar jam lima sore", jawabnya.
Benar sesuai perkiraannya. Lebih dari delapan jam mereka menunggu. Kembali pada ibunya dan Irma, kekasih lamanya ketika masih di kampung.
"Urang ka luhur!" mengajak mereka naik keatas.
"Keun bae Fendy nu mawa", menawarkan diri untuk membawakan tas milik ibunya.
Berjalan dengan langkah cepatnya meski Reza tak terburu-buru. Saat pintu lift terbuka, Reza menyadari Ibunya ragu untuk masuk. Segera dia memegang tangannya dengan kencang.
Saat Lift bergerak naik dan ibunya semakin tegang, Reza mendekatkan badannya dengan mengencangkan pegangan tangannya. Masuk dan menyalakan semua lampu.
Menuang teh panas pada dua cangkir dan membawanya pada Reza yang berdiri sendiri diluar ruangan. Memberikan salah satunya dan berdiri disebelahnya.
"Kenapa kamu tak bilang dulu kalau mau ajak Ibu kesini?"
"Bukan Irma yang ajak, tapi Ibu yang minta kesini!"
Mencoba mengingat-ingat apakah dia pernah memberitahu alamat tinggalnya pada orang selain Juno.
"Apa aku pernah memberitahu kalau aku tinggal disini?"
"Heunteu. kaditu, kadieu", Menjawab dengan memberitahu jika dirinya harus bertanya kesana-kemari hanya untuk mendapatkan alamat tinggalnya.
Merasakan aroma harum seduhan teh yang ada ditangannya. Sejenak sama-sama terdiam.
"Irma heunteu nyaho kudu seneng atau sedih", Mengungkapkan perasaannya yang tak tahu harus senang atau sedih setelah keadaan Reza sesungguhnya.
Menoleh pada Irma yang perkataannya seperti mengandung kesan buruk
padanya. Berpikir dari tempat tinggal serta benda-benda yang dia miliki.
"Aa teh bahagia sareng kahirupan sepertos kieu?"
Memastikan tentang perasaannya, apakah sudah bahagia dengan jalan hidup yang diambilnya. Membuat Reza merasa bersalah pada dirinya sendiri, dan orang-orang yang selama ini dia kelabui.
Menyesalkan Irma yang telah membawa ibunya ke Jakarta, ke tempatnya, sehingga melihat langsung bagaimana kehidupannya yang sebenarnya. Tanpa mereka sadari seseorang berdiri tak jauh dibelakang mereka.
"Ibu!"
Seputaran kelopak matanya yang menghitam, pertanda untuk usia lanjut dan kelelahannya.
"Yuk urang uih ka bumi, Pendy! Kita masih punya kebun. Kita masih bisa hidup disana" membujuk putranya untuk ikut pulang kerumah dikampung.
"Embung, Bu. Sebelum Fendy berhasil membeli rumah kita kembali," tolak Reza.
"Ibu tak perlu rumah itu. Ibu sudah melupakannya,"
*
Terdengar sangat tidak mengenakkan bagi Reza yang selalu berusaha membangkitkan semangatnya sendiri. Kali ini orang yang menjadi penyemangat utama seakan berusaha menariknya dari bawah, untuk tak melanjutkan kakinya meniti tebing. Tebing yang baginya terlalu curam dan berbahaya. Sementara diatas sana sama sekali tak sebanding bila dirinya harus menukarkan dengan nyawanya.
"Sabenerna anjeun teh kedah didieu sareng ibu!" berharap putranya bersedia selalu berada didekatnya.
Terdiam Reza tanpa berani melihat kearahnya.
Dalam hati berusaha menampik jika itu hanya sebuah kecemasan saja untuknya lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupannya.
"Ibu teh hariwang ka anjeun, Pendy!" memberitahu tentang perasaan cemasnya.
Wanita paruh baya yang masih menunggu kalimat baik atas perubahan keputusan yang terkesan memaksa dan keras kepala putranya.
"Yuk, Irma. Urang balik isukan!" ajak ibu pada Irma untuk kembali pulang pada esok hari.
***