"Hidup memang penuh dengan drama. Terkadang drama tersebut bisa berupa omong kosong belaka. Tapi, tak menutup kemungkinan semuanya benar-benar nyata. Seperti... perasaan cintaku padamu. Yang awalnya hanya pura-pura. Sekarang... menjadi nyata." (Dira)
*****
Koridor sekolah sudah sepi setelah ramai dari beberapa menit yang lalu. Sekarang hanya tersisa dua orang saja di sana, mereka sama-sama terdiam. Yang membedakan keduanya hanyalah ekspresi dari masing-masing orang tersebut. Yang satu berekspresi lega setelah sebelumnya hampir menangis ketakutan, dan yang satunya lagi menatap lurus ke depan dengan raut datarnya.
"Nama lo siapa?" Bola mata Dira bergulir dan menatap Felysia dengan raut dingin yang begitu kentara. Tubuh Felysia mendadak kaku saat mendapatkan tatapan yang begitu membekukan saraf-saraf yang ada di tubuhnya. Matanya membulat untuk sejenak karena Dira tidak mengingat namanya walau Felysia sudah memperkenalkan dirinya.
"N-namaku Felysia Anata." Fely menelan ludahnya gugup. Dia bahkan merasa lebih takut jika diberikan sorot dingin oleh Dira daripada wajah sangar dari Monic.
"Oh... Fely..." Dira mengangguk-anggukkan kepalanya seolah mengerti.
Beberapa detik kemudian, Fely menganga tak percaya ketika Dira mengubah raut wajahnya menjadi lebih ramah dan memberinya senyum hangat yang menenangkan. Keterkejutannya kian bertambah ketika Dira mengelus pucuk kepalanya dengan sayang.
"Lo enggak usah khawatir lagi bahwa lo bakalan dibully sama Monic and her gang. Gue berani ngejamin lo akan aman setelah ini. Lo tinggal belajar dengan giat dan mempertahankan beasiswa lo, oke?" Fely mengangguk kaku masih dengan ekspresi terkejutnya.
"Good girl! Gue mau ke kelas dulu, ada urusan yang belum selesai tadi." Dira melangkah melewati Fely yang masih terdiam di tempatnya berdiri.
Baru dua langkah, Dira kembali berbalik dan mengatakan sesuatu. "Ah, ya! Fely, nanti istirahat pertama lo bawain gue seragam yang bersih, ya! Tenang, nanti ada yang ngasih seragamnya ke lo. Bye!" Dira kembali melanjutkan langkahnya. Tatapannya tertuju pada seseorang yang dari tadi berdiri tak jauh darinya saat masih bersama Fely. Orang itu mengamatinya dari kejauhan.
Dira berhenti tepat di samping orang itu dengan posisi yang saling berlawanan arah. Dira melirik orang di sampingnya dengan ekor matanya.
"Nick, gue minta lo cari tahu mengenai kehidupan Felysia Anata selengkapnya!" Laki-laki yang dipanggil Nick oleh Dira mengangguk pelan. Nick masih diam di tempatnya berdiri begitu pun dengan Dira yang sepertinya ingin mengatakan sesuatu tapi masih ragu-ragu.
"Engh... Dan cari tahu juga mengenai seluk beluk Azkara Ranendra." Dira memalingkan wajahnya ketika menyebut nama Azka yang sepertinya sangat pas diucapkan oleh lidahnya. Pipinya bahkan memerah samar hanya karena menyebut namanya saja.
Nick hanya tersenyum tipis, dia sudah menduga hal tersebut yang akan Dira perintahkan kepadanya. "Baiklah, Queen."
Ada saat-saat di mana Nick dan Edward akan memanggil Dira dengan sebutan 'Queen'. Itu berlaku saat Dira memberi mereka perintah mengenai pekerjaan penting yang berkaitan dengan tugas seorang mafia atau pun saat mereka akan melaporkan mengenai hal-hal yang penting. Namun, untuk pekerjaan remeh temeh yang tidak melibatkan pekerjaan utama mereka sebagai mafia, maka Nick dan Edward akan memanggil Dira dengan sebutan 'Nona'.
Dira melangkah ke kelasnya, di samping kelas ada laki-laki yang berdiri menatap ke arahnya seolah menunggu kedatangannya. "Queen."
"Hm." Dira hanya bergumam menanggapi ucapan tersebut.
"Berhati-hatilah, karena Monic akan membuat Anda terjatuh ketika Anda berjalan menuju tempat duduk Anda." Dira mengangguk pelan, dia menyeringai kecil saat terbesit sebuah cara licik di otak jeniusnya.
"Thanks! Lo boleh kembali, Ed!" Edward mengangguk pelan lalu menunduk memberi hormat pada Dira, setelahnya dia pergi untuk kembali ke kelasnya.
Dira memasuki kelas, dia berjalan santai menuju mejanya yang sudah diduduki oleh Fara yang anteng membaca buku. Dapat dilihat ada seseorang- Dimas -yang mencuri-curi pandang pada Fara. Dira mendengus geli membayangkan sikap absurd Dimas bersanding dengan sikap pendiam Fara dan cenderung tidak suka keramaian. Mereka mungkin akan menjadi pasangan yang begitu unik sekaligus lucu secara bersamaan.
Semakin Dira berjalan mendekati mejanya, semakin jelas suara cekikikan bak kuntilanak di pagi hari dari Monic dan teman-temannya. Telinga tajam Dira bahkan bisa menangkap bisik-bisik dari teman-teman Monic mengenai dirinya.
