Chereads / Queen Of Mafia / Chapter 9 - 8. Awal Pertemuan

Chapter 9 - 8. Awal Pertemuan

"Kamu tidak tahu bahwa ini adalah awal ketika aku jatuh cinta padamu." (Rafka)

*****

Rafka sedang mengendarai mobil Ferrari putihnya dengan perasaan kesal. Dia sangat kesal karena seharian ini diganggu oleh Dira. Mulai dari memukulnya, membuat tasnya kotor, dan mengatainya gembel.

Huh! Sungguh Rafka ingin sekali memukulnya tapi dia masih bisa menahannya. Saat mobilnya melewati jalanan yang sepi tiba-tiba ada 3 mobil hitam yang mengikutinya dari belakang. Rafka melihat ketiga mobil itu sambil mendesis tak suka.

"Argh!! Mau apa lagi, sih?!!" gumam Rafka dengan perasaan dongkol. Rafka sudah benar-benar muak, ditambah lagi Rafka sudah hampir gila karena Dira berada di dekatnya membuat telinganya berdengung melewati batas yang masih bisa Rafka tangani.

Rafka menambah kecepatan mobilnya, tapi dia kalah cepat karena mobil hitam itu sudah mengapitnya dari berbagai sisi. Mobil lainnya sudah berhenti di depan mobil Rafka yang membuat Rafka mengerem mendadak.

Ciiittt!!!

Rafka meringis ketika keningnya terbentur stir mobil. Rafka menghembuskan napas untuk menenangkan diri. Orang-orang yang mengepung Rafka sepertinya bukan orang biasa.

Kepala Rafka tiba-tiba sakit karena telinganya berdengung kembali seperti saat bersama dengan Dira. Namun sekarang, rasa sakit itu seolah bertambah berkali-kali lipat sesuai dengan jumlah orang yang mengepung Rafka.

Tok tok tok!!

Pintu mobil di samping Rafka diketuk dengan keras oleh seorang pria bertubuh besar dengan pakaian serba hitamnya. Sebelum keluar dari mobil, Rafka mengambil earphone lalu menyambungkannya dengan ponselnya melalui bluetooth. Rafka menyalakan musik sekeras-kerasnya sampai telinganya hampir tak mendengar dengungan yang membuat kepalanya sakit.

Rafka membuka pintu mobil lalu keluar. Baru saja Rafka menutup pintu mobil, sebuah bogeman mendarat di rahangnya yang membuat dia jatuh tersungkur.

"Shit!" umpat Rafka ketika melihat banyaknya pria bertubuh besar dengan pakaian serba hitam mengelilinginya. Rafka sudah menduganya, mereka benar-benar bukan orang biasa melainkan orang suruhan dari seseorang yang memiliki kekuasaan besar.

Rafka bangkit tanpa memperdulikan sudut bibirnya yang berdarah. Di sekelilingnya terdapat sekitar 10 orang pria berbadan besar menatapnya tajam tapi tak setajam tatapannya.

Gila, ya?! Satu lawan sepuluh. Yang ada Rafka dicincang-cincang oleh mereka semua. Tapi, ... karena Rafka itu cowok yang rajin olahraga jadi dia punya fisik yang kuat dan tentunya ada roti sobek di dadanya. Betapa menggiurkannya.

"Mau apa, kalian? Siapa yang nyuruh, kalian?" Rafka memutar tubuhnya sambil menatap waspada semua pria yang mengelilinginya dari segala sisi.

"Anda tidak perlu banyak bicara!"

Satu persatu menyerang Rafka dari segala sisi. Rafka menangkis segala pukulan yang ditujukan padanya. Akan tetapi, Rafka tidak bisa memberikan pukulan karena sibuk menangkis serangan. Tiba-tiba Rafka tersungkur ketika punggungnya ditendang cukup keras.

Satu hal yang terlintas pada pikiran Rafka bahwa orang-orang di sekelilingnya berada pada level yang berbeda darinya. Rafka seperti seorang amatir yang melawan profesional. Rafka tak berdaya di hadapan mereka.

