"Aku terima jika kau memperlakukanku dengan baik ataupun buruk sekalipun. Itu tak apa karena yang terpenting bagiku, aku bisa berguna untukmu. Manfaatkanlah aku semaumu, jika itu diperlukan. Karena dalam cinta... Tak ada kata memanfaatkan dan dimanfaatkan. Karena semua yang kita lakukan... Berdasarkan rasa sayang dan takut kehilangan." (Azka)
****
Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Pikirannya melayang membayangi masa kecilnya yang diisi oleh tangisan saja. Di saat dirinya kecil, dia selalu bertanya dalam hatinya, 'Siapa orang tua kandungnya?'
Sampai sekarang dia bahkan tidak tahu menahu mengenai latar belakang sosok dirinya yang sebenarnya. Siapa orang tuanya? Mengapa mereka tega menitipkannya pada panti asuhan ketika dia baru lahir? Apakah mereka tidak menginginkan kehadirannya?
Dia menghela napas berat, semua pertanyaan itu tidak pernah bisa terjawab. Dia ingin tahu, tapi kenapa tidak ada sedikit informasi mengenai keluarganya. Seolah mereka menghilang tanpa meninggalkan jejak sedikitpun.
"Sebenarnya... gue itu siapa?"
Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak seperti orang yang kehilangan kewarasannya. Tawanya bahkan terasa hambar, wajahnya begitu frustrasi dan sudut matanya perlahan mengeluarkan air mata.
"Nama gue Azka... Azkara Ranendra. Semua orang kenal gue, tapi kenapa gue enggak kenal sama orang tua gue sendiri? Gue bahkan enggak tahu mereka ada di mana?"
Air mata itu terus mengalir dari sudut matanya, dia terisak pilu dengan sorot matanya yang begitu putus asa. Dia memang laki-laki, tapi dia juga bisa menangis merasakan kesedihan yang selama ini dia derita karena hidup tanpa tahu siapa orang tua kandung yang sebenarnya.
"Ma, Pa, Azka kangen, pengin ketemu sama kalian. Kalian di mana?" Tangan Azka terangkat untuk menutupi wajahnya. Tubuhnya bergetar pelan karena dirinya masihlah menangis.
Drrttt...
Ponsel di saku celana Azka berdering menandakan ada panggilan masuk. Azka mengusap wajahnya yang basah, dia mengatur napasnya yang terasa sesak. Dia merogoh saku celananya dan melihat nama kontak yang memanggilnya.
Honey is calling for you...
"Hall--"
"A-Azka, hiks..."
Mata Azka membulat sempurna ketika telinganya mendengar suara isakan di seberang sana. Dia seketika berdiri dengan panik. "Kamu kenapa menangis, Honey? Apa ada masalah?"
"K-ke sini hiks... C-cepat ke--ke sini..."
"Kamu di mana, Honey? Aku akan ke situ!" Tangan Azka meraih kunci motor dan bergegas keluar dari kamar sambil terus menempelkan ponsel di telinganya.
"T-taman... A-aku-- a-aku ada di t-taman hiks..."
"Oke, aku akan ke situ, Honey. Kamu tunggu di situ dan jangan ke mana-mana sebelum aku datang."
Azka mematikan sambungan telepon, dia menaiki motornya lalu melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Hatinya terasa dicubit ketika mendengar gadisnya terisak pilu di telepon. Pasti telah terjadi sesuatu yang besar sampai membuat gadisnya yang begitu kuat bisa menangis pilu dan meneleponnya seolah membutuhkan kehadirannya.
"Aku datang, Honey!"
*****
Matanya sibuk mencari-cari sosok yang membuat hatinya gundah. Matanya menangkap sosok perempuan yang sedang duduk di bangku taman yang letaknya terpisah dari yang lainnya. Perempuan itu sedang menunduk dengan tubuhnya yang bergetar.
Azka menghampirinya, dia tak mungkin salah mengenali postur tubuh gadisnya. "Honey!"
Suara lembut Azka memasuki gendang telinga Dira. Dia mendongak dan matanya menangkap sosok Azka yang sedang setengah berlari ke arahnya. Dira bangkit sambil menahan nyeri di kakinya yang terdapat banyak goresan luka dengan darah yang mengalir deras.
