"Aku tidak mengerti rasa apa yangku rasakan ketika pertama kalinya aku membuka mata, yang ku lihat adalah dirimu." (Dira)
*****
Sinar matahari menembus jendela kamar yang terdapat dua orang berbeda jenis kelamin masih bergelung di dalam selimut dengan posisi berpelukan. Mata sosok gadisnya mulai bergerak, tak lama kemudian terbuka sedikit. Hal pertama yang dilihatnya dada bidang seorang pria.
"Enghh..." Gadis itu melenguh pelan sambil merapatkan tubuhnya pada tubuh kekar di hadapannya. Gadis itu masih belum menyadari adanya kejanggalan yang sedang terjadi.
"Dito, tumben banget lo tidur di kamar gue, hoamm..." Dira, gadis itu bergumam dengan mata yang masih terpejam. Karena tidak mendengar respon dari orang yang dikira Dira adalah Dito, dia membuka matanya dan mendongak menatap wajah pemilik asli tubuh kekar tersebut.
"Dito, kok lo diem--- Aakhhh!!" Refleks Dira mendorong tubuh kekar itu saat melihat wajahnya. Dira mengira yang tidur dengannya adalah Dito, tapi ternyata sosok lain, Azka.
Bugh!
"Ugh!" Azka terjatuh di lantai, kepalanya mendadak pening karena bangun secara tiba-tiba. Sambil meringis menahan sakit di lengan kekarnya, dia berusaha duduk. Mata yang tadinya menyipit karena masih mengantuk, mendadak terbelalak melihat Dira yang sudah sadar. Azka tidak menyangka Dira akan bangun tidak sesuai prediksi dokter yang waktu itu memeriksa keadaan Dira.
"Dira, lo kok udah----"
"Apa?! Lo apain gue, Azka?! Kenapa gue bisa tidur satu kamar sama lo?!" Mata tajam itu menatap Azka menusuk bak pisau yang siap mencongkel mata Azka. Wajah Dira memerah padam antara marah dan malu tentu saja. Ketika membuka mata, pemandangan yang dia lihat ada pria yang tidur bersamanya. Tentu saja Dira merasa kaget bukan kepalang.
Azka diam membisu, dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. "G-gue..." Azka tak melanjutkan ucapannya karena dia tidak pandai merangkai kata-kata. Situasi yang menyebalkan bagi Azka yaitu ketika dia harus berbicara panjang lebar. Itu hanya akan membuat mulutnya pegal.
Raut marah Dira seketika berubah, dia menatap tubuh Azka yang bertelanjang dada dan tubuhnya yang memakai kemeja kebesaran dan celana pendek selutut. Matanya perlahan memerah memikirkan beberapa kemungkinan yang terjadi. Dira baru mengingat bahwa sehabis dia menghabiskan obat tidur satu botol, dirinya langsung terperangkap dalam kegelapan dan berakhir seperti sekarang.
"E-enggak! Enggak mungkin lo ngelakuin itu sama gue, 'kan? I-iya, 'kan, Az?" Bibir Dira bergetar saat mengatakan itu. Dia menggeleng cepat sambil meremas rambutnya, matanya bahkan sudah berkaca-kaca.
Dalam situasi terbangun bersama seorang pria dan dengan pakaian yang berbeda dari yang terakhir kali dipakai tentu saja hanya ada pikiran negatif yang berputar di kepala Dira. Itu seperti boomerang yang membuat Dira merasa kotor dan terhina. Harga dirinya jatuh ke kubang penuh kotoran jika apa yang dia pikirkan benar-benar terjadi.
Lebih baik Dira mati di tangan musuh daripada harus mengalami kejadian memalukan seperti ini. Dave bahkan belum pernah menyentuhnya sedikitpun. Bagaimana orang lain bisa memperlakukannya dengan sekotor ini?
Azka mengernyit bingung, dia belum mengerti apa maksud ucapan Dira. "Dir, maksud lo ap--"
"L-lo jahat, Az! L-lo u-udah mengambil kesempatan, 'kan, melakukan itu saat gue enggak sadar? I-iya, 'kan? Jawab, Az, hiks." Tangis Dira pecah, dia menjambak rambutnya seperti orang frustrasi. Dira tidak bisa membayangkan jikalau dugaannya benar bahwa Azka melakukan itu dengannya saat dia tidak sadarkan diri. Walau bagaimanapun sifat Dira, dia masihlah perempuan yang memiliki hati dan juga harga diri yang harus dia jaga. Dia tidak bisa menerima kenyataan jika dugaannya memang benar.
Azka membelalakkan matanya kaget ketika baru 'ngeh' dengan ucapan Dira. Dia buru-buru bangkit dan mendekati Dira yang menghindarinya saat dia ingin mendekat. "Dira, dengerin penjelasan gue dulu. Gue enggak--"
"Lo jahat, Azka! LO JAHAT! GUE BENCI SAMA LO!! Hiks..." Tangis Dira semakin keras, dia bahkan menjambak rambutnya secara brutal tak memedulikan rasa panas pada kulit kepalanya.
Hati Azka tercubit mendengar perkataan Dira. Tidak! Azka tidak ingin gadisnya membencinya karena hal yang tidak pernah dia lakukan. Azka menggeram marah, secepat kilat dia sudah duduk di depan Dira sambil mencengkeram bahu Dira dengan kuat.
"Dengerin gue, Dira!" Azka berucap dengan tegas.
"E-enggak mau, hiks..." Suara serak dan bergetar itu menjawab perkataan Azka. Dira tidak sanggup mendengar penjelasan Azka mengenai kejadian semalam karena rasa takut jika dugaannya memang benar.
