Chereads / Queen Of Mafia / Chapter 30 - 29. Aditya Vs Azka

Chapter 30 - 29. Aditya Vs Azka

"Terlihat lemah di depan orang yang kita sayang bukanlah sesuatu yang buruk. Kekuatan bukanlah segalanya, karena itu hanya akan membuat orang yang kita sayang terlihat lemah." (Azka)

****

Bugh! Bugh! Bugh!

Aditya melayangkan pukulan bertubi-tubi pada Azka yang terlihat kewalahan. Aditya tak memberi Azka jeda untuk bernapas. Aditya berhasil menyudutkan Azka dengan gaya bertarungnya yang terkesan terburu-buru. Inilah gaya bertarung Aditya. Dia ingin semuanya cepat selesai tanpa perlu membuang-buang waktunya lebih lama lagi untuk sesuatu yang tidak berguna.

"Ha! Dengan level seperti ini kamu dengan beraninya menantang ku bertarung?! Dasar naif!" Aditya menendang perut Azka dengan keras membuat Azka terpental.

Brak!

Aditya berhasil membuat Azka terjatuh di atas kursi kayu yang berada di teras mansion tersebut. Kursi itu berguling bersamaan dengan Azka yang jatuh tersungkur di tanah.

Azka meludah darah akibat sudut bibirnya yang robek. Pukulan Aditya terasa berat, walau hanya beberapa pukulan yang Azka terima, Azka merasa seolah sudah menerima banyak pukulan. Ugh, ini gawat! Azka sangat ceroboh karena tak menyiapkan dirinya untuk berhadapan dengan Pemimpin Mafia Black Angel.

Azka seperti semut di hadapan Aditya dan tidak dipandang berbahaya. Harusnya Azka sadar, bahwa sejak awal dirinya memang tak akan menang melawan orang selevel Aditya. Akan tetapi, tidak ada lawan yang setara dalam pertarungan karena masing-masing orang memiliki kelebihan yang dapat membuatnya menjadi unggul.

"Haha... Saya tidak peduli sekalipun saya tidak selevel dengan Anda. Saya tidak akan menyesal bahkan bila saya habis di tangan Anda."

Azka tertawa terbahak-bahak disertai batuk akibat perutnya yang masih terasa nyeri. Sangat lemah. Azka masihlah lemah jika berhadapan dengan Aditya. Dia harus berlatih keras terlebih dahulu untuk bertarung dengan Aditya di masa depan. Itu pun bila Aditya melepaskannya hari ini.

Aditya mengamati keadaan Azka yang memprihatinkan. Namun, tak ada rasa simpati pada dirinya untuk Azka. Untuk apa bersimpati pada musuh jika nantinya mereka punya peluang untuk menyerangnya lagi di masa depan. Lebih menyakitkan dipukul dari belakang oleh musuh yang sudah dikasihani, daripada dipukul secara terang-terangan seperti situasi sekarang.

Dulu... Aditya pernah bersimpati pada musuh. Namun, apa yang di dapatkan? Ternyata musuh yang sudah dia anggap sebagai sahabatnya justru ingin merebut Adinda darinya. Itulah saat-saat di mana Aditya merasa menjadi orang terbodoh di dunia.

Bahkan Aditya terlambat mengetahui fakta tersebut karena Adinda berusaha untuk tetap membuat persahabatan Aditya dengan orang tersebut tetap terjalin. Adinda salah jika mengira persahabatan mereka akan tetap ada disaat Aditya mengetahui fakta yang sebenarnya.

"Sungguh memuakkan melihat wajah yang serupa dengan pengkhianat itu. Itu membuatku lebih bernafsu untuk menghabisimu sekarang juga." Aditya mengangkat kepalan tangannya hendak melayangkan pukulan pada Azka.

Namun, respon Azka yang melengos ke samping tanpa perlawanan membuat Aditya teringat dengan sosok perempuan yang selalu menempel pada istrinya ke mana-mana. Iska, sudah pasti bocah di hadapannya ini satu-satunya peninggalan dari Iska. Hah, Azka memasang respon yang sama dengan Iska saat dulu Aditya mengancam akan memukul Iska jika Iska tidak menjauhi istrinya.

"Hah, dasar! Ini membuatku seperti penjahat saja." Aditya berbalik dan berjalan menuju Adinda yang dikelilingi oleh para bodyguardnya.