Dira memaksakan kakinya untuk berlari ke arah Azka yang juga berlari ke arahnya ketika melihat Dira meringis kesakitan saat dia memaksakan berlari. Dira menubruk dada bidang Azka lalu menangis histeris sambil mencengkeram erat pakaian yang Azka kenakan.
"Hiks, A-Azka... A-aku takut hikss..."
"Apa yang kamu takutkan, Honey?" Azka menguraikan pelukan Dira, dia menangkup wajah Dira yang begitu pas di tangannya.
"M-mama sama P-papa, m-mereka-- mereka-- ugh!" Dira tidak melanjutkan ucapannya. Dia mengarang pelan ketika merasakan nyeri di kakinya semakin menjadi. Dia menggigit bibir bawahnya menahan erangan kesakitan supaya tidak keluar.
"Honey, kamu kenapa?" Azka menatap Dira dengan khawatir. Wajah Dira terlihat seperti menahan rasa sakit dengan paksa.
"A-aku-- aku enggak apa-apa k-kok, shh..." Dira mendesis pelan, dia berusaha menahan rasa sakitnya. Ayahnya bilang dia tidak boleh mengeluh hanya karena luka kecil saja, kalau tidak dia berarti gadis yang lemah. Dira tidak ingin dianggap lemah! Dia itu gadis yang kuat! Sesakit apapun yang Dira rasakan akan ia tahan sekuat tenaga untuk menjadi gadis yang kuat.
Mata Azka membulat sempurna saat melihat banyaknya darah yang mengalir dari kaki Dira yang sudah membiru. "Kaki kamu kenapa, Honey? Ini pasti sakit. Kenapa kamu tidak bilang dari awal?!"
Suara Azka meninggi, dia marah bahkan sangat marah jika gadisnya itu menahan rasa sakit sendiri saja tanpa membaginya untuk dirinya. Azka itu kekasihnya, sudah seharusnya Dira membagi suka maupun duka padanya. Azka bahkan tak akan mengeluh jika Dira bergantung padanya, karena Azka ingin menjadi laki-laki berguna bagi kekasihnya.
"K-kakiku enggak apa-ap-- akhh!" Dira memekik kecil ketika tubuhnya tiba-tiba melayang digendong Azka ala bridal style.
"Diam! Enggak usah banyak protes! Kamu udah keterlaluan! Kenapa enggak bilang dari awal kalau kaki kamu luka-luka!" Azka menggeram marah, dia mendudukkan Dira di bangku taman yang sempat diduduki Dira. Dia berjongkok di depan Dira, dengan pelan tangannya meraih kaki Dira yang terluka dan membawa ke pahanya.
"Kayak gini yang mau kamu bilang enggak apa-apa, hah!!" Azka dengan sengaja menekan luka Dira yang membuat Dira memekik kesakitan.
"AW! Jangan ditekan, Az! Sakit!" Tangan Dira mencengkeram pundak Azka melampiaskan rasa sakitnya. Azka menghela napas, dia menatap sendu luka Dira. Tangannya melepas kemeja yang ia kenakan dan membungkus luka Dira dengan kemejanya. Azka tidak membawa tas yang berisi P3K, jadi untuk sementara Azka menggunakan kemejanya.
Kepala Azka mendongak menatap sendu Dira, tangannya meraih tangan Dira dan menggenggamnya erat. "Jangan berusaha menahan rasa sakit sendiri, Honey. Aku akan selalu siap jika kamu membagi rasa sakitmu padaku."
Mata Dira kembali memanas, dia memeluk Azka terharu. "Hiks, m-maafin aku... M-mama sama Papa, m-mereka-- mereka bertengkar hebat, bahkan Papa mengamuk sampai melempari barang-barang yang ada di rumah. Sedangkan Mama, a-aku enggak tahu dia ada di mana hiks... D-dia pergi dari rumah sambil menangis setelah pertengkaran hebat dengan Papa hiks..."
Dira terisak di pelukan Azka. Hatinya terasa sakit mengingat pertengkaran hebat untuk pertama kalinya antara Aditya dengan Adinda. Setahu Dira, mereka saling menyayangi satu sama lain, dan untuk pertama kalinya mereka bertengkar hebat mempermasalahkan sesuatu yang tidak Dira ketahui.
"Kamu kenapa ada di sini? Seharusnya kamu menenangkan Papamu, Honey." Azka mengelus rambut Dira lalu mengecup puncak kepalanya dengan sayang.
