"Walau nanti aku terlihat membosankan di matamu. Aku akan tetap berusaha membuatmu tertarik padaku." (Azka)
*****
Bel istirahat berbunyi membuat semua penghuni kelas XI IPA 2 berhamburan keluar setelah 2 jam kelasnya kosong tanpa ada guru yang mengajar maupun memberikan tugas.
"Fa, cepetan dong! Gue lapar, nih," rengek Dira yang membuat Fara tersenyum geli sambil membenarkan letak kacamatanya yang merosot.
"Iya-iya bentar, ini mau beresin buku dulu, Dir," jawab Fara sambil menata buku untuk dimasukkan ke tas. Setelah selesai Dira menarik tangan Fara tidak sabaran yang membuat Fara terseret keluar.
Dira melirik tangan Fara yang masih memegang buku yang dibacanya saat di kelas. Dira yakin itu bukan buku pelajaran, mungkin itu novel yang Fara sukai. Namun, anehnya saat membaca buku tersebut Fara selalu menunjukkan ekspresi aneh. Fara memang tersenyum, akan tetapi senyum itu justru membuat Dira merinding.
"Pelan-pelan, Dir," ucap Fara memperingati.
Senyum yang Dira anggap aneh, sekarang sedang ditampilkan oleh Fara dengan suasana yang berbeda. Senyum Fara yang sekarang mengandung ketulusan berbeda dengan saat membaca buku yang Dira duga novel.
"Ishh, enggak bisa dong, Fa. Nanti bisa-bisa kantin penuh," jawab Dira dengan menarik Fara sambil berjalan tergesa-gesa. Saat sedang berjalan langkahnya terhenti ketika ada sosok tubuh kekar menghalangi jalannya.
"Minggir!" desis Dira sambil menatap tajam cowok tersebut.
"Hai, Dira cantik, kita bertemu lagi. Apa kabar?" tanya cowok tersebut sambil tersenyum miring.
Salah satu alisnya naik turun seolah mempermainkan Dira.
"Lo siapa? Gue enggak kenal! Dan kabar gue baik, baik banget malah kalau lo enggak muncul lagi di hadapan gue." Mata dingin Dira bertatapan dengan mata elang cowok tersebut.
Dira mengerutkan keningnya. Kenapa cowok lembek ini ada di hadapannya? Ke mana Nick dan Edward saat dia membutuhkan bantuan mereka? Nick dan Edward yang seharusnya mengawalnya kenapa malah berbeda kelas dengannya. Seharusnya, 'kan mereka selalu berada di dekatnya. Ataukah ada misi tersembunyi dari ayahnya?
"Oh ya? Lo enggak kenal gue gitu. Gue Eric masa lo enggak kenal gue sih? Atau, jangan-jangan lo pura-pura enggak kenal, huh?" Eric tersenyum sinis ke arah Dira.
Eric Claton, dia sama-sama seorang mafia seperti Dira. Lebih tepatnya dia musuh bebuyutan dari Black Angel yaitu Black Dragon. Dira mengepalkan satu tangannya yang bebas kemudian menoleh ke samping saat menyadari Fara masih bersamanya.
"Fa, lo duluan aja nanti gue nyusul," ucap Dira yang membuat Fara ragu-ragu mengangguk. Mata Fara menatap Eric sejenak dengan tatapan aneh seperti yang Dira lihat saat membaca novel. Atmosfer yang awalnya mencekam berubah menjadi campur aduk saat Fara melenggang pergi.
Fara menghentikan langkahnya lalu berbalik ke arah Dira. "Tapi, lo enggak apa-apa di sini?" tanya Fara memastikan sambil melirik Eric dengan tatapan suram.
Wow! Akhirnya Dira bisa membaca ekspresi Fara sedikit demi sedikit.
"Gue enggak apa-apa. Udah sana keburu penuh kantinnya." Setelah Fara berlalu tinggal lah dua orang yang saat ini saling bertatapan sengit dengan wajah dingin mereka.
"Black Dragon masih punya nyali, ya? Makanya, lo muncul di hadapan gue," ucap Dira dengan senyum mengejek yang membuat Eric menggeram.
"Iya, Black Dragon itu lebih dari apa pun dibandingkan Black Angel."
Eric tersenyum pongah dengan tatapan merendahkan yang dilayangkan pada Dira.
Dira tertawa mengejek sambil memiringkan kepalanya, "Oh, ya? Lo enggak ingat siapa yang dulu menang di pertarungan itu?"
Dira melipat kedua tangannya di depan dada, dagunya terangkat dengan wajah angkuh membuat Eric mengerutkan keningnya.