Adinda tampak mengkhawatirkan Azka yang babak belur akibat Aditya. Aditya mendengus melihat kekhawatiran Adinda tidak tertuju padanya. Hah, mau bagaimana lagi? Sebenci apapun Aditya pada pengkhianat itu, Aditya tak mungkin bisa melupakan fakta bahwa Azka merupakan putra dari almarhumah Iska dan satu-satunya yang ditinggalkan Iska di dunia ini sebelum kematiannya.

"Adit, seharusnya kamu tidak memukulnya dengan keras! Apakah kamu tidak mempertimbangkan bahwa Azka masih remaja yang labil?" Tangan Adinda terlipat di depan dada dengan ucapan yang tampak menyalahkan Aditya.

Aditya memutar bola matanya tak peduli. Dengan malas, Aditya menjawab, "Iya, iya, ini salah aku. Aku minta maaf, oke?"

Adinda mengerutkan keningnya heran. "Kenapa minta maaf sama aku? Harusnya permintaan maaf itu ditujukan pada Azka!"

"Hah, kamu, 'kan bisa menyampaikan permintaan maafku padanya." Jika Aditya melakukan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Adinda. Maka, mungkin wibawanya akan berkurang di mata para bawahannya.

"Baiklah, aku akan menurut untuk kali ini saja." Adinda menerima ucapan Aditya begitu saja. Saat akan mendekati Azka, sebuah suara teriakan yang mengagetkan terdengar.

"Apa-apaan ini?! Kenapa kalian mengeroyok Azka dan membuatnya babak belur?" Dira yang baru saja selesai berlatih dan hendak mencari udara segar di teras terkejut ketika mendapati seseorang yang dia kenal babak belur dengan banyaknya bodyguard di tempat tersebut.

Manik mata Dira bergulir menatap Aditya dengan sorot mata yang terbakar api amarah. "Pa, berhenti bersikap seenaknya pada orang lain! Sudah cukup Papa menghancurkan masa kecil Dira. Namun, jangan sampai Papa menghancurkan hidup orang lain!"

Aditya tersentak mendapatkan teguran yang bersifat terang-terangan oleh Dira. Dira yang dulunya hanya menerima perlakuan Aditya yang selalu memarahinya dan menuntutnya agar bisa menguasai semua senjata yang ada di mansion. Kini, Dira sudah mampu untuk mengungkapkan pendapatnya sendiri.

Hah, mungkin putrinya memang sudah bukan anak kecil lagi yang perlu Aditya lindungi. Walau Aditya tidak menyayangi anak-anaknya melebihi Adinda, tapi tetap saja masih ada kasih sayang untuk mereka. "Dira.. kamu salah paham. Ayah tidak mengeroyok Azka karena kami memang berduel tadi."

Dira masih tak percaya dengan penjelasan Aditya. Matanya beralih menatap Azka yang juga mengamatinya sejak tadi. "Lalu, kenapa Azka ada di sini?"

Padahal Azka beberapa waktu yang lalu mengantarnya pulang dari taman. Namun, mengapa Azka berada di sini sekarang jika urusan mereka sudah selesai?

"Tanya saja pada bocah itu karena mungkin ada sesuatu yang ingin dia bicarakan denganmu."

Dira mengangguk menanggapi ucapan Aditya. Kakinya melangkah menghampiri Azka dan membantunya bangkit dengan gerakan hati-hati.

"Wah! Ada pertunjukan bagus, ya?!" Suara Dito menarik perhatian mereka. Dito yang berada di balkon kamar Dira di lantai 2 mulai mengamati keadaan di bawahnya. "Tampaknya gue melewatkannya, sayang sekali...."

Dito kecewa ketika menyadari bahwa tak ada lagi pertarungan yang terjadi. Dito mengamati seseorang yang dipapah oleh Dira. Dito dengar dari bodyguard yang bertugas menjaga gerbang mansion bahwa pria itu merupakan kekasih Dira.

"Nice, Pa! Setidaknya dia harus tetap hidup saat melawan Papa jika ingin menjalin hubungan dengan Dira, adikku yang paling bar-bar." Dito mengacungkan jempolnya pada Aditya yang dibalas dengan acungan jempol juga oleh Aditya. Keduanya untuk pertama kalinya kompak sebagai ayah dan anak.

"Dasar Dito sinting!! Gue habisi lo lain kali!" Dira berteriak marah dengan mata yang melotot ganas pada Dito yang terkekeh geli.

