Chereads / Queen Of Mafia / Chapter 22 - 21. Dibully Atau Membully?

Chapter 22 - 21. Dibully Atau Membully?

"Cewek kayak lo itu, enggak lebih dari cewek yang enggak tahu diri. Udah tahu ditolak tapi masih aja gatel." (Dira)

*****

Dira bersiul santai di sepanjang koridor sekolah menuju kantin. Di sampingnya terdapat Fara yang semenjak tadi berjalan dengan risih dan tak nyaman. Dira hanya melirik Fara sekilas tanpa mau bertanya, karena dia sudah tahu apa penyebabnya.

Di belakang mereka ada Nick dan Edward yang setia mengawali mereka, lebih tepatnya Dira, semenjak insiden Aditya yang tidak menginginkan Dira berdekatan dengan Azka. Aditya itu memang tidak pernah main-main dengan ucapannya. Dia tak tanggung-tanggung mengirimkan beberapa anak buahnya selain Nick dan Edward untuk mengawasi Dira di sekolah, atau mungkin Aditya sudah merencanakannya sejak awal.

Entah ada berapa anak buah yang ayahnya kirimkan untuk mengawasinya. Dira tidak peduli asalkan mereka tidak mengusiknya dia akan santai-santai saja seolah mereka hanya makhluk transparan yang mengikutinya. Ahh... Dira memang jahat sekali.

Langkah Dira terhenti ketika matanya menangkap sosok pria yang mengklaimnya. Pria itu sedang berjalan ke arahnya dengan sorot mata yang tadinya berbinar, meredup seketika saat Nick dan Edward memasang tubuh di depan Dira seolah menghalangi Azka yang ingin menemui sang kekasih.

"Dira..." Azka berbicara dengan nada rendah. Dia menatap Dira dengan sorot hampa seolah tidak ada harapan.

Azka menelan salivanya, tenggorakannya terasa pahit untuk mengatakan sesuatu. "A-apa gue udah enggak boleh lagi dekat-dekat dengan lo?"

Mata Dira bergerak gelisah, hatinya terasa perih melihat wajah putus asa Azka. Dira tidak berani menatap langsung manik mata Azka yang kian meredup saat Dira tidak membalas ucapannya sama sekali. Apa sekarang... dia juga tidak dibolehkan untuk berbicara dengan Dira? Jika benar... maka Azka tidak tahan lagi. Dia akan menghancurkan siapa saja yang menghalangi jalannya menuju Dira. Termasuk...

Melawan Aditya.

"Salah gue apa?" Wajahnya berubah menjadi dingin tidak seperti tadi. Azka menatap Dira menusuk membuat Dira semakin membungkam.

Salah, ya? Jika dipikir-pikir, Dira tidak tahu di mana letak kesalahan Azka sehingga membuat Aditya sampai semarah itu. Dia hanya menuruti perintah ayahnya, karena suatu alasan yang cukup malu untuk dia akui.

Dira... tidak ingin berpisah dengan Azka, apalagi tidak melihat wajah kaku itu walau satu hari saja. Awalnya Dira mengelak, tapi sekarang Dira semakin yakin bahwa alasan dirinya menuruti keinginan ayahnya, hanya untuk satu orang saja. Dia adalah Azka, sang kekasih yang entah sejak kapan sudah mengobati luka di hatinya akibat pengkhianatan dari sang mantan.

Dira tersentak ketika mendengar geraman dari Azka. Dia menatap pria di depannya yang beralih menatap kedua anak buah ayahnya dengan sorot murka.

"Minggir kalian!" desis Azka menatap bengis Nick dan Edward yang masih tetap pada posisinya.

"Maaf, tapi kami diperintahkan oleh Tuan Aditya untuk menjaga Nona dari jangkauan Anda." Nick berbicara dengan formal dan juga tenang seolah tidak takut jika 'singa' di depannya akan mengamuk kapan saja.

"Peduli setan! Dia itu cewek gue!" Azka masih bersikeras agar Dira bersamanya.

"Dia juga Queen kami. Jadi, kami lebih berhak untuk menjaganya dibandingkan Anda yang tidak lebih dari orang asing saja." Pedas sekali. Berbeda dengan Nick yang bersikap tenang, Edward menatap sinis Azka secara blak-blakan. Dia tersenyum mencemooh saat Azka bungkam seribu bahasa.

"Jangan sok berkuasa padahal Anda tidak memiliki apapun yang berhak Anda akui kepemilikannya. Itu seperti... orang miskin yang mengaku kaya. Ck, miris sekali!" Azka melotot tidak terima. Dia maju selangkah untuk mengikis jarak di antara keduanya.

"Lo kalau ngomong itu dijaga, bisa enggak? Kalau sampai gue kelepasan, lo bisa mampus hari ini juga!" Azka berbicara dengan penuh penekanan, tangannya terkepal kuat menahan amarah yang kian memuncak.