"Mon! Tuh si songong udah datang! Serang, Mon, serang! Buat dia malu!"
Monic tersenyum licik, dia meluruskan kakinya di lantai bermaksud membuat Dira tersandung dan jatuh. Dira menyadari rencana klasik dari Monic yang sebenarnya sangat membosankan untuk dia tanggapi. Tapi... Dira ingin mengerjai Monic.
Sekali-kali tidak apa, 'kan?
Langkah Dira semakin mendekat, suara bisik-bisik itu kian terdengar jelas seolah mengejeknya dan juga mengasihaninya. Dira tertawa jahat di dalam hatinya, iblis yang ada pada dirinya ingin sekali menyiksanya dengan keji, tapi sekarang bukan waktu yang tepat karena rencana yang dia susun akan berantakan kapan saja.
Lihat saja...
Siapa yang akan dikasihani...
Dan...
Mengasihani...
Bugh!
Bruk!
"Arghh! Sakit!" Monic menjerit dengan suara yang begitu melengking. Dia berdiri sambil mengibaskan kakinya sambil meringis kesakitan.
Monic menatap murka pelaku yang menendang tulang keringnya yang saat ini sedang berpura-pura jatuh seolah tersandung kakinya.
"Bangsat!! Lo pasti senga--" Teriakan Monic terhenti ketika ada seseorang yang memotongnya.
"Honey! Kamu enggak apa-apa, 'kan?" Azka yang baru saja datang terkejut ketika melihat sebuah kerumunan di kelasnya. Saat dia menerobosnya, ternyata ada Dira yang sepertinya terjatuh.
Semua yang menyaksikan drama tadi mendadak syok ketika mendengar Azka begitu mengkhawatirkan Dira dan memanggilnya dengan sebutan sayang. Azka berjongkok di depan Dira yang masih bersimpuh di lantai. Dira mendongak dan memperlihatkan wajah teraniayanya pada Azka yang membuat Azka menggeram tanpa disadarinya.
"Azka... Kaki aku sakit..." Dira meringis kesakitan dan menatap Azka dengan mata yang memerah.
Yeah, drama dimulai!
"Kaki mana yang sakit, Honey?" Azka melihat kaki Dira yang sedikit memerah yang membuat Azka semakin menggeram marah. Rahangnya mengeras, sorot matanya begitu dingin dan terasa sangat berbeda dari sorot dingin yang biasa Azka perlihatkan pada Dira.
Azka tahu bahwa Dira saat ini sedang memainkan sebuah drama. Namun, tetap saja Azka marah saat Dira sampai melukai dirinya sendiri untuk orang yang berusaha menyakitinya.
"Siapa pelakunya, Honey? Siapa yang berani melukaimu? Katakan padaku!" Dira beralih menatap Monic yang benar-benar syok di tempatnya ketika melihat interaksi Dira dengan Azka. Monic begitu kebingungan, sebenarnya apa yang terjadi selama seminggu dirinya absen untuk pergi berlibur.
Azka yang menyadari tatapan Dira tak lagi mengarahnya, dia menoleh dan mengikuti arah pandangan Dira. Sebelum bangkit, Azka mengangkat Dira ala bridal style yang membuat Dira sedikit tersentak.
"Monic..." Suara bernada rendah tapi begitu tajam dari Azka membuat tubuh Monic bergetar ketakutan.
"Lo yang membuat Dira jatuh?"
"Bukan gue, Az! Gue enggak ngapa-ngapain Dira! Dia cuma pura-pura aja! Dia itu cewek muna--"
"CUKUP!!" bentak Azka yang membuat Monic tidak melanjutkan ucapannya.
"Monic! Lo enggak berhak mengata-ngatai Dira apalagi menyakitinya! Karena kalau sampai itu terjadi...," Azka mengikis jarak yang ada pada dirinya dengan Monic yang membeku.
"Lo akan melihat sisi lain dari gue yang pasti membuat lo akan berpikir dengan matang jika ingin menyakiti Dira lagi. Dan, ya,..." Azka menatap menusuk Monic. "Jujur aja, gue muak lihat muka lo!"
Azka melenggang pergi meninggalkan Monic yang menjerit tidak terima mengetahui Azka lebih membela Dira dibandingkan dirinya. Azka menunduk menatap Dira yang ternyata menatapnya.
"Gue sebenarnya enggak apa-apa loh, Az. Kenapa lo bisa semarah itu sama Monic tadi?" Azka tersenyum kecil sambil menatap wajah cantik yang sedang dia gendong dengan sorot penuh cinta.
"Aku tahu, kok. Tapi, aku enggak suka kalau ada yang berniat melukaimu, Honey."
"Budak pintar! Gue bangga banget sama lo, karena jiwa melindungi seorang budak ternyata ada di dalam diri lo." Tangan Dira menepuk pundak Azka pelan sambil tersenyum miring berusaha terlihat angkuh, berbanding terbalik dengan pipinya yang sudah memerah karena ucapan Azka.
"Boleh enggak kalau aku minta status lebih dari seorang budak?"
"M-maksudnya?" Dira menelan ludah, dia mendadak gugup bertatapan dengan Azka.
"Aku tidak ingin menjadi budakmu. Tapi... aku ingin menjadi budak cintamu, Honey."