"Ya, ya, ya, gue akan menantikannya selalu, Dira. Lagian kita selalu seri kalau duel, enggak mungkin ada yang menang dan kalah." Dito tersenyum miring dengan tatapan sombong.

Dira berdecih melihat sikap sombong kakaknya yang begitu menjengkelkan di matanya. "Setidaknya gue akan membuat lo menerima pukulan gue dua kali lipat dari sebelumnya."

"Itu sih kalau lo masih sanggup melayangkan pukulan sama gue." Dito mengendikkan bahunya acuh tak acuh lalu berbalik memasuki kamar Dira. Dito tak mempermasalahkan ancaman dari Dira. Karena selama ini Dito bertarung hanya menggunakan sedikit kemampuannya saja supaya mereka bisa seimbang. Kalau Dito menggunakan semua kemampuannya, mungkin Dira akan kalah telak tanpa bisa melawan. Aditya bahkan kewalahan saat bertarung dengannya, bagaimana dengan adiknya nanti? Dito tidak ingin membuat adiknya kecewa dengan pelatihan yang mereka lakukan saat kecil.

Tidak mungkin Dito membiarkan Dira kalah darinya karena anak itu mungkin akan putus asa dan merasa bahwa latihan yang dia lakukan belum cukup untuk menjadi kuat. Padahal itu sudah batasan Dira untuk menjadi kuat, karena Ditolah yang akan menjaganya di masa depan dan mengambil alih kepemimpinan Black Angel. Dito tidak ingin melihat Dira menyiksa dirinya sendiri dengan berbagai macam pelatihan.

"Yah, setidaknya tidak masalah untuk menuruti keinginannya. Walaupun tubuh gue akan menjadi korbannya."

Bagi Dito, daripada menjadi kuat dan dapat mengalahkan semua orang, namun tidak bisa melindungi keluarganya sendiri itu hanya sesuatu yang tidak berguna. Lebih baik Dito menjadi lemah tapi bisa melindungi mereka.

Dito mengangguk-anggukkan kepalanya setuju dengan pemikirannya sendiri. "Menjadi kuat bukanlah segalanya. Karena kekuatan bisa menjadi tidak berguna jika tidak bisa digunakan untuk menjaga seseorang yang disayang."

*****

Di sisi lain, pria dengan pakaian berwarna hitam serupa dengan Black Angel memegang sebuah ponsel di telinganya. Pria tersebut yang menyamar sebagai Black Angel sedang melaporkan keadaan yang beberapa saat lalu telah dia saksikan.

"Halo, Tuan. Sesuai dengan dugaan Anda, Tuan Aditya mengetahui keberadaan pria bernama Azka. Pria tersebut ada di mansion Angel sekarang dan mereka juga sempat bertarung karena pria itu mengamuk mencari Nyonya Adinda walau akhirnya pria itu kalah. Pria itu juga menyebutkan mengenai Iskana Ranendra. Bukankah nama tersebut tidak asing untukmu, Tuan?"

Seseorang yang terhubung dengan panggilan tersebut terdiam untuk beberapa saat. Tak terdengar respon di seberang sana, membuat pria itu mengecek panggilannya yang ternyata masih tersambung. "Tuan? Apakah ada kesalahan pada laporan saya?"

Suara helaan napas kasar terdengar membuat pria itu membungkam mulutnya. Pria itu tak ingin karena satu kesalahan pada perkataannya dapat membuat nyawanya melayang begitu saja. Ada pendukung kuat di belakang orang yang menjadi tuannya. Sehingga dia harus berhati-hati dalam melakukan segala hal.

"Cukup laporkan saja mengenai pria bernama Azka dan tetap awasi pergerakan Black Angel! Ku peringatkan kau jangan pernah menyebut nama Iskana Ranendra lagi karena nama itu terdengar memuakkan! Kau sebagai bawahan harus sadar di mana tempatmu dan jaga mulutmu yang dipenuhi keingintahuan! Kualitas laporanmu lah yang membuat nyawamu masih ada sampai sekarang. Jadi, lakukan tugasmu dengan sebaik-baik!"

Ucapan orang tersebut membuat pria itu menelan salivanya kasar. Jantungnya berdegup kencang merasakan ancaman terhadap nyawanya. "B-baik, Tuan. Saya tidak akan mengecewakan Anda."

Panggilan terputus setelah pria itu menyelesaikan ucapannya. Orang di seberang sana mengukir senyum misterius dengan wajah yang dipenuhi kepuasan.