"Saya tidak peduli sekalipun Anda ingin memukul saya. Dan... minggir! Nona kami ingin lewat! Anda menghalangi jalan kami sejak tadi!" Edward menyingkirkan tubuh Azka yang menghalangi jalan Dira. "Silakan, Nona. Anda bisa melanjutkan perjalanan Anda menuju kantin."

"Thanks, Ed." Dira tersenyum simpul pada Edward yang mengangguk. Dira melirik sekilas Azka lalu melanjutkan langkahnya bersama Fara yang kini hanya diam karena terlalu syok untuk ikut campur dalam masalah keduanya.

"Asal lo tahu... Gue enggak akan nyerah, Dira! GUE ENGGAK AKAN NYERAH!!" Teriakan menggema di sepanjang koridor sekolah. Dira memejamkan matanya sejenak, jantungnya sudah berdebar kencang membuatnya sulit bernapas karena merasakan sensasi yang terasa berbeda.

"Ck, dasar orang gila!" gerutu Edward yang berjalan di belakang Dira.

"Ed-ward!" Edward berdehem sejenak, dia menunduk tak berani membuka suara kembali. Jika Dira sudah memanggil nama depannya dengan penuh penekanan, itu berarti dia harus diam dan tidak mengganggu. Bisa mampus dirinya jika membuat Queen nya mengamuk.

Edward menutup matanya disertai tarikan napas yang terasa berat. "Gue... masih pengin hidup tenang."

*****

Langkahnya tergesa-gesa menuju kamar. Pelan-pelan tangannya menggapai daun pintu dan membukanya. Yang pertama kali dia lihat adalah kamarnya yang sudah seperti kapal pecah. Barang-barang berserakan di mana-mana. Bahkan tidak sedikit barang yang hancur.

Wanita itu menatap khawatir pria yang duduk di pinggir ranjang yang sedang mengepalkan tangannya kuat. Tatapannya beralih pada cairan merah yang mengalir dari kedua tangan pria itu yang terkepal kuat.

"Adit!" Adinda menghampiri suaminya dengan napas tercekat. Aditya menoleh dan menatap Adinda dengan sorot mata penuh luka.

Adinda menelan ludahnya kasar, sebenarnya... apa yang sudah terjadi sampai-sampai membuat suaminya seperti ini? Tangannya yang bergetar meraih kedua tangan Aditya yang sudah dilapisi darah. "K-kamu kenapa, Dit? Tangan kamu berdarah, memangnya enggak sakit?"

"J-jangan tinggalin aku, Dinda. J-jangan pergi dengannya." Aditya terus saja meracaukan kata-kata itu dan hendak menjambak rambutnya seperti orang frustrasi. Tapi, tangan Adinda sudah lebih dulu menahan tangan Aditya yang sudah dia lapisi dengan perban. Adinda menarik suaminya ke dalam pelukan. Tangannya yang bergetar mengelus rambut Aditya.

Tenggorokan Adinda semakin tercekat, dia bahkan sudah tidak bisa lagi mengeluarkan kata-kata. Dia merasa dejavu dengan apa yang dialami Aditya sekarang. Tapi... kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu, saat Dira masih ada dalam kandungan Adinda dan Dito baru berumur 5 tahun.

Kejadian itu... membawa pengaruh besar bagi kehidupan rumah tangga Aditya dengan Adinda.

Kejadian itu... melibatkan Aditya, Adinda, dan dua orang lainnya.

Kejadian itu pula yang memutuskan ikatan persahabatan di antara mereka.

"K-kamu jangan pergi dengan Hendra, Dinda. A-aku-- aku-- hiks." Aditya bahkan sampai menangis, sosok yang kuat itu hanya menunjukkan kelemahannya di depan wanita yang sangat dia cintai.

Dada Adinda menyesak, dia memeluk Aditya semakin erat. "Sssttt... Aditya, aku ada di sini, dan Hendra, dia..." Wajah Adinda memucat, rasanya dia sulit bernapas ketika mengingat kejadian waktu itu yang membuat Aditya sampai depresi berat.

Jantung Adinda berdetak dengan kencang sampai membuat dadanya sakit. Lidahnya terasa kelu saat akan mengungkapkan kata-kata yang pasti membuka luka di masa lalunya. "Dia sudah tiada. Kamu... sudah membunuhnya dengan tanganmu sendiri."

******

"K-kak, dipanggil sama kak Azka. Kakak disuruh ke toilet perempuan. Dia nungguin kakak di sana." Felysia menunduk takut saat mengucapkan itu. Tubuhnya bahkan tremor parah. Seharusnya dia tidak mengatakan ini, tapi dia diancam.

