Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

My Happening

🇮🇩Gaboet_Jiwa
--
chs / week
--
NOT RATINGS
3.2k
Views
Synopsis
Anawrete Cleantha, di ceritakan sebagai seorang wanita yang membawa sebuah negeri menuju kehancuran. Hal itu membuat Anawrete terekam dalam sejarah sebagai perempuan iblis, yang menggoda dan menyesatkan orang-orang(pria). Dalam buku sejarah lain Anawrete di gambarkan sebagai seorang penyihir. Hidupnya berakhir ketika Hoven Gregor, Ksatria Suci Kekaisaran menemukan Anawrete menjadikan anaknya sendiri sebagai tumbal dalam ritual terlarang. Anawrete di penggal di tempat dan di bakar. **** Aku hampir mengalami keterbelakangan mental saat mengingat dongeng masa SMP itu. Dari kastil tinggi yang gagah ini, aku menangisi masa depanku yang suram. Karena aku, kini jadi Anawrete. Satu yang jadi pertanyaan, dengan siapa 'Anawrete' punya anak?

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - Have No One

Anawrete memandang kosong keluar jendela menara Alkimia. Langit di luar tanpa awan, tanpa burung, tanpa angin. Di bawahnya hanya ada hamparan hijau yang sesekali di pakai Biggie untuk buang kotoran dan mengoleksi harta pribadinya. Anjing itu tetap segar dan bugar meskipun usianya lebih tua dari Anawrete. Mungkin efek dari kimia? Kedengarannya seperti sihir, jadi Anawrete masih tidak mengerti sebab hal itu terjadi. Karena Kimia bukan sesuatu di luar logika selama formula-nya bisa di teliti.

Matahari hari itu cukup terik, membuat rumput-rumput menguning dan debu berterbangan, namun jalanan jadi lebih mudah di lewati karena roda kayu tidak semuanya kuat melintasi tanah basah berlumpur.

Musim panas kali ini tidak berbeda dengan tahun yang sudah-sudah. Anawrete selalu duduk di kursi tepi jendela menara Alkimia di lantai 15 setelah menyelesaikan kelasnya. Dia lupa kapan pertama kali melakukannya... Mungkin empat atau lima tahun yang lalu? Saat itu dia masih berusia 7 tahun, masih belum mengerti banyak hal. Sebagai seorang yatim piatu yang di pungut oleh menara Alkimia, masa depannya sudah pasti menjadi seorang ahli kimia. Namun tidak semuanya berjalan mulus. Hari ketika Anawrete tidak sengaja memecahkan bahan penelitian, dia di kurung di ruang bawah tanah menara dekat dengan percobaan yang gagal. Meski hampir semua hewan-hewan itu tak bernyawa dan hanya bangkai, hal itu cukup membuatnya trauma, namun di saat yang sama dia merasa bersemangat. Dalam hati dia berjanji untuk melakukan hal yang sama pada senior-senior ahli kimia di menara sebagai percobaannya...

Saat itu Anawrete sadar pikirannya tidak normal, namun sebuah ingatan tiba-tiba mengalir di pikirannya tanpa bisa di tahan, menghapus pikiran gelapnya seketika. Moralnya tiba-tiba meningkat dan hatinya melemah.

Mungkin itulah saat ketika Anawrete berubah. Saat ingatannya di kehidupan masa lalu kembali. Atau mungkin dia hanya pindah sementara? Anawrete tidak tahu, yang jelas ingatan itu membuatnya sadar soal dongeng penyihir yang pernah di bacanya. Sudah lama sekali, tapi anehnya, ingatan itu yang paling melekat.

Buku yang menceritakan kisah Anawrete Cleantha, seorang ahli kimia yang mengkhianati negerinya dan mengabdikan dirinya pada eksistensi keji. Awalnya Anawrete pikir itu tidak masuk akal, maksudnya, siapa penulis kurang ajar itu? Menyatakan dirinya akan mati di penggal dan habis di bakar? Mungkin itu masih terdengar wajar, tapi dia juga dikutuk oleh penduduk negeri untuk menderita selamanya di alam baka.

