"Aku bukan orang baik yang mudah memaafkanmu. Aku juga bukan orang jahat yang akan tega membunuhmu demi membalaskan dendamku. Tapi... aku hanya seseorang yang dididik begitu keras. Sehingga... aku sudah terbiasa menerima kekerasan. Bahkan... aku tak segan untuk memberikan kekerasan. Tapi... bukan itu yang ku inginkan. Aku hanya ingin membalaskan dendam dengan caraku sendiri. Dengan cara yang bahkan tak mampu kau prediksi." (Dira)
*****
Dua pasang suami istri sedang mengadakan pertemuan di salah satu restoran yang cukup terkenal. Pasangan pertama membawa anak laki-laki kecil yang masih berumur 2 tahun di pangkuan ibunya. Anak itu bernama Dito Angelou dengan orang tuanya yaitu Aditya dan Adinda.
"Din, apa benar kamu hamil lagi?" Pertanyaan antusias itu dari seorang wanita yang sedang mengandung dengan usia kandungan 2 bulan. Suaminya yang duduk di sampingnya hanya bisa menggelengkan kepala memaklumi tingkah istrinya yang semakin hari semakin manja karena hormon kehamilan.
"Iya, kata dokter usia kandunganku baru memasuki minggu ketiga." Adinda menjawab dengan tak kalah antusiasnya dengan Iska-- wanita di depannya -- yang merupakan sahabat dekatnya.
"Wow! Kok sampai enggak sadar gitu sih, Din? Memangnya waktu kamu hamil Dito enggak mual-mual, ya?" Suami Iska ikut berbicara.
"Waktu hamil Dito yang mual-mual bukan aku, tapi Adit, hehe... Jadi, aku enggak tahu rasanya gimana." Adinda tersenyum malu, sedangkan Aditya hanya memutar bola matanya malas. Adinda tidak tahu betapa tersiksanya dia saat mengalami morning sickness, padahal yang hamil istrinya.
"Ah! Pantesan!"
Kedua pasangan itu melanjutkan obrolan mereka dengan penuh canda tawa. Dito yang berada di pangkuan ibunya pun tidak bawel seperti anak kecil kebanyakan. Dia anak yang cenderung diam dan tak banyak berceloteh. Dia akan berceloteh jika ada suatu hal yang membuatnya sangat ingin tahu.
Pertemuan mereka selesai, Aditya dan Dito sudah berada di mobil mereka sedangkan Adinda baru saja keluar dari restoran karena dia baru saja dari toilet. Adinda menghentikan langkahnya ketika merasa ada yang memperhatikannya. Dia menoleh ke samping dan matanya bertubrukan dengan mata yang sedari tadi memperhatikannya.
"Eh, Hendra. Iska di mana?" Canggung, kata itulah yang dapat menggambarkan keadaan yang saat ini Adinda hadapi. Adinda berusaha memaksakan senyumnya ketika Hendra-- suami Iska --hanya diam sambil menatapnya begitu intens dengan tatapan yang... berbeda?
"Cantik."
"Eh!" Adinda sedikit terlonjak ke belakang, matanya mengerjap beberapa kali. Dia terlalu terkejut mendengar kata yang terlontar dari mulut Hendra.
Dia... tidak salah dengar, 'kan?
Hendra... memujinya?
Tapi... kenapa Adinda tiba-tiba merasa gelisah? Harusnya dia senang, 'kan mendapatkan pujian seperti itu.
"Ekhem... Makasih, Ndra, hehe... Iska juga cantik." Adinda kembali memaksakan senyumnya ketika melihat Iska yang sudah berada di mobil menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan ke arahnya.
Ekspresi bingung tampak di wajah Iska, dalam hatinya dia bertanya, "Sebenarnya, apa yang sedang mereka bicarakan? Apakah seserius itu?"
"Iska dan kamu itu... berbeda. Kalian benar-benar berbeda." Dapat Adinda lihat kernyitan di dahi Hendra saat menyebut nama Iska. Ada apa?
"Haha, ya iyalah, Ndra. Kami, 'kan, bukan kembar jadi jelas berbeda." Adinda berusaha menanggapinya dengan santai. Dia tidak boleh berpikir negatif terlebih dahulu.
"Tapi... sekarang aku baru menyadarinya, bahwa kamu itu jauh melebihi Iska." Hendra tersenyum, bahkan sangat manis dan terlihat menawan. Senyum itu... belum pernah Adinda lihat bahkan ketika Hendra sedang berduaan dengan Iska sekalipun.