"Ugh!! Kalau kayak gini gue bisa kalah!!" Rafka menggertakkan giginya sambil mengeluh dalam hatinya.

"Cepat serang dia!" Salah satu pria mengintruksikan pria lain untuk menyerang Rafka yang sudah melemas.

Rafka dengan sisa tenaganya berusaha menangkis pukulan tapi tetap saja dia kalah telak karena banyaknya lawan. Apalagi salah satu earphone di telinganya terlepas bersamaan dengan terhempasnya Rafka ke tanah.

Nginggg....

Dengungan yang mengganggu Rafka kembali terdengar dari salah satu telinganya. Rafka sudah tidak bisa menebak pembicaraan apa yang para pria itu lakukan.

"Oke, sepertinya tugas kita sudah selesai."

Mereka semua meninggalkan Rafka yang saat ini dalam keadaan babak belur dengan tangan yang sibuk meraba sekitarnya untuk menemukan salah satu earphonenya yang terlepas. Rafka berusaha berdiri dengan menumpu badannya pada bemper mobil. Dia duduk di salah satu toko yang tutup di pinggir jalan yang ada di sekitarnya.

Tidak mungkin jika Rafka pulang dengan menyetir mobilnya sendiri. Rafka perlu bantuan sahabatnya, dia merogoh saku celananya dan menghubungi kontak salah satu sahabatnya secara acak.

Setelah memastikan akan ada yang mengantarnya pulang, Rafka menyandarkan kepalanya pada toko yang tutup tersebut sambil menutup mata sembari menunggu.

*****

Seorang gadis kecil bermata bulat lucu dengan pipi yang menggemaskan sedang mengayuh sepeda pink. Gadis berkepang dua dengan pita dan tas yang serba pink baru saja pulang dari Sekolah Dasar. Gadis itu memakai seragam merah putih dan sesekali menatap sekeliling sambil mengayuh sepeda.

Mata bulat gadis itu menyipit tatkala matanya menangkap sosok pria berseragam SMA Merpati sedang duduk mengenaskan di sebuah toko yang tutup. Wajah pria itu dipenuhi lebam-lebam kebiruan dengan seragamnya yang sedikit kotor oleh debu.

Gadis kecil itu berkedip dua kali kemudian membelokkan arah sepedanya menuju pria itu yang sedang memejamkan mata. Setelah memarkirkan sepedanya. Gadis itu pun turun dan menghampiri pria itu yang sudah membuka mata dan menatap bingung gadis yang mendekat lalu berjongkok di depannya.

"Kakak, kenapa? Habis berantem, ya?" tanya gadis itu dengan wajah polos.

Rafka, dia tetap diam menatap gadis itu yang sedang mengambil sesuatu di tas pinknya. Ternyata gadis itu mengambil sebuah sapu tangan yang masih bersih dan hendak membersihkan luka Rafka tapi tangannya dicekal.

"Mau apa, lo?" Rafka sedikit meringis karena sudut bibirnya masih sakit untuk berbicara.

Gadis kecil itu berkedip sekali kemudian tersenyum manis.

"Mau mengobati luka, Kakak. Kalau enggak diobati nanti bisa infeksi kata kakak aku."

Gadis kecil itu kembali melanjutkan aktivitasnya untuk membersihkan luka Rafka dan mengobatinya dengan kotak P3K yang selalu dia bawa dari rumah.

Gadis itu tak berkedip ketika mengamati wajah pria di hadapannya yang ternyata sangat tampan membuatnya terpesona.

"Kakak ini ganteng banget ya," batin gadis kecil itu dengan polosnya.

Rafka yang mendengar batin gadis itu terpaku sejenak. Diamatinya wajah gadis itu yang sangat imut dengan mata bulatnya yang lucu dan pipinya yang sedikit berisi yang membuat Rafka ingin mencubitnya. Eh?

"Kakak udah enggak ada yang sakit, 'kan?" Mata bulat itu meneliti wajah Rafka yang sudah diobati dan terpasang beberapa plester di bagian sudut bibir, hidung dan dahi.