"Azka?" Kening Dira mengerut, dia merasa heran tumben sekali Azka memintanya untuk menemuinya. Biasanya... Azkalah yang akan menemuinya terlebih dahulu.

"Beneran nih dia mau ketemu sama gue? Bukan orang lain?"

"I-iya, Kak. D-dia katanya mau k-ketemu sama kak Dira." Felysia memilin ujung roknya, ini kebiasaannya jika berbohong. Matanya bahkan sudah memerah, dia ingin menangis karena merasa bersalah sudah berbohong pada Dira yang jelas-jelas sudah menolongnya dari Monic. Tapi--

"Oke, yuk!" Dira berdiri lalu keluar dari kantin dengan Felysia yang mengikutinya dari belakang. Dira tanpa menaruh curiga sedikitpun menurut saja. Dia merasa aksi anak buahnya tadi mungkin melukai hati Azka, jadi dia ingin memperbaikinya sedikit saja.

Mereka berjalan menuju toilet perempuan, Dira melangkah memasuki toilet bersama Felysia. Setibanya di dalam, Dira terkejut ketika dirinya disiram dan membuat seragamnya basah kuyup.

"Woy! Apa-apaan sih!" Dira menatap nyalang pelakunya, siapa lagi kalau bukan Monic dan teman-temannya.

"Yee... Santai dong! Sampah kayak lo udah pantas disiram pakai air bekas pell yang baunya busuk!" Monic tertawa mengejek begitu pun Bella dan Bunga, antek-antek Monic.

"Lo..." Dira menunjuk Monic dengan wajah yang begitu muak. "Sampai kapan lo jadi cewek yang enggak tahu diri? Azka udah nolak lo berapa kali, heh! Tapi, lo memang tuli, ya, kalau dibilangin."

Dira tahu, bahkan sangat tahu Monic melakukan semua ini hanya karena dia tidak terima selalu ditolak oleh Azka. Sebelum Dira datang pun, Monic sudah mati-matian berusaha mendekati Azka. Akan tetapi, yang Monic dapatkan hanya penolakan saja. Monic menjadi geram dengan Dira yang begitu mudahnya mendapatkan perhatian Azka walau mereka baru bertemu beberapa minggu yang lalu.

"Diam lo! Jangan banyak bacot! Guys, tahan dia!" Bella dan Bunga menahan tangan Dira. Dira menggeram kesal, dia menoleh ke arah Felysia yang hanya diam mematung sambil menangis tersedu-sedu.

"Fely... Jadi, lo bohongin gue?" Dira menatap Fely menuntut, Fely menatap Dira takut-takut.

"M-maaf, Kak, hiks. A-aku terpaksa, hiks."

Dira melengos sambil menggeram. "KURANG AJAR! DASAR MUNAFIK!"

"Arghh!" Dira meringis ketika rambutnya dicengkeram oleh Monic, rasa perih menjalar di kepalanya. "Sat! Lepasin!"

"Bodo!" Monic menyeret Dira dengan kasar dengan cara menarik rambutnya. Dia menariknya menuju wastafel yang ada di toilet perempuan. Dia menyalakan kerannya sampai airnya memenuhi wastafel.

"Gue enggak rela Azka kasih perhatiannya sama lo bukan gue! Padahal gue udah mati-matian ngelakuin berbagai cara supaya dia bisa dekat sama gue!" Monic menekan kepala Dira untuk ditenggelamkan ke dalam wastafel. Kepala Dira menggeleng brutal, dia berusaha menarik kepalanya supaya tidak tenggelam.

"Monic gila!! Lepasin gue!!" Dira berteriak histeris, gerakan menggeleng kepalanya pun semakin brutal yang membuat Monic sedikit kesulitan.

Byur!

Monic berhasil menenggelamkan kepala Dira. Dia tertawa puas melihat usaha Dira untuk mengangkat kepalanya. 5 menit lamanya Monic dengan teganya menenggelamkan kepala Dira membuat Dira kesulitan bernapas. Gerakan kepala Dira pun semakin memelan, beberapa menit kemudian gerakan kepala itu berhenti sepenuhnya.

Dira kehabisan napas, ini kelemahannya, dia tidak bisa berlama-lama di dalam air karena sedikit-sedikit dia akan membutuhkan oksigen. Monic menatap Bella dan Bunga dengan tatapan horor. Tangannya seketika bergetar ketakutan begitu pun dengan teman-temannya.

"M-Mon, D-Dira enggak m-mati, 'kan?" Bella melepaskan tangan Dira yang dia cekal begitu pun dengan Bunga.

"G-gue enggak mau j-jadi pembunuh!" Tangan Monic sedikit menggoyangkan tubuh Dira. "D-Dira... B-bangun dong! J-jangan bikin gue ta--"

BRAKK!!