Guin seperti menghindari Gavin. Guin selalu menempel pada Nyonya Calista sampai pukul 10 malam. Sebagai Istri yang masih tinggal bersama Mertua, Guin tetap harus kembali ke kamar meskipun enggan. Mau atau tidak, suka atau tidak, Ikhlas atau terpaksa, Guin akan tetap bertemu Gavin.
Guin sudah masuk ke dalam kamar dan melihat Gavin yang berdiri dengan wajah murung menatap langit malam yang indah di balkon kamar.
'Apa dia sedih karena aku menghindarinya?' batin Guin.
Guin menghampiri Gavin dengan langkah pelan. Gavin memberikan senyumnya yang masam. Guin jadi merasa bersalah karena sudah membuat Gavin sedih.
"Guin sudah tidak marah?" tanya Gavin.
Guin menatap mata Gavin yang mulai berkaca-kaca. Mata yang sangat indah itu dipandang oleh Guin dengan lekat.
"Aku tidak marah. Aku hanya malu," jawab Guin tanpa ada yang ditutupi.
"Apa Guin tidak akan menyukaiku lagi?"
"Aku akan terus menyukai Gavin. Oh iya, sebelum menikah aku sudah kerja. Hari ini hari terakhir aku cuty. Bolehkan aku tetap bekerja?"
"Boleh tapi ada syaratnya."
"Apa?"
'Semoga syaratnya tidak membuatku gila,' batin Guin.
"Aku juga sekolah jadi kita berangkat bersama. Aku juga mau menjemput Guin. Bagaimana? Guin maukan?"
"Iya. Istirahat yuk. Sudah malam!" ajak Guin.
Gavin menarik tangan Guin padahal kaki Guin sudah melangkah. Hampir saja Guin terjatuh kalau Gavin menangkapnya tidak tepat waktu.
Sudah berapa kali, mata mereka saling berpandangan. Sepertinya waktu tidak cukup membuat dua insan untuk saling berdekatan.
Guin yang setengah memeluk Gavin karena hampir terjatuh, belum sadar dengan posisi intimnya bersama dengan Gavin.
Gavin mengusap bibir Guin dan menatap bibir itu seperti akan melahapnya. Bibir Gavin semakin dekat, Guin sudah memejamkan matanya.
Siapapun yang melihat, angin, bintang, bulan, pasti berfikir mereka akan berciuman kembali tapi sayangnya, Guin yang sudah memejamkan matanya lalu membuka kembali.
Bibir Gavin mendarat di kening Guin. Saat membuka matanya, Guin hanya melihat jakun Gavin yang naik turun. Kecupan lembut penuh cinta itu di nikmati Guin beberapa saat.
"Selamat tidur, Guin!"
***
Puluhan pelayan sibuk dengan pekerjaannya. Gavin masih tertidur dengan nafas yang terdengar begitu tenang, sedangkan Guin sudah sibuk membantu Nyonya Calista menyiapkan sarapan.
Pelayan hanya membantu mengupas dan mengiris sayuran. Soal memasak, Nyonya sendiri yang turun tangan. Sekarang ada Guin yang membantu masak, membuat Nyonya Calista bersyukur karena ternyata Gavin menikahi wanita yang bisa merawatnya dengan baik.
"Guin ternyata bisa masak," puji Nyonya Calista.
"Mommy terlalu memujiku. Aku hanya bisa sewajarnya seperti ini," jawab Guin.
"Dua minggu lagi rumah kalian selesai renovasi. Kalau Mommy ikut kalian, bagaimana?"
"Tentu saja boleh, Rumah juga pasti sepi kalau gak ada Mommy."
"Bangunkan Gavin ya. Suruh dia mandi, terus sarapan. Gavin mulai sekolah lagi hari ini."
"Aku juga mulai kerja. Hanya part time Mom. Apa boleh?"
"Ijin Gavin, bukan ijin Mommy."
Sarapan sudah siap. Guin naik ke lantai atas untuk membangunkan Gavin. Mata terbelalak ketika pintu terbuka. Pemandangan yang menodai matanya.
"Kyaaaaa... Maaf!" Guin langsung menutup kembali pintu kamarnya.
Deg... Deg... Deg...
'Mataku. Apa yang barusan aku lihat? Ba—bagaimana bisa dia telanjang?' batin Guin gugup.
Debaran jantung Guin tidak karuan. Mata sucinya ternoda karena kecerobohannya sendiri. Entah Gavin yang ceroboh karena telanjang bulat di kamar atau Guin yang ceroboh karena masuk tanpa mengetuk pintu.
"Guin, pakainya gimana?"
"Biar aku bantu!" bantu Guin.