Eric mendadak bungkam, tapi tidak menutup untuk mengepalkan tangannya sambil terus menatap tajam Dira. Sekitar 2 tahun yang lalu, pihak Black Angel hampir kecolongan oleh Black Dragon yang tiba-tiba menyerang markas mereka. Tetapi karena berada di markas mereka, Black Angel masih bisa memenangkan pertarungan itu walau banyak kehilangan bodyguardnya.
"Kalau udah ingat lebih baik mundur sebelum berperang, oke? Karena kalau berperang pun lo bakalan kalah duluan di hari pertama."
Ucapan Dira membuat Eric naik pitam dan mencengkeram lengan Dira kuat tapi tak membuat Dira sakit sedikit pun. Eric mengapit Dira ke dinding, tangan yang terkepal sampai ototnya terlihat berada tepat di samping kepala Dira.
Eric mendekatkan wajahnya pada Dira sampai jarak mereka hampir terkikis sepenuhnya. "Lo enggak akan bisa ngalahin gue gitu aja, Dira!" desis Eric.
Dira menepis kasar tangan Eric. Posisinya dengan Eric tadi membuatnya tidak nyaman karena Dira bukan gadis yang menyandang status single. "Begitu, ya? Gue enggak butuh omongan, gue cuma butuh bukti doang kok."
Dira mengibaskan rambutnya kemudian memukul keras bahu Eric yang menghalangi jalannya. Dia berlalu meninggalkan Eric dengan santai tanpa merasa takut sedikit pun. Eric yang dipukul keras oleh Dirapun terhempas ke samping sambil menatap punggung Dira yang menjauh.
"Gue bakal buktikan itu semua Dira."
Eric bergumam pelan dengan mata yang dipenuhi tekad kuat.
Kejadian itu tak luput dari pandangan kelima cowok yang ingin ke kantin tapi urung karena melihat Dira berhadapan dengan Eric yang diketahui mereka seorang mafia yang begitu kejam.
Eric terkenal kejam di SMA Merpati, dia bahkan memukul Ketua OSIS di hari pertama pelaksanaan MOS. Saat ditanya apa alasannya, Eric menjawab bahwa Ketua OSIS menatapnya dengan tatapan yang menurutnya menjengkelkan. Benar-benar alasan yang tak masuk akal.
Azka mengerutkan keningnya heran ketika melihat Dira dengan Eric seperti berdebat. Mata Azka seketika terbelalak melihat Eric mengurung Dira di dinding dengan wajah mereka hampir tak memiliki jarak. Azka menggeram tanpa disadarinya. Tangannya bahkan terkepal erat dan tatapan membunuh yang dilayangkan pada Eric. Yang Azka lihat selanjutnya, Dira memukul Eric lalu melenggang pergi setelah mengucapkan beberapa kata.
"Ada urusan apa dia sama Eric?" tanya Azka pada Dimas, orang yang paling tahu mengenai Black Angel. Dimas memang pria yang up to date karena semua informasi yang dia berikan selalu benar. Tentu saja kemampuan itu didapat karena memiliki latar belakang yang tidak biasa.
Keempatnya saling melempar pandangan sebelum akhirnya Dimas membuka suara. "Dia sama-sama mafia. Black Dragon musuh terbesar Black Angel. Setahu gue sih kaya gitu," ucap Dimas dengan wajahnya yang masih suram setelah Dira membisikkan sesuatu padanya.
Azka mangut-mangut mengerti kemudian melangkah menuju kantin tanpa memperpanjang itu semua.
Bohong kalau Azka bilang dia tak tertarik pada hubungan Dira dengan Eric karena sekarang seperti tinggal menghitung waktu mundur sebelum Azka meledak.
Sedangkan Dira melangkah santai memasuki kantin tanpa menghiraukan tatapan kaget seisi kantin. Identitas Dira memang sudah beredar dengan cepat ke seluruh warga SMA Merpati dalam waktu yang cukup singkat. Bahkan guru-guru yang mengajar pun mengetahui itu. Dira melangkah menuju salah satu meja kantin yang ditempati oleh Fara.
"Dari mana aja lo?" tanya Fara sambil memakan mi ayam yang dipesannya.
"Biasa, ada urusan mendesak," jawab Dira santai sambil meminum jus yang dipesan Fara.
"Huh, itu minuman gue, Dira. Pesan sendiri sana."
Fara mendengus kesal pada perbuatan Dira namun tak mau mempermasalahkannya lebih lanjut.
"Ishh, malas... Lo aja yang pesan lagi sekalian makanan buat gue, gue bayari deh. Gue lapar habis perang tadi."