Hm, kadang saat mengingat bacaan dongeng itu, Anawrete naik pitam dan geram ingin merobek setiap buku, lalu membakar penerbit buku itu.

Karena, Anawrete Cleantha, sudah jelas itu dirinya.

Setting tempat dan tokoh yang di sebutkan semuanya eksis di dunia yang kini Anawrete jalani. Yang kurang hanyalah waktu mulainya jalan cerita.

Meskipun dia mengetahui akhir hidupnya, Anawrete dalam hati tetap meremehkan dongeng itu. Bagaimana dia menjalani hidupnya, tidak bergantung pada jalan cerita sebuah buku. Sekali pun benar, Anawrete bukan pemeran idiot yang tidak tahu mana untung-rugi. Selama dia bisa menjalani hidup aman, tenang, dan damai, tidak perlu repot-repot menciptakan masalah.

Dalam hati Anawrete bersyukur, kalaulah ingatan ini tidak datang, dia mungkin benar-benar jadi Anawrete yang kejam dan bengis.

Ada satu paragraf yang menyatakan bahwa Anawrete menjadikan anaknya sebagai tumbal. Meskipun Anawrete kini berusia 12 tahun, dia aslinya sudah hidup 28 tahun. Memikirkan dirinya akan melakukan hal biadab itu di masa depan, Anawrete tidak bisa terima. Lebih baik dia membunuh dirinya sendiri daripada melimpahkannya pada mahluk polos tidak berdosa.

Anawrete hanya ingat ketika dia hidup di abad 21, dengan segala kemudahan dan kenyamanan..., dia bukan anak ningrat, tapi dia tidak pernah menyalahi dirinya sendiri. Dia selalu libur saat waktunya libur, tidur saat waktunya tidur, makan makanan kesukaannya, tidak lupa bertamasya keliling kota.

"Rete." suara bass yang kering terdengar, mengalihkan tatapan Anawrete dari pemandangan di luar. Perempuan 12 tahun itu berkedip satu kali sebelum berdiri dari duduknya dan berjalan sampai ke depan Braeden. Selain saat pertama Braeden masuk, tidak sekali pun Anawrete menatap lelaki di depannya. Braeden mengenakan jubah merah gelap, rambutnya hitam panjang, dan menurut standar penilaian Anawrete di abad 21, Braeden bisa masuk jajaran idol pria. Suaranya selalu kering mungkin efek dari terlalu banyak menghirup bahan kimia? Suaranya tidak enak di dengarkan, seperti kau menggaruk papan tulis dengan sisi kapur yang tajam, membuat ngilu. Setiap kali Anawrete mendengar namanya di panggil, dia selalu menahan tekananan darahnya dan berusaha mengontrol ekspresi wajahnya.

Kenapa Braeden harus memanggilnya dengan singkatan? Panggilan kan hanya untuk orang istimewa. Anawrete merasa dia tidak bisa membiarkan orang lain memanggilnya Rete, atau dia akan teringat dengan lelaki ini.

"Apa kau sudah makan?" suara serak itu bertanya dengan monoton. "Kau selalu memandang ke luar jendela." semakin tidak ingin, semakin suara itu mengganggunya.

Anawrete hanya mengangguk, tidak repot-repot bersikap manis atau membalas. Braeden terlihat seperti lelaki biasa, sekali pun dia tidak tersenyum, dia tetap terlihat tampan.

Ahh, berapa kali Anawrete melihat pria tampan di menara? Hampir tidak pernah, Braeden mungkin satu-satunya. Tapi Anawrete harap pria ini hangus saja.

Jangan melihat dari luarnya--itu adalah saran yang tepat. Braeden mungkin terlihat lurus, tapi mata itu selalu menatap Anawrete dengan penuh hasrat. Selalu menatapnya naik-turun, yang dia perlukan hanyalah kesempatan.