Reaksi tubuh Guin melihat isi tubuh Gavin tanpa sehelai kainpun. Reaksinya gemetar dan juga pikirannya kacau. Semalam saja Guin tidak bisa tidur karena teringat rasa ketika bibir Gavin menyentuh bibirnya.
Guin masuk kamar karena Gavin sudah memakai celana, hanya saja kemeja yang akan di pakai Gavin belum di kancing.
Guin yang gemetaran tetap membantu Gavin merapikan pakaiannya. Gavin memegang tangan Guin.
"Apa sangat menakutkan sampai-sampai Guin gemetaran dan takut?" tanya Gavin polos.
"Hah? Bukan..."
"Padahal tadi..."
"Cukup! Emmm... Mommy sudah menunggu kita di bawah. Ayo!" Guin menutup mulut Gavin dengan tangannya.
"Ayo!"
Di meja makan orang-orang sudah lengkap berkumpul, hanya tertinggal Guin dan Gavin yang paling terakhir.
"Guin, aku tidak makan. Aku bekal saja," ucap Gavin menunjukkan rasa tidak sukanya.
"Biar aku siapkan ya. Ini juga sudah siang."
"Cihhh... Bekal? Seperti bayi saja," ledek Aland.
"Pikirkan saja urusan kantor, jangan hanya membuat masalah saja dengan Gavin," sahut Tuan Grissham.
Bekal sudah siap. Gavin mencium pipi Nyonya Calista, begitu juga dengan Guin. Syarat di ijinkan untuk bekerja, Guin harus berangkat dan pulang dengan Gavin.
Perjalanan tidak ada hambatan. Guin sampai di tempat kerja tepat waktu. Gavin tersenyum mengantarkan Guin sampai ke tempat kerjanya. Guin bekerja menjadi kasir di toko make up.
"Aku sekolah dulu, Guin. Bye..." ucap Gavin sembari melambaikan tangannya.
"Apa kita langsung ke sana, Tuan?" tanya Ralio.
"Langsung!"
***
Mobil Gavin sudah berlalu, Guin juga sudah masuk ke dalam toko. Hanya saja toko gelap, tidak seperti biasanya.
Tidak ada keanehan apapun yang patut di curigai. Mungkin memang tombol lampu belum belum dinyalakan, pikir Guin.
Guin meletakkan barang-barangnya di atas etalase kaca lalu mulai bersiap berbenah. Namun sebelum itu, Guin mencari tombol lampu untuk menyalakan supaya ruangan menjadi terang.
Tringgg (berdering)
"Hallo!"
"GUIN, KAU SUDAH DI TEMPAT KERJA?"
"Sudah. Kenapa Eve?" tanya Guin pada Eve yang baru saja menghubunginya.
"AKU MAU MENJEMPUTMU NANTI DI JAM MAKAN SIANG, BAGAIMANA?"
"Bol... Emmmmmm... Emmmmmm..."
"HALLO, GUIN! GUIN!"
Terdengar suara teriakan Eve yang panik karena Guin tiba-tiba bungkam dan terdengar ada suara orang lain meskipun samar.
Ponsel Guin terjatuh dan mati. Entah apa yang terjadi. Semuanya terlihat gelap, kesadaran tidak lagi hadir. Terakhir hanya ada suara beberapa orang yang terdengar samar sebelum kesadaran hilang sepenuhnya.
***
"Ralio, kita balik lagi ke tempat kerja Guin. Bekal Guin ketinggalan," pinta Gavin.
"Baik, Tuan!"
Mobil meluncur dengan cepat karena harus putar arah sedangkan waktu terlalu cepat berlalu. Gavin sangat sibuk jika sudah berada diluar rumah. Entah kesibukan seperti apa yang sedang di jalaninya.
"Tuan, biar saya saja yang antar," ucap Ralio setelah mobilnya berhenti di depan toko di mana Guin berada.
"Tunggu! Apa kau tidak merasa ada sesuatu yang aneh?"
"Biar saya cek."
"Tidak! Biar aku saja," ucap Gavin.
Gavin turun dari mobilnya. Langkahnya yang lebar membuatnya cepat mencapai tujuannya. Toko masih gelap, bahkan pintu masih tertutup sebagian.
Gavin menerobos masuk dan tidak mendapati Guin. Hanya ada tas guin yang sudah tergeletak di atas etalase.
"Ponsel Guin hancur. Guin! Guin!" teriak Gavin.
"Guin!!!" teriaknya lagi.
Gavin menyalakan ponsel Guin tapi tidak menyala. Ponsel itu benar-benar rusak. Tidak ada petunjuk apapun yang bisa Gavin temukan
"GUIN!!!"