"Apakah aku boleh mengambil kelebihan itu?" Pertanyaan ambigu itu membuat Adinda mengernyit.
"Maksud kamu ap--"
"MAMA!" Adinda refleks menoleh ketika namanya dipanggil. Dia mendapati Dito yang berada di gendongan Aditya yang keluar dari mobil karena Adinda belum juga masuk ke dalam mobil.
"Ndra, aku pulang dulu, ya." Adinda bergegas menuju suami dan anaknya, dia bahkan meninggalkan Hendra tanpa menunggu jawaban dari Hendra. Adinda meninggalkan Hendra dengan masih memiliki hutang jawaban untuk Hendra, jawaban yang ternyata membuat kehidupannya seketika berubah.
Seharusnya... sejak awal Adinda menyadarinya.
Seharusnya... dia menjawab pertanyaan Hendra dengan tegas tanpa memiliki hutang jawaban pada Hendra.
Seharusnya--
*****
"Dinda,... bangun, Sayang."
Mata Adinda seketika terbuka lebar, napasnya terengah-engah seperti habis lari maraton saja. Tubuhnya bahkan mengeluarkan keringat dingin yang begitu banyak. Ekor matanya menangkap sosok Aditya yang duduk di sampingnya dengan tatapan khawatir.
"Sayang, kamu kenapa? Apa aku mengagetkanmu?" Tangan Aditya mengusap puncak kepala Adinda yang menatapnya lalu menggeleng pelan.
Tangan Adinda menarik tangan Aditya yang bertengger di puncak kepalanya. Dia membawa telapak tangan Aditya ke pipinya lalu memejamkan matanya sejenak untuk meresapi kehangatan yang bersarang di hatinya.
Rasa cinta itu masihlah ada sampai sekarang, bahkan sentuhan dari Aditya masih membuat jantungnya berdebar kencang. "Aku enggak apa-apa. Makasih ya karena selama ini kamu sudah mau bertahan meski kita pernah mengalami banyak hal pahit bersama."
Bibir Adinda bergetar pelan saat mengatakan semua itu. Matanya bahkan mendadak memanas mengingat kejadian waktu itu yang begitu membekas di ingatannya. Kejadian yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya.
"Tentu saja, aku akan terus bertahan bersamamu, sayang. Meskipun banyak kepahitan yang harus aku hadapi." Wajah Aditya mendekat, dia mengecup kening Adinda cukup lama. Bayangan masa lalu itu... masih dia ingat dengan jelas. Bayangan di mana saat dia...
Membunuh sahabatnya sendiri.
*****
"Huek... Huek..." Suara itu terdengar dari kamar mandi yang ada di UKS. Dira yang tadi sempat sudah sadar, dibawa ke UKS untuk beristirahat. Dia terbangun karena suara itu, matanya menatap pintu kamar mandi yang terbuka. Karena penasaran, Dira memutuskan untuk menuju kamar mandi tersebut.
"Azka? Lo kenapa?" Dira menghampiri Azka yang masih muntah-muntah di wastafel. Dengan pengertian, Dira memijat tengkuk Azka supaya meringankan rasa mualnya.
Dira menatap Azka dari samping, dia bisa melihat wajah Azka yang begitu pucat dan juga lemas, matanya bahkan sudah memerah. "Udah mendingan?" Azka hanya mengangguk sebagai jawabannya.
Dira menuntun Azka yang lemas untuk duduk di sofa yang ada di UKS. "Azka, lo... hamil, ya?" Mata Dira melotot, dia begitu syok dengan pemikirannya sendiri. Tidak mungkin, 'kan Azka hamil? Tapi... kenapa Azka sampai mual-mual seperti sedang terkena morning sickness saja.
"Jangan ngawur, Honey. Ssht... Perut aku sakit." Azka mendesis ketika perutnya terasa melilit. Matanya terpejam erat menahan rasa sakit yang menyerang perutnya.
Selalu seperti ini jika dia nekat mendekati perempuan, padahal dirinya fobia perempuan. Ya, reaksi ketika tubuhnya berdekatan dengan Monic dan teman-temannya saat insiden tadi, memang seperti ini. Tapi, karena dia terlalu kalap dengan emosinya, dia sudah tidak memedulikan apapun lagi.