"Lo harus dengerin gue dulu! Tatap mata gue!" Dira menggeleng cepat sambil terus menunduk menyembunyikan tangisnya. Azka semakin geram, tangannya beralih mencengkeram dagu Dira dan mengangkatnya supaya Dira menatapnya.
Mau tak mau, Dira bertatapan langsung dengan mata elang Azka yang memancarkan amarah. Tapi, Dira bisa melihat ada sedikit tatapan khawatir di sana yang seketika membuat tangisnya mereda karena terhanyut dalam mata tersebut.
"Lo mau tahu apa yang sebenarnya terjadi semalam?" Dira hanya diam tak menjawab dan Azka menganggapnya sebagai jawaban iya.
"Semalam lo demam tinggi. Gue udah menyelimuti lo dengan beberapa selimut tebal. Tapi tubuh lo terus aja menggigil. Gue enggak ada pilihan lain selain... yah, kayak gini." Azka menatap Dira dengan tatapan serius.
"Terus, k-kenapa gue ada di sini?"
"Gue enggak mungkin, 'kan, meninggalkan milik gue di sekolah sendirian dengan keadaan gak sadarkan diri?"
Wajah Dira memerah, dia menangkap kata 'milik gue' pada ucapan Azka. Jadi, maksud Azka, Dira adalah miliknya, begitu? What!
"Maksud lo apa?" Dira menatap Azka dengan wajah memerah dan tatapan tak bisa diartikan yang membuat Azka sedikit mengernyit.
Azka menunduk lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Dira. Hembusan napas Azka mengenai tengkuk Dira yang membuat Dira merinding sampai menggeliat tak nyaman. Ini perasaan yang sangat asing apalagi saat Dira masih bersama Dave, Dave sekalipun tidak pernah melakukan kontak fisik lebih dari berpegang tangan dan berpelukan.
"Lo harus tahu Dira, bahwa mulai sekarang lo jadi milik gue! You are mine! Mine!" Setelah Azka mengatakan hal tersebut, Dira tiba-tiba mendorong tubuh Azka.
Dira menatap dingin Azka, dia tidak suka jika ada seseorang yang berlaku seakan berhak atas dirinya. Dia seolah barang yang mempunyai pemilik. "Lo pikir gue mau jadi milik lo, huh? Enggak sama sekali!"
"Gue enggak peduli! Lo akan tetap jadi milik gue!" Tangan Azka kembali mencengkeram bahu Dira dengan kuat dan sedikit mengguncangnya. Tapi, langsung ditepis oleh Dira yang menatapnya marah.
"Cih, pemaksa!" gumam Dira sambil menatap sinis Azka.
Azka menyeringai dengan matanya yang menatap intens Dira. "Suka enggak suka, lo akan tetap jadi milik gue, Dira!"
Plakk!
Mata Azka membulat sempurna. What the hell! Dira menamparnya! Azka terkejut bukan main mendapatkan respon yang tidak terduga. Apa Dira sangat tidak suka untuk menjadi miliknya?
"In your dream!" Setelah mengatakan itu, Dira bangkit dan keluar dari kamar Azka meninggalkan pemilik kamar yang masih terdiam. Dira keluar dengan perasaan berkecamuk yang sangat mengganggu dirinya.
Azka terdiam sambil memegangi pipinya yang mendapatkan tamparan untuk kedua kalinya dari orang yang sama. Senyum tipis terbit di wajah tampannya yang bahkan hampir tidak pernah tersenyum. Kupu-kupu seakan-akan beterbangan di dalam perutnya, memberikan rasa geli pada Azka. Rasa nyaman yang tidak bisa Azka tolak begitu saja, membuat suasana hati Azka semakin membaik.
"Haha..." Tawa keras keluar dari mulut Azka tanpa bisa ditahan olehnya. Entah kenapa bukannya marah akan penolakan Dira, Azka merasa geli dengan tindakannya sendiri yang tidak biasa. Ini tidak seperti dirinya yang selalu mencoba untuk berjauhan dengan perempuan. Sekarang, Azka malah mengambil inisiatif untuk mendekatkan dirinya pada perempuan bernama Dira.
Terkadang, takdir memang selucu itu. Saat Azka menolak kehadirannya, justru akan ada saat-saat pertemuan yang terjadi dalam jumlah yang banyak tanpa bisa Azka cegah. Seolah sejak awal penyakit Azka hanya akan sembuh dengan kehadiran Dira di sisinya. Atau justru Diralah obat yang menyembuhkan penyakitnya. Itu bukan sesuatu yang buruk sehingga Azka menyesalinya. Kenapa tidak dari awal saja Dira hadir dalam hidupnya. Mungkin penderitaan Azka akan penyakitnya akan lebih berkurang.
"Mungkin sekarang lo nampar pipi gue. Tapi, siapa tahu kedepannya lo nampar bibir gue pakai bibir lo yang manis itu." Azka menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil terkekeh untuk menghilangkan pikiran gilanya. Oh, sepertinya Azka kehilangan akal sehatnya hanya karena kehadiran Dira di sisinya terasa sangat dekat.
Azka memang sempat tak fokus saat melihat bibir pink alami Dira yang membuatnya ingin mencicipinya. Gila, memang. Tapi, pikiran itu terus menghantuinya sampai sekarang dan itu baru pertama kali dia rasakan hanya ketika bersama Dira.
"Menarik. Rasanya gue pengin sedikit bermain-main dengan singa betina itu." Azka menyeringai lebar memikirkan beberapa rencana untuk kedepannya.
"Wait for me, Honey."