Bukan, Braeden bukan seorang mesum. Dia seorang yang hanya tertarik pada kimia. Kedengarannya biasa untuk para peneliti. Namun pernah suatu kali Anawrete terkena cairan kimia yang tidak sengaja-coret-di tumpahkan oleh Braeden. Kulitnya melepuh seketika, namun hanya beberapa saat, kulitnya kembali seperti semula.

Dengan adanya Anawrete disini, dia bisa melakukan banyak percobaan yang sebelumnya tidak bisa dia lakukan. Anawrete mengerti kalau pria ini hanya ilmuan gila tak berhati yang tidak memiliki moral, dia hanya melakukan ini untuk memuaskan keingintahuannya, bukan untuk memajukan negeri. Tapi sebagai korban, Anawrete tidak bisa menerimanya. Dia sakit hati, dan sakit badan. Meski tubuhnya kembali seperti semula, bukan berarti dia tidak merasakan apa-apa. Anawrete bertanya-tanya kapan dia bisa pergi dari tempat ini.

"Aku perlu kau untuk tetap terjaga selama dua jam."

Datang juga. Anawrete menatap sekitar tak acuh, berlagak seperti bocah autis. Orang-orang di menara sepertinya sudah biasa dengan 'keterlambatan' yang dia ciptakan. Selain membaca buku saat orang lain tak ada, bereksperimen di ruang bawah tanah tempat bangkai menumpuk, dia tidak pernah berinteraksi dengan siapa pun selain Braeden. Tidak heran lelaki ini merasa Anawrete spesial buatnya, berpikir bahwa dia hanya ingin bersamanya.

Ini juga bagus, setidaknya orang-orang yang tertarik padanya akan berhenti karena Braeden.

Heh, jangan remehkan bocah 12 tahun yang tidak pernah menginjakkan kaki keluar menara ini. Anawrete memiliki kulit putih pucat karena tidak pernah keluar, mata bulat besar dan rambut merah bergelombang. Matanya memiliki warna merah muda, warna yang tidak biasa memang tapi dia puas. Bibinya sama pucatnya dengan kulitnya, kadang agak sedikit kering, namun bentuknya seperti kelopak mawar yang di cubit tengahnya, berbuntut. Untuk saat ini, dia hanya bisa makan, minum, mandi, tidur teratur. Setelah dia lepas dari menara, Anawrete akan membuat produk kecatikannya sendiri. Tunggu sampai si tengik Braeden ini melihat kecantikannya, kalau dia masih berani menjadikannya percobaan, Anawrete akan melapiskan merkuri ke setiap sisi dinding kamar Braeden.

"Ayo."

Setelah memeriksa daftar bahan pada kertas di atas meja, Braeden bergerak keluar dan turun ke ruang bawah tanah.

Anawrete tidak pernah lebih benci lagi dari pada tempat ini. Sekali waktu pernah dia diuji coba-kan berturut-turut selama seminggu, membuatnya tidak sadarkan diri selama tiga hari. Setelahnya percobaan kembali dimulai, namun efek penyembuhan jadi melambat, dan beberapa percobaan tidak berhasil di lakukan. Katanya sih, karena terlalu banyak bahan kimia yang diresap, tubuhnya kekurangan waktu 'bernapas' untuk mencerna cairan-cairan kimia itu. Kedengarannya seperti dia ini spesies istimewa. Yang jelas, setelah itu, frekuensi percobaan berkurang jadi beberapa kali seminggu.

Mungkin karena efeknya bagus, mereka menetapkan uji coba untuknya jadi satu-dua minggu sekali. Anawrete yang khawatir dia akan di jadikan kelinci percobaan secara tidak prikemanusiaan, akhirnya bernapas lega.

Keduanya sampai di ruang bawah tanah sepuluh menit kemudian. Ruangan itu tidak seperti tempat bangkai yang bau dan mengerikan. Hanya ruangan biasa dengan kursi baring, beragam peralatan dan bahan kimia dalam lemari, monitor perekam data, dll.

