Chereads / Queen Of Mafia / Chapter 17 - 16. Siapa Dave?

Chapter 17 - 16. Siapa Dave?

"Cemburu hanya untuk orang yang tidak percaya pada pasangannya. Omong kosong macam apa itu? Rasa cemburu timbul karena merasa terancam akan rasa cinta orang lain yang diberikan pada pasangan kita. Kita khawatir bahwa cinta yang kita berikan pada pasangan kita masihlah kurang sehingga bisa saja membuka peluang untuk orang ketiga. Bukan tidak percaya pada pasangan. Ini lebih seperti kita tidak percaya pada diri sendiri jika tidak bisa membahagiakan pasangan kita sehingga pasangan kita berpaling pada orang lain." (Azka)

*****

Azka berjalan menuju pintu rumah sambil menggendong Dira ala bridal style. Ya, Azka memutuskan untuk membawa Dira ke rumahnya terlebih dahulu dan merawatnya... mungkin? Hatinya bergejolak tak rela jika membawa Dira pulang ke rumahnya. Sebut saja Azka egois karena mementingkan dirinya sendiri, tapi dia ingin egois hanya untuk menuruti keinginan hatinya kali ini.

"Assalamualaikum, Bun." Azka sedikit berteriak di depan pintu rumah yang masih tertutup. Bisa saja dia membukanya, tapi tangannya sangat sulit karena digunakan untuk menggendong Dira.

Pintu rumah terbuka dan menampilkan sosok wanita yang masih terlihat awet muda yang tersenyum menyambut kepulangan Azka. "Wa'alaikumsalam, Azka."

Tatapan wanita itu, Mila, beralih pada sosok yang digendong Azka. "Loh, ini siapa, Az?" Antara terkejut dan juga senang, Mila menatap Azka menuntut penjelasan. Mila terkejut melihat Azka membawa gadis untuk pertama kalinya ke rumah mereka. Dan senang karena dapat dilihat Azka tidak merasa jijik ataupun mual saat menggendong gadis itu, kemungkinan Azka akan sembuh dari penyakitnya.

Selama ini, Azka hanya bisa berdekatan dengan Mila dan Rachel. Itu pun Azka terkadang masih mual saat berada di dekat Mila sehingga Azka menjaga jarak aman pada Mila. Tentu saja Mila merasa sedih melihat Azka yang sudah dia anggap putranya sendiri menjaga jarak darinya. Namun, sebagai orang tua dia juga harus mengerti akan kondisi Azka.

Azka terlihat salah tingkah melihat tatapan menggoda Mila padanya. Rona merah samar-samar bahkan terbit di pipinya. "Itu Bun, ceritanya panjang. Tapi yang pasti, gadis ini tanggung jawab Azka. Azka yang udah membuatnya tidak sadarkan diri sampai sekarang karena banyak mengkonsumsi obat tidur." Tatapan menggoda dari Mila tergantikan dengan rasa khawatir.

"Bawa teman kamu ke atas. Bunda akan telepon dokter supaya ke sini secepatnya." Azka mengangguk patuh dan membawa Dira ke kamarnya yang berada di lantai 1 rumahnya.

Azka membaringkan Dira di kasur kamarnya dan menyelimuti Dira. Azka duduk di tepi ranjang sambil menatap intens Dira yang masih menutup matanya. Tangannya terulur untuk mengelus kelopak mata Dira yang masih setia tertutup. Jantung Azka terasa diremas, dia merasa khawatir akan kondisi Dira.

Perasaan yang tidak biasa mulai menyerang hatinya, memberi Azka rasa sesak yang menyakitkan. Gadis yang energik dan selalu memasang wajah yang angkuh, sekarang terlihat lemah dan tak berdaya. Itu kondisi yang tidak biasa sampai membuat Azka merasa khawatir.

"Kapan mata tajam ini akan terbuka lagi?"

*****

"Dari hasil pemeriksaan, dia mengalami over dosis tingkat ringan. Saya awalnya tidak menyangka bahwa pasien hanya mengalami over dosis ringan setelah mengkonsumsi satu botol sekaligus obat tidur. Tapi, saya salut dengan daya tahan tubuhnya yang kuat. Kemungkinan dia hanya akan mengalami demam tinggi nanti malam. Jangan lupa untuk mengompresnya supaya demamnya bisa mereda." Dokter yang memeriksa Dira menjelaskan dengan panjang lebar. Azka dan Mila mendengarkannya dengan baik.

"Oh, ya, berikan obat ini jika dia sudah sadar. Ini hanya obat untuk meredakan rasa pusingnya ketika dia sudah sadar." Dokter itu memberikan Azka beberapa butir obat.

"Kapan dia akan sadar, Dok?" Azka yang hanya diam menyimak penjelasan Sang dokter pun mulai menanyakan akan kondisi Dira.

"Saya tidak tahu pasti, tapi paling lama 2 sampai 3 hari." Azka menghela napas berat, dia tidak sabar ingin melihat Dira membuka matanya kembali.

"Baik. Terima kasih, Dok." Mila mengantarkan dokter tersebut keluar rumah dan Azka kembali memasuki kamarnya.

Di kasurnya yang biasa dia tiduri terdapat sosok yang terbaring lemah dengan wajahnya yang mulai memucat. Azka duduk di lantai, tangannya menggenggam tangan Dira yang terbebas dari infus.

Mata Azka menatap kosong wajah Dira. Memikirkan bahwa Dira akan terbangun 2 sampai 3 hari ke depan membuat hatinya merasa kosong. Apakah untuk beberapa hari ke depan, Azka tidak bisa mendengar suara Dira? Ugh, jujur saja rasa sesak yang bersarang di dadanya membuat Azka tidak nyaman karena ini perasaan yang belum pernah Azka rasakan.

"Gue enggak mau bohong, tapi gue merasa khawatir melihat lo dalam kondisi seperti ini, Dira. Kalau lo sadar, mungkin lo akan ketawa setelah mendengar perkataan gue barusan. Tapi, lo sekarang enggak lagi sadar, 'kan? Jadi, gue bebas ngeluarin isi hati gue selama ini." Azka menarik napasnya sejenak, tangan yang satunya terkepal kuat menahan rasa sakit yang menyerang ulu hatinya.

"Awal pertemuan kita memang dibilang enggak enak banget. Kita dipertemukan kembali di kelas yang sama. Lo mungkin kesal sama gue yang udah semena-mena mencium lo saat di lapangan waktu itu. Tapi, gue juga enggak nyangka sama apa yang udