Chereads / Dosen Killer And Me / Chapter 1 - 01

Dosen Killer And Me

🇮🇩Army_VJ
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 3.7k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - 01

"Hei!, ngerokok ya kamu!"

Teriak dosen berperawakan tinggi dari arah gedung fakultas TI saat melihat seorang mahasiswi lagi duduk ngaso, sendirian di salah satu motor bebek yang terparkir rapi di sebrang tempatnya berdiri.

Mahasiswi itu, memegang putung rokok yang masih menyala dan mengeluarkan asap. Teriakan dosen tadi, membuat mahasiswi itu celingak-celinguk mencari asal sumber suara dengan raut wajah ketakutan.

"Mampus gue!" cicitnya pelan, saat mata hitam pekatnya melihat seorang dosen berkacamata datang mendekatinya dengan wajah garang dan siap untuk memarahinya saat itu juga.

"Duh, Gilang mana lagi, kok lama banget balik dari toilet, bilangnya cuman pipis doang, kayaknya nyetor tuh bocah." ucapnya gusar, sembari terus melihat arah pintu belakang kampus yang jaraknya agak sedikit jauh dari posisi Kei saat ini.

Harap-harap, Gilang akan segera muncul dan menyelesaikan kesalahpahaman yang bakalan terjadi sebentar lagi.

Langkah kaki dosen tadi semakin dekat dengan posisi Kei dan dia buru-buru bangkit dari posisi duduknya, saat sang dosen sudah berada tepat di depannya dan memandanginya jengkel.

"So-sore pak." sapa Kei gelagapan.

"Berani sekali kamu merokok di lingkungan kampus!" bentaknya ketus sambil bersidekap dada dan melontarkan tatapan tajam.

Kei menggeleng cepat. "Engga kok Pak, saya engga ngerokok." tolaknya membantah. 

"Terus di tangan kamu itu apa?" Tunjuk dosen itu sambil melotot ke arah Kei.

Kei menepuk jidatnya cukup keras, bodoh!.  Seharusnya Kei membuang putung rokok ditangannya dan buru-buru lari sebelum dosen dihadapannya saat ini menghampirinya.

Emangnya, ini otak engga bisa diajak kompromi sedikit, giliran udah kena masalah, baru deh otak jaman purbakala ini bekerja.

"Sumpah Pak!, saya sama sekali engga ngerokok."

"Berani berdalih kamu di depan saya!, bukti sudah di depan mata, masih mau ngelak?"

"Saya engga berdalih Pak, sumpah terkewer-kewer Pak, saya sama sekali engga ngerokok." jawab Kei dengan jari berbentuk V mengacung ke atas.

Kei membuang putung rokok di tangannya ke dalam selokan sempit di hadapannya. Lalu, kembali menyakinkan dosen di hadapannya kalau dia sama sekali engga merokok, tapi dosen itu engga mau mendengar penjelasan Kei dan tetap bersikukuh dengan pendiriannya.

"Siapa suruh kamu buang putung rokok itu?, cepat pungut! itu akan menjadi barang bukti bagi saya untuk melaporkan tindakan kamu ke Dekan Fakultas!" 

Mampus Gue, kenapa coba harus bawa-bawa masalah Dekan segala, padahal gue sama sekali engga ngerokok. jadi berabe entar urusannya ini, Gilang mana lagi.

"Tunggu apa lagi, cepat pungut!" bentak dosen itu sambil memelototi Kei.

Pengen nangis darah Kei rasanya. "I-iya Pak, Tapi sumpah Pak saya sama sekali engga--" ucapan Kei terpotong.

"Cepat pungut!" teriak dosen itu lagi, mebuat Kei meringgis dalam hati.

Kei mengambil putung rokok yang dibuangnya ke dalam selokan dan menyerahkannya ke dosen dihadapannya.

"Ini Pak."

"Yah, kamu bawalah!, Masa saya kamu suruh-suruh, saya ini dosen loh!" ucapnya ketus.

Eh, si bapak kok sewot banget si, emangnya saya buta,  engga bisa liat kalau bapak itu dosen, dari pakaiannya ketahuan banget ini dosen kaku abis, tapi galaknya bukan main. 

"Ikut saya keruangan sekarang!" 

Kei menghela nafas kasar. "Tapi, saya beneran engga ngerokok Pak." keluh Kei putus asa.

Dosen yang belum pernah Kei lihat di lingkungan kampusnya selama 2 tahun lebih menempuh pendidikan di kampus tercintanya ini, berhenti melangkah dan berbalik menatap tajam Kei.