Tanpa perintah Anawrete naik ke kursi baring. Dengan pengertian Braeden mengunci kaki dan tangannya dengan sabuk yang terhubung ke kursi. Kaus lengan panjangnya di gulung, menunjukkan tangan kurus pucat yang tetap tidak ternoda sekali pun Braeden sudah berkali-kali menuangkan beragam cairan ke tangan itu.

Proses itu berjalan seperti biasa, namun Anawrete tidak tahu kenapa. Cairan yang diujikan kini terasa lebih menyiksa. Dia kira kulitnya akan meleleh saking sakitnya. Anawrete sempat panik mungkin kalau kulitnya benar-benar meleleh, dia hanya akan jadi tulang.

Untung tubuh ajaibnya bisa di percaya.

Anawrete tetap diam di kursi baring setelah beberapa saat uji coba selesai. Kulitnya yang pucat semakin pucat dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Si bangsat Braeden itu hanya membuka sabuk pengikat lalu meninggalkan kunci di atas meja sebelum pergi dengan hasil data di tangannya dan meminta Anawrete untuk bersih-bersih sebelum meninggalkan ruangan.

Dengan geram Anawrete menendang kaki meja, meskipun kakinya terlihat rapuh, tabung kimia itu berjatuhan dan kepingannya memenuhi lantai.

Braeden!! Aku akan membuat kepalamu botak sebelum meninggalkan menara ini! Dalam hati, Anawrete bersumpah.

****

Hari-hari berjalan seperti biasanya. Namun, pengunjung datang hari itu. Keretanya ditarik empat kuda yang gagah, di keretanya terdapat simbol bunga teratai dengan rantai, em, konsonan yang serasi. Keretanya berwarna hitam dan besarnya seperti pondok kecil.

Ini pertama kalinya Anawrete melihat kereta seagung itu. Tapi kan ini, menara Alkimia? Bukan istana untuk pesta dansa, kenapa harus menggunakan kereta sebagus itu? Sayang sekali ini bukan menara sihir, dia tidak bisa memanipulasi hal yang ada di menara ini. Di luar, kereta berhenti tak jauh dari gerbang. Petugas yang berjaga membuka pintu gerbang dengan segera, membiarkan kereta itu masuk dan berhenti di depan menara.

Dari sana, turun seorang pria berusia empat puluhan, beberapa helainya sudah berwarna putih, namun sikap dan gerak-geriknya terlihat berwibawa. Orang ini pasti bangsawan, mungkin posisinya tinggi sampai si Braeden kunyuk itu menyambut langsung orang ini. Anawrete memicingkan matanya, lantai lima belas tidak setinggi itu, tapi matanya tidak setajam elang, dia harus memperhatikan dengan seksama. Saat itu, kaki lain keluar dari kereta. Seorang remaja ikut keluar, dengan sikap serupa dan wajah serupa. Tidak salah lagi itu pasti anaknya.

Sementara si bapak bertukar kata dengan Braeden, remaja itu menatap sekeliling. Mungkin karena remaja laki-laki itu menyadari pandangan yang tertuju padanya, dia menengadahkan kepalanya kearah Anawrete.

Katanya, orang-orang di zaman ini bisa sihir dan belajar bela diri sejak usia dini. Banyak anak bangsawan yang menjadi ksatria, selain itu, mereka akan jadi penerus keluarganya, karena itu bela diri adalah hal yang harus. Tidak heran si remaja laki-laki itu menyadari keberadaanya. Sepertinya si ayah juga tahu, tapi mengabaikannya karena hanya Anawrete hanya anak kecil.

Tanpa mengelak, Anawrete balas menatap remaja itu. Selain rambut hitamnya, dia tidak bisa menggambarkan dengan jelas fitur wajahnya. Selang beberapa detik, remaja itu mengalihkan tatapanya dan mengikuti versi tuanya masuk ke dalam menara.