"A-aku enggak bisa, kak Dito yang menenangkan Papa. Aku hanya akan membuat Papa semakin bersedih karena melihatku menangis, hiks... J-jadi, aku kabur dari rumah melompat dari balkon kamarku." Dira semakin sesenggukan, Azka tak tega melihat kekasihnya seperti itu.
"Apa masalahnya serumit itu?"
"A-aku enggak tahu hikss... T-tapi mereka terus-terusan meneriaki nama-nama yang begitu asing bagiku hiks..."
Azka mengangguk pelan, dia mempererat pelukannya. "Menangis lah, Honey, jika itu diperlukan. Karena aku bersedia memberikan bahuku untuk menjadi tempat sandaranmu ketika kamu merasa lelah."
*****
Wanita itu terisak-isak di samping makam seseorang. Tangannya mencengkeram nisan yang bertuliskan nama sahabatnya.
"I-Iska hiks... A-aku kangen kamu..."
Adinda menangis histeris sambil memeluk nisan itu. Dia begitu merindukan sosok Iska, sahabatnya yang selalu menghiburnya dan sudah ia anggap sebagai bagian dari keluarga sendiri.
"K-kenapa kamu menyerah? Seharusnya kamu bertahan lebih lama lagi hikss... P-putramu bahkan sudah tumbuh besar dan juga tampan. A-apa kamu tidak ingin melihatnya? Hikss..."
Dada Adinda terasa sesak, dia bahkan kesulitan bernapas karena tangisannya yang tidak juga berhenti. Selama ini Adinda merasa kesepian. Tak ada keluarga selain Keluarga Angel, atau pun sahabat yang menemaninya. Adinda di mansion Angel hanya sendirian.
Putra dan putrinya bahkan didominasi oleh Aditya sejak kecil. Aditya mendidik mereka dengan keras dan tak membiarkan Adinda untuk turun tangan. Jadi, wajar saja jika hubungan yang dijalin Adinda dengan anak-anaknya hanya sebatas ibu dan anaknya tanpa bisa menjadi sahabat.
"A-apa kamu masih ingat waktu itu kamu dan aku berjanji akan mempersatukan anak kita suatu saat nanti? L-lihatlah, takdir bahkan sudah mempersatukan mereka sebelum aku bertemu dengannya. M-maafkan aku karena aku sudah sangat terlambat untuk menemukan p-putramu."
Adinda terus menangis sambil menggumamkan kata rindu pada nisan yang masih ia peluk dengan erat. Dia bahkan tak sadar ada sepasang mata yang mengamatinya dari kejauhan.
Adinda perlahan beranjak dari makam Iska, dia memang sempat bertengkar hebat dengan Aditya karena berdebat mengenai Iska. Ketika Adinda sudah menjauh dari makam, orang tadi yang sempat mengamati Adinda keluar dari tempat persembunyiannya.
Dia memandang makam tersebut lalu membaca nisannya.
Iskana Ranendra
Nama itu... Azka menelan ludahnya kasar. Nama belakang mereka sama-sama Ranendra. Tangan Azka terkepal erat, matanya mulai memanas mengamati makam Iska.
"Apa mungkin kamu... Ibuku? Jadi, ibuku sudah meninggal?" Tubuh Azka terasa lemas, dia jatuh terduduk di samping makam yang ia duga adalah ibu kandungnya yang selama ini ia cari-cari keberadaannya.
Ibunya... sudah meninggal?
Bahkan sebelum Azka melihat wajahnya.
Tuhan... Apa sebesar itu kesalahan Azka, sampai kau tega tidak mempertemukannya dengan ibunya sendiri ketika masih hidup?
Azka tergugu, dia hanya bisa menangis pilu meratapi takdir yang tak dapat ia ubah sama sekali. Tubuhnya tremor parah karena terlanjur syok dan tak percaya. Azka berharap makam di depannya bukanlah makam ibunya. Azka berharap setidaknya ibunya masih hidup walau Azka tak akan pernah bisa menemukannya seumur hidup. Setidaknya itu bisa membuatnya bahagia mengetahui bahwa ibunya masihlah hidup di dunia yang sama dengannya.
"Aku tak menyalahkan takdir dan berkata bahwa kau begitu kejam. Tapi, aku hanya bersedih, kenapa aku tak seberuntung anak yang lain yang bisa bertemu dengan ibu kandungnya sendiri saat dia masih hidup."