"Terus kalau bukan hamil apa? Kok perut kamu bisa sakit?" Tangan Dira mengelus perut sixpack Azka. Dia menatap Azka polos menanti jawaban dari Azka.
"Itu... sebenarnya aku-- arrghh!" Azka memekik ketika gejolakan di perutnya semakin menyiksanya. Tubuhnya bahkan terasa panas, keringat dingin keluar dari tubuhnya.
"Kamu kenapa, Az?" Dira menatap wajah Azka dan perutnya secara bergantian. Dira mendekatkan telinganya ke perut Azka. "Halo, apa benar di sini enggak ada janin yang tumbuh? Tapi, kok bisa Azka mual-mual, ya? Aneh banget."
Azka yang sedang menahan rasa sakitnya, sedikit tersenyum ketika mendengar omongan tak logis Dira. Gadisnya itu... benar-benar polos, ya? Tuduhan tak logis bahwa dia hamil membuatnya ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Tapi, keadaannya tidak memungkinkan. Oh, sayang sekali.
"Hei, jawab dong, kok diam aja sih? Bukannya lo ada di rahim Azka?" Bukan, Dira bukan bicara dengan Azka melainkan dengan perut Azka yang sakitnya sudah sedikit mereda.
"Honey, kamu lagi apa, heh?" Azka menatap geli Dira yang masih menempelkan telinganya di perutnya.
Dira beralih menatap Azka sambil mengerjapkan matanya beberapa kali dengan polos. "Gue lagi ngomong sama janin yang ada di rahim lo."
Jawaban macam apa ini. Azka itu laki-laki normal, bukan laki-laki setengah perempuan, hah, ada-ada saja.
"Memangnya cowok bisa hamil, hm?" Azka terkekeh melihat kernyitan di dahi Dira saat sedang berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Azka.
"Eh, cowok bisa hamil, ya?" Bukannya menjawab, Dira malah bertanya balik ke Azka yang membuat Azka tertawa.
"Kamu ini, ada-ada aja, Honey." Azka menggelengkan kepalanya tak habis pikir.
"Terus lo kenapa?" Dira memiringkan kepalanya dengan gerakan menurut Azka imut jika dipadukan dengan kepolosan yang ditampilkan oleh Dira seperti sekarang.
"Aku itu fobia perempuan, Honey. Bukan hamil." Jujur saja, Azka tidak ingin mengungkapkan fakta aneh tersebut pada Dira karena Dira mungkin akan menjauhinya dan menganggapnya aneh.
"Memang ada ya fobia kayak gitu?" Tanpa diduga, respon Dira biasa saja seolah itu bukanlah yang perlu dibahas lebih lanjut. Ini... membuat kecemasan dalam diri Azka menghilang begitu saja.
"Ada."
"Kalau lo fobia sama perempuan, kenapa lo enggak kenapa-napa saat dekat-dekat sama gue?" Antara percaya dengan tidak, Dira begitu penasaran.
"Karena kamu bukan hanya perempuan. Tapi kamu itu..." Azka tersenyum manis, bahkan sangat manis yang membuat jantung Dira berdetak tak karuan. Pipinya bersemu merah.
"Milikku yang ku anggap spesial."
*****
Suasana di ruangan itu begitu mencekam, di dalamnya terdapat Monic dan teman-temannya, Azka, Dira, dan juga dua pengawalnya. Mereka sedang berada di ruang BK untuk mengklarifikasinya insiden di toilet.
"Bisa jelaskan yang sebenarnya pada ibu!" Bu Retno, menatap murid-muridnya dengan tatapan tajam.
"Mereka mencoba membunuh saya sama teman-teman saya, Bu." Monic yang menjawabnya. Dia memasang wajah ketakutannya begitu pun dengan kedua temannya.
"Lagian kalian pantas untuk mati, tuh!" Dira menjawabnya sambil tersenyum miring.
"Heh! Maksud lo apa! Gue emangnya salah apa sama lo!" Monic melotot garang dia bahkan tidak menyadari tatapan tajam dari Bu Retno yang mengarah kepadanya.
"Salah lo? Banyak! Gue enggak sanggup kalau nyebutinnya satu-satu." Dira tertawa jahat di dalam hatinya melihat wajah Monic semakin memerah padam.
"Lo--"
"Apa! Lagian lo hidup bikin susah orang aja! Mending mati aja sana! Mau gue bantu matiin lo?"
"DIRA!"