"Hm." Rafka hanya menjawabnya dengan gumaman. Entah kenapa melihat wajah polos gadis itu dapat membuat jantungnya berdegup dengan kencang tidak seperti biasanya.

Dan untuk seumuran Rafka dia tidak bodoh apa arti jika jantungnya berdegup kencang ketika berada bersama seorang cewek.

"Gue... enggak mungkin jatuh cinta, 'kan sama bocah ini? Tapi, kenapa gue berdebar-debar?" Rafka tenggelam dalam pikirannya yang menurutnya sangat aneh.

Gadis kecil itu tampak menikmati wajah tampan Rafka lalu senyum manis terbit di wajah cantiknya.

"Kakak ini ganteng banget, Rachel jadi suka."

Tubuh Rafka mematung mendengar itu, dia tak mungkin salah mendengarnya. Oh shit! Sekarang jantungnya berdebar tak keruan hanya karena ucapan gadis kecil itu yang ternyata bernama Rachel.

"Kak?" Rachel kecil melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Rafka yang tadinya sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Hah?!" Rafka mengerjapkan matanya beberapa kali seakan tersadar dari lamunan tentang perasaannya.

"Rachel mau pulang dulu, ya. Soalnya nanti dicari Bunda sama Kakak Rachel. Kakak enggak apa-apa Rachel tinggal di sini sendirian?"

Hell?! Bagaimana bisa bocah seperti Rachel mengajukan pertanyaan seperti itu? Itu seperti Rafka seolah-olah takut jika dia sendirian dan ingin Rachel untuk menemaninya. Turunlah harga diri Rafka sebagai seorang pria hanya karena ucapan gadis polos di depannya.

"Hm, gue enggak apa-apa," jawab Rafka cuek berbanding terbalik dengan jantungnya yang terus berdebar ketika bertatapan dengan mata bulat Rachel.

"Ya udah, Rachel pulang dulu, ya."

Rachel kembali menaiki sepeda pinknya dan bersiap untuk mengayuh sepeda tersebut. Tapi, sebelum itu suara Rafka menghentikan gerakan Rachel.

"Rumah lo, .... di mana?" Dengan perasaan ragu, Rafka menanyakan hal tersebut.

Rachel tersenyum sumringah ketika Rafka bertanya padanya.

"Rumah Rachel ada di ujung jalan, Kak."

"Oh."

"Kakak ganteng, Rachel pulang dulu, ya. Dah..." Rafka mendengar kekehan geli yang dikeluarkan oleh Rachel. Sadar atau tidak, tawa tersebut membuat hati Rafka menghangat.

Dia menatap punggung kecil Rachel yang kian menjauh dengan sepeda pinknya.

"Cantik."

*****

Keempat sahabat Rafka terdiam setelah mendengar penjelasan Rafka tentang kejadian kemarin. Mereka saling melirik satu sama lain dengan senyum jahilnya.

"Jadi, .... lo suka sama bocah? Hahaha..." Tawa ketiga sahabat Rafka meledak berbeda dengan Azka yang masih mencerna kata-kata Rafka dengan raut serius.

"Tunggu dulu." Ucapan spontan dari Azka menghentikan tawa ketiganya lalu menatap Azka bingung.

"Kenapa, Az?" Azka menatap mata Rafka seperti mencari sesuatu yang membuat Rafka semakin bingung.

"Lo, lupa?"

"Lupa?" beo Rafka tidak mengerti maksud ucapan Azka.

"Lo lupa di mana rumah gue?"

Rafka terdiam, beberapa detik kemudian matanya membelalak ketika menyadari sebuah kejanggalan.

"Jadi---"

"Namanya siapa tadi?" potong Azka.

"Eum, kalau enggak salah, Rachel."

BRAKK!!!

"RACHEL ITU ADIK GUE, BEGO! LO, LUPA?! HAHA..." teriak Azka spontan disertai tawa sambil memukul meja karena merasa gemas dengan Rafka. Gemas ingin mencubit ginjalnya.

"WHAT?! Jadi, Rafka suka sama bocah yang ternyata adek Azka?! Hahah..."

Saat itu juga rasanya Rafka sudah dipermalukan di depan para sahabatnya.