Kei menundukkan kepalanya cepat, saat tatapan dosen yang berjarak kurang dari satu meter dihadapannya itu, menatapnya dengan tajam dan seperti mengisyaratkan kalau Kei jangan macam-macam dengannya.

Dengan berat hati dan ketidakrelaan, Kei mengikuti langkah dosen di hadapannya yang sudah masuk ke ruangan khusus dosen dan sedang berjalan menuju ruangannya.

Kei beroda dalam hati, semoga keajaiban terjadi di hidupnya sekarang, detik ini juga. Apa pun deh, misalkan kayak dosen ini tiba-tiba di mutasi pindah kampus detik ini juga atau mungkin hal konyol kayak tiba-tiba kepalanya ke jedot pintu pas mau masuk, lalu amnesia.

Apapun itu, tolongin Kei, please.

"Kenapa masih di depan?, Cepat masuk!" tegur dosen itu dengan suara sedikit keras dan membuat staf serta dosen yang ada di ruangan itu melirik-lirik ke arah Kei.

Bikin gue malu aja ini dosen. batin Kei geram.

"I-iya Pak."

See, keajaiban ternyata engga berpihak sama sekali pada Kei. Siap-siap kuping panas ini mah.

Kaki Kei, melangkah dengan takut, memasuki ruangan dihadapannya yang sudah penuh dengan aura tidak enak. Sumur-umur Kei belum pernah dipanggil keruangan guru ataupun dosen. Dia selalu berusaha menjaga sikapnya.

Tahukan rasanya kalau dipanggil keruangan dosen, mau kita buat salah atau engga tetap aja jantung engga bisa tenang. Dak dik duk ser.

Pandangan Kei tertuju pada papan nama yang terpampang diatas meja kerja, dosen yang saat ini sedang menatapnya dengan tajam.

'Natan Anggara, S.E., M.si., Ak., CPA.'

Pupil mata Kei spontan melirik papan nama serta wajah dosen dihadapannya bergantian. Seketika matanya terpejam untuk sesaat.  Kok lo bisa engga kenal si Kei dengan dosen sendiri, ini dosen tuh, dosen PA lo. batin Kei meringis.

Mampus berlipat deh gue!

"Saya paling engga suka dengan orang yang melanggar aturan. Sebagai mahasiswa seharusnya kamu sadar, bagaimana etika kamu saat menjadi mahasiswa. Kamu ini, membawa wajah kampus loh." ceramah Natan panjang lebar.

"Apa kata orang, kalau sampai liat mahasiswa kampus merokok di area lapangan parkir?, Apa lagi yang ngerokok mahasiswi seperti kamu. Saya paling engga suka itu." ceramahnya lagi yang engga direspon sama sekali oleh Kei.

"Kamu denger gak saya bilang apa barusan!" bentaknya.

"Iya, Pak, denger." jawab Kei males.

Natan memutuskan untuk duduk, membuka laptopnya dan bersiap untuk mengetik.

"Nama!" tanya Natan masih dengan tatapan setajam silet. 

Mulut Kei tiba-tiba menjadi keluh, saat Natan menanyakan namanya. Kei pengen jawab agar tidak menambah masalah lagi dengan dosen PA nya itu, tapi entah kenapa mulutnya engga mau terbuka. Dia takut, bakalan diomelin habis-habisan.

Sampai Natan kembali meninggikan suaranya dan membuat Kei seketika menoleh memandangnya sekilas dan dengan takut diapun menjawab.

"Keira Kusuma Adinata, Pak."

Tunggu dulu, sepertinya aku pernah mendengar nama itu.

"Semester!" tanyanya lagi dengan nada yang tak kalah keras dari sebelumnya. Layaknya, detektif di drama-drama Korea yang lagi mengintrogasi penjahat.

"5, Pak." cicitnya lemah .

"Baru semester 5, udah berani ngerokok kamu. Apa lagi nanti kamu udah semester atas bisa-bisa jadi contoh buruk buat Mahasiswa lainnya." celoteh Natan ketus.

"Mau jadi apa kamu, lulus nanti ha!" bentak Natan lagi dengan suara tinggi. Kali ini, matanya terfokus pada Kei yang sedang menundukkan kepala.

"Akuntan lah Pak, masa tukang kebun." jawab Kei spontan.

"Berani jawab kamu!"

"Saya engg--" yah elah, di potong lagi.

"Dosen PA!" 

Untuk kedua kalinya, mulut Kei lagi-lagi terasa keluh. Dia takut untuk menjawab, pasalnya dosen PA nya sekarang ada dihadapannya dan sedang memarahinya.

"Kamu tuli?, atau bisu? atau pura-pura engga denger dan engga mau jawab pertanyaan saya?!, Saya bisa mengadukan kamu ke dosen PA, kalau sikap kamu sebagai mahasiswa tidak bisa menghargai dosen yang sedang bicara di depan kamu." kata Natan menohok.

Ini, dosen kerjaannya ngadu melulu, capek deh.

Kei mendesah dalam hati sebelum akhirnya menjawab. 

"Pak Natan."

Natan tersenyum sinis. "Jadi kamu, anak didik saya yang engga pernah keliatan batang hitungnya, saat bimbingan, atau pun KRS dengan dalih selalu ada urusan?"

Kei menggeleng cepat. "Itu bukan dalih Pak, saya beneran ada urusan kok."  ucapan Kei, sama sekali engga digubris oleh Natan.

"Saya juga pernah kok, Pak, datang saat bimbingan KRS di semester 1..." ucapnya membela diri. "Walaupun, pada akhirnya, saya engga jadi temui Bapak, karena waktu itu perut saya sakit, jadi nitip sama temen."

"Ck,.. alasan!" tukasnya ketus.

Bukan alasan kali, Pak. Itu beneran, emangnya bapak mau saya berak di celana dan buat ruangan bapak bau dan bapaknya pingsan gara-gara gue makan pete ama jengkol?.

Pengen banget Kei jawab kayak gitu, kalau aja Kei engga paham etika udah di ajak adu mulut ini dosen.

Natan berdiri mendekati Kei. Matanya meneliti Kei dari atas sampai bawah. Rambut dikuncir asal-asalan, baju kemeja kotak-kotak yang kusut, sepatu kotor dan rambut bau asap rokok. Dua kata untuk penampilan Kei saat ini, urak-urakan.

Bocah tengil, berani bohongin saya.

Spontan, Kei menutupi bagian dadanya saat mata Natan meneliti dirinya. Engga sopan banget ini dosen, dasar dosen mata keranjang. cibirnya dalam hati.

Natan engga berhenti sampe disitu, tanpa ijin pemiliknya, Natan memegang tangan kanan Kei dan mendekatkan tangan Kei kearah hidungnya.

"Bapak ngapain coba?" tanya Kei sedikit ketus, sambil menarik tangannya dari genggaman Natan yang tidak erat menggenggamnya.

"Modus tuh, bilang-bilang kek, Pak." ujar Kei spontan.

Natan yang baru mau balik ke mejanya, berhenti melangkah dan menatap Kei dalam.

"Modus?, Kalau saya mau modus, saya bakalan pilih-pilih orang, kamu kira saya buta, engga bisa membedakan mana cewek asli dan jadi-jadian." ucapnya menyindir sambil memasang senyum sinis.

Kei mengepalkan tangannya erat. Pengen banget Kei tonjok wajah tampan Natan, kalau aja engga ada konsekuensi atas perbuatannya. Udah Kei tonjok ribuan kali.

Natan kembali duduk di kursinya. "Lusa, jam 9 pagi. Panggil orang tua kamu ke sini, saya mau bicara dengan mereka." 

Natan, mengakhiri interogasi dan menyuruh Kei pergi dari ruangannya. Lalu, dia mengeluarkan lembaran ujian dari dalam tas hitam miliknya dan siap untuk mengkoreksi hasil ujian anak TI.

Kei yang merasa engga salah sama sekali, engga mau keluar begitu saja. Dia harus meluruskan masalah kesalahpahaman ini. Enak aja, Gilang yang salah eh, Kei yang malah kena sembur sama Natan.

Apa lagi, sampe nyuruh orang tua Kei buat datang segala, No way. Kei engga mau.

Dengan tekat bulat, Kei memberanikan diri berbicara kembali dengan Natan. "Pak, saya berani sumpah demi apapun. Saya engga ngerokok sama sekali, putung rokok yang saya pegang tadi, itu punya teman saya, saya cuman di suruh untuk jagain, karena teman saya bilang dia mau ke toilet bentar." jelas Kei yang bahkan engga di respon sama sekali oleh Natan.

"Berhenti berdalih di depan saya, saya capek menghadapi mahasiswi seperti kamu, jelas sekali kalau kamu abis ngerokok. Buktinya, rambut kamu bau asap rokok begitupun dengan tangan kamu."

Kei berdecak kesal dalam hati. Sumpah demi apapun Kei engga ngerokok. Mau di sumpahin Kei dapet pasangan seboborok-boboroknya Kei rela deh, asalkan itu bisa membuktikan kalau dia engga salah.

"Rambut saya bau asap rokok karena saya abis naik ojek online tadi pagi, Pak dan helem mamang ojek itu bau rokok, Pak." jelas Kei nyata adanya. "Kalau tangan, kan saya abis pengang putung rokok teman saya pak." belanya lagi.

"Enggak usah banyak bacot di depan saya, cepat keluar!" pintahnya tegas.

Melihat Natan yang sama sekali engga mau mendengar penjelasannya, membuat Kei frustasi sampai-sampai dia menghentakkan kakinya cukup keras dan berhasil membuat Natan kembali menatap tajam padanya.

"Kurang ajar ya kamu!" sindirnya "Enggak suka sama saya?" sambungnya sambil bersidekap dada.

Kepala Kei menggeleng cepat. "Maaf Pak, engga sengaja." cicit Kei lemah.

"Masih untung kamu engga saya laporan ke Dekan, karena saya masih punya hati. Eh, malah kamu nya kayak gini. Mau saya laporin?" ancamnya ketus.

Punya hati dari mana. Prett, kalau punya hati, ampunin dong, kan ini salah paham.

Kei menggeleng. " Jangan ,Pak." jawabnya cepat. "Tapi kan, tadi saya udah kasih tahu ke Bapak, kalau saya engga ngerokok, tapi temen saya yang ngerokok."

Kei berusaha menjelaskan lagi kepada Natan dengan suara lembut, berharap Natan mau mendengarnya dan sedikit mengasihaninya.

"Temen kamu yang mana?, Sebut namanya dan panggil ke sini." tanya Natan dengan wajah flat.

Persetan lah, orang mau ngomong Kei engga setia kawan atau malah menjerumuskan kawan sendiri ke lobang buaya. Intinya, dia harus keluar dari  kesalahpahaman ini.

Suara lari kecil terdengar dari ujung koridor ruang dosen. Gilang, yang tadi di hubungi Kei via WA buru-buru datang saat tahu kalau Natan mencarinya

"Permisi Pak."

Gilang mengetuk pintu sebelum masuk dan menyeka keringan dingin yang mulai bercucuran di pelipisnya.

Nih, bocah tumben banget ada sopan santun sama dosen, biasanya aja langsung lengos gitu aja tanpa sapa dan salam. 

Wajar si, di hadapannya saat ini adalah Natan Anggara, dosen paling killer nomor 1 di fakultas kampus Kei, meskipun baru mengajar selama 2 setengah tahun, tapi gelar dosen killer sudah disematkan sejak Natan mengajar selama 2 hari dan berhasil memecahkan rekor Bu Retno yang juga dijuluki serupa setelah mengajar sekitar 3 bulanan.  

"Bapak panggil saya." tanya Gilang gugup, lalu melirik Kei yang saat ini menatapnya tak kalah tajam dengan tatapan Natan.

"Kamu ngerokok di lingkungan kampus?!" tanya Natan datar.

Gilang gelagapan. Mau jujur pasti mampus di tangan Natan, engga jujur nanti pasti mampus juga di tangan Kei, Ray dan Metta. Engga jawab, malah mampus juga. Oh Tuhan, kenapa cobaan begitu berat untuk Baim.

Setelah mendapat tatapan tajam dari Natan maupun Kei. Akhirnya, Gilang menjawab jujur dengan gelagapan dan wajah tertunduk takut.

"Kamu tahu, kalau mahasiswa/mahasiswi di larang merokok di lingkungan kampus?" tanya Natan tegas.

Gilang menjawab dengan anggukan kecil.

"Kalau di tanya, jawab pake mulut!, Punya mulut kan?, Apa bisu?" tukas Natan tajam.

"Iya, Pak tahu." jawab Gilang akhirnya.

Kei yang merasa suasana mulai tidak kondusif, mengambil langkah untuk undur diri. Tapi sebelum itu, dia tidak lupa untuk menyelesaikan masalahnya dengan Natan.

"Jadi, orang tua saya engga perlu ke sini kan, Pak?" tanya Kei memastikan.

Natan menatap Kei sekilas. "Orang tua kamu, tetep harus datang!"

"Yah, Pak, kan masalah saya udah kelar, kok orang tua saya tetep di suruh datang si?" tanya Kei kesal.

"Punya otak?"

Ini dosen, kalau ngomong suka ngasal ya?, Ya iya lah gue punya otak, kalau engga punya mati dong gue. Begog banget tuh dosen.

"Punya, Pak." jawab Kei malas.

"Masalah kamu banyak dengan saya, dan saya butuh bicara sama orang tua kamu, titik." jawab Natan cepat lalu, mengusir Kei dari ruangannya yang hanya di respon desahan kasar oleh Kei.

Kesan kalian gimana?

Yuk, jangan lupa di vote dan komen semuannya gratis. Kasih dukungan kalian untuk Kei dan Natan dan juga Aku sebagai penulis, supaya semangat.

See you