Dira menelungkupkan wajahnya di meja kantin, kepalanya menengok ke arah Fara.
Fara menghentikan aktivitas makannya kemudian menatap Dira. "Pe-perang? Perang sama siapa?" tanya Fara gugup.
Kegugupannya bahkan terlihat aneh karena sudut bibirnya berkedut walau untuk sejenak.
"Biasa, musuh gue. Tenang gak usah takut, perang mulut doang kok he he..."
Dira tersenyum cerah tak tampak seperti Dira yang memiliki wajah angkuh saat berhadapan dengan Eric beberapa saat yang lalu.
Fara bernapas lega mengetahui itu, dia pun beranjak untuk memesan makanan serta jus untuk Dira dan dirinya. Tak lama setelah Fara pergi untuk memesan, perhatian seisi kantin teralihkah dengan kedatangan kelima cowok yang menyandang status the most wanted. Dari kelima cowok tersebut yang paling menonjol yaitu Azka dan Rafka yang sifatnya sama-sama dingin.
Dira mengalihkan pandangannya menuju pusat seisi kantin. Tatapannya bertubrukan dengan tatapan Azka sampai akhirnya Dira memutuskan kontak mata tersebut karena Fara sudah kembali.
"Lihatin apaan sih, Dir?" tanya Fara heran.
"Itu ada orang caper, pake tebar pesona segala lagi, huh," sinis Dira sambil menunjuk kelima cowok tadi dengan dagunya. Fara mengikuti petunjuk Dira dan dia mengerti siapa yang dimaksud Dira.
Tatapan Fara menjadi datar seolah sudah terbiasa melihat pemandangan tersebut. "Oh mereka biasalah, Dir, jadi pusat perhatian karena kelebihan mereka," jelas Fara yang membuat Dira menatapnya.
"Memang kelebihan mereka apaan? Kok bisa terkenal gitu, macam selebriti aja." Dira mendengus kesal.
Apa kelebihan yang membuat mereka terkenal? Tampan, memang mereka memegang predikat tersebut. Namun, wajah tampan juga bisa terasa membosankan jika dipandang dengan perasaan antusias yang berlebihan.
Fara terkekeh geli melihat wajah kesal Dira. Fara tahu kekesalan Dira pasti tertuju pada satu orang siapa lagi kalau bukan Azka. "Ya gitulah, Dir. Yang paling menonjol itu Rafka sama Azka yang sifatnya sama-sama dingin. Kalau Andre cenderung paling kalem di antara mereka, Dimas paling cerewet, dan Widi paling susah ditebak, kadang cerewet, cuek, dan dingin," jelas Fara.
"Menurut gue sih mereka aneh," gumam Dira pelan.
"Mereka sama-sama ikut eskul basket, dan ketuanya itu Azka. Mereka sama-sama jago banget main basket di setiap acara pertandingan lawan sekolah lain pasti mereka mendapat kemenangan."
"Jago apanya, orang tadi aja bolanya sampe nyasar ke pinggang gue. Mana lagi dapet lagi," sungut Dira sambil menyesap jusnya.
"Ha ha santai, Dir, mungkin enggak sengaja kena kali. Itu juga bolanya keluar dari lapangan pas Azka lempar bola secara asal."
"Ya, tapi, 'kan tetap aja bego, main basket kok sampai bolanya nyasar."
Dira tetap mengelak untuk memaklumi tindakan Azka. Dira sudah terlanjur kesal pada pria bernama Azkara Ranendra karena Azka berani-beraninya mencuri ciuman di pipinya yang bahkan belum dicium oleh Tunangannya sendiri.
Merekapun makan dengan diam sampai akhirnya seorang cowok tiba-tiba datang dan duduk di samping Dira. Dira tak terkejut sedikit pun karena dirinya sudah tahu siapa di sampingnya.
Eric Claton, pria lembek itu ternyata menghampirinya lagi.
"Mau apa lo ke sini? Mengemis kemenangan?" sinis Dira sambil menatap tajam Eric.
Eric yang saat ini menatap tajam ke arah Dira. "Mengemis kemenangan? Sorry, lebih baik gue mati dari pada harus mengemis kemenangan sama Black Angel," balas Eric tak kalah sengit.
Mendadak seisi kantin hening, perhatian mereka tertuju pada meja Dira termasuk seseorang yang duduk tak jauh darinya. Mereka mengetahui identitas Eric yang merupakan musuh terbesar Black Angel.
"Ya udah, mati aja sana!" ucap Dira cuek sambil memakan pesanannya.
"Enggak semudah itu, tapi..." Eric menjeda ucapannya sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Dira, "...tapi lo harus lawan gue dulu setelah pulang sekolah."