"...Ini pertama kalinya aku melihat anak laki-laki seusia Anawrete." gumamnya pada diri sendiri, seakan-akan Anawrete bukanlah dirinya.

Anawrete bergerak ke buku tulisnya. Disitu tercatat kalender tulisannya sendiri. Mungkin efek dari obat kimia pada kulitnya, atau mungkin malnutrisi--meskipun dia makan teratur, porsinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya yang kini tengah berkembang-- hormonnya agaknya tidak seimbang.

Dia sudah 12 tahun, belum terlambat, tapi semestinya dia sudah mengalami period... diam-diam Anawrete meraba dadanya yang sudah tumbuh. Dia akan melarikan diri dari menara Alkimia ini, itu sudah pasti. Selama ini dia hanya bersih-bersih dan menjalani uji coba, dia berusaha untuk mengalihkan perhatian yang tidak perlu darinya. Dia memastikan tanggal merahnya karena..., obat yang dia buat tidak boleh di minum saat periodnya sedang berlangsung.

Ini juga-lah yang akan menghentikannya dari siklus menjijikkan ini.

Buku diari biru muda dengan corak dandelion itu di berikan oleh Braeden sendiri. Anawrete tidak tahu apa yang merasuki orang gila itu sampai memberikannya buku diari ini, tapi karena sudah ada di tangannya, Anawrete akan menggunakannya. Nanti saat dia keluar dari menara ini, dia akan membakarnya sebelum membuangnya ke tumpukan kotoran Biggie. Braeden harusnya bersyukur Anawrete tidak berniat untuk mencampurkannya ke minuman Braeden.

Anawrete harus melakukannya sesegera mungkin. Tak lama lagi, festival Blair akan di selenggarakan, saat itu orang-orang akan sibuk dan menara akan sedikit lebih tenang dari sekarang. Itu adalah satu-satunya waktu yang bisa Anawrete gunakan. Kenapa? Festival Blair dalah satu-satunya festival terbesar negeri ini yang paling di nantikan, karena hanya di selenggarakan lima tahun sekali.

Macam eleksi saja.

Saat itu menara Alkimia juga akan sama-sama sibuk untuk persiapan festival. Kalau dia gagal dan menunggu untuk lima tahun yang akan datang, dia akan selamanya terjebak disini dan jadi pecobaan mereka. Percobaan? Braeden? Kekaisaran? Anawrete ingin mereka semua tenggelam saja.

Setidaknya, dia menahan hasrat itu karena kesadarannya sebagai manusia beradab dari zaman modern abad 21. Selama mereka tidak melewati batas kesabaran Anawrete, dia mungkin tidak akan menjadi seperti yang dalam dongeng itu...

Kalau tidak.. hm..., bersekongkol dengan negeri seberang tidak buruk juga.

Gadis itu menatap buku diarinya untuk waktu yang lama. Kalau seseorang melihatnya, mereka hanya akan berpikir kalau gadis kecil itu tengah mengagumi lembaran diari di dekapannya. Siang itu cerah seperti biasa, dengan suara burung dan angin kecil yang menyelundup masuk, Anawrete ingin bisa merasakan ketenangan ini untuk waktu yang lama.

Plop. Buku di tutup dan di letakkan kembali ke atas meja. Dia tidak pernah menyembunyikannya atau membawanya ke kamar. Di dunia ini, sihir eksis. Entah apa jadinya kalau dia membawa buku itu ke kamar dan menulis rahasia besar di dalamnya. Mungkin si kunyuk Braeden itu menyusupkan sesuatu atau memantrai buku itu? Sekali pun katanya menara Alkimia dan menara sihir saling berselisih, di mata Anawrete dua-duanya sama-sama menjijikkan. Siapa tahu, kan?

Anawrete kembali duduk memandang keluar jendela, pelan-pelan dia melantunkan nada sembari menatap langit. Hari itu, berlalu seperti biasanya.[]