Dira menyeringai menatap Eric dengan santai. "Oke, siapa takut." Tantang Dira yang membuat Eric geram tapi ditutupi dengan sorot santai.
"Gue tunggu di belakang sekolah."
Setelah mengucapkan itu Eric berlalu meninggalkan kantin yang membuat tanda tanya besar seisi kantin. Ucapan Eric tadi memang hanya bisa didengar Dira karena itu sebuah bisikan ditelinganya.
"Kenapa lagi, Dir?" tanya Fara penasaran.
"Biasalah, Fa, urusan sama musuh," jawab Dira santai tapi justru membuat Fara panik.
"Memang mau apa sih?"
"Perang."
Satu kata namun bermakna yang begitu besar membuat Fara menelan ludahnya kasar. "Lagi?"
"Hm, gitulah."
Semua kembali pada aktivitas masing-masing. Sementara itu kelima cowok yang duduk tak jauh dari meja Dira saling melempar pandangan.
"Gue heran deh bisa-bisanya tuh cewek dalam satu hari membuat gempar seluruh warga sekolah," celetuk Dimas yang membuat keempat cowok menoleh ke arahnya.
"Ya, namanya juga mafia. Enggak heboh gimana coba, secara semua orang tahu gimana perihal mafia itu." Jawaban Andre cukup membuat mereka mangut-mangut mengerti.
"Pertama, melempar bola ke Azka. Kedua, menampar Azka. Ketiga, jadi murid baru. Keempat, seorang mafia, dan yang kelima, yang membuat banyak pertanyaan itu..." Perhatian teralihkan pada Widi yang membuka suara.
"Yang kelima apa?" tanya Azka, entahlah kenapa dirinya tiba-tiba begitu penasaran dengan sosok mafia itu.
"Yang kelima kenapa Eric masih berurusan sama Dira. Jelas-jelas dulu Black Dragon sudah dinyatakan kalah karena pertarungan dengan Black Angel. Tapi kenapa sekarang mendekati Dira yang notabenenya mafia dari Black Angel. Dan tadi apa yang mereka bicarakan sampai bisik-bisikkan gitu." Semua membenarkan ucapan Widi walaupun masih meninggalkan banyak pertanyaan di benak mereka.
Widi mengamati Dimas dengan tatapan yang tak bisa terbaca. Sebenarnya ada yang keenam, yaitu mengenai bisikan Dira pada Dimas yang membuat sikap Dimas berubah. Akan tetapi, pihak yang berkaitan sepertinya tak mau mengungkit hal tersebut karena sikapnya sudah kembali seperti semula.
"Udah gitu dapat bonus ciuman dari Azka, ha ha ha." Dimas tertawa meledek membuat Azka mengerutkan keningnya tak suka. Dia bahkan tak tahu dengan tindakannya yang spontan saat berada di lapangan. Ada rasa ingin melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar sentuhan tangan saja.
"Gue juga heran sama tindakan Azka, padahal gue cuma nyuruh untuk pegang tangan cewek doang. Dianya aja yang pengin cium tuh cewek." Andre menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Ini Azka loh, pria yang mempunyai penyakit berkaitan dengan perempuan. Dia menderita fobia perempuan. Mendengarnya saja sudah aneh, namun hal aneh itu terjadi pada sahabatnya sendiri. Mau tidak mau Andre mempercayainya.
"Lo aja enggak tahu apalagi gue yang udah menderita selama bertahun-tahun karena penyakit sialan ini. Tapi, saat itu gue enggak bisa nahan keinginan enggak masuk akal sama cewek itu." Azka menghela napas membuat para sahabatnya menatapnya prihatin. Kasihan sekali, Azka pasti menderita karena harus menjaga jarak dengan manusia berjenis kelamin perempuan yang bahkan jumlahnya melebihi laki-laki.
"Ngapain kalian natap gue kayak gitu? Gue enggak suka dikasihani!" Azka melayangkan tatapan sinis pada para sahabatnya yang seketika kembali ke ekspresi semula. Azka mendengus lalu memalingkan wajahnya saat melihat perubahan raut wajah mereka. Dia berusaha mengalihkan topik pembicaraan karena atmosfernya sangat tidak nyaman. "Pasti kalian enggak ingat, 'kan sore ini latihan?"
"Oh iya, gue hampir lupa tuh," jawab Dimas sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Sikapnya tampak kikuk, dia tak terbiasa dengan sikap penolakan Azka jika mengungkit mengenai penyakitnya.
"Berarti pulang sekolah kita langsung latihan." Semua mengangguk dengan keputusan Azka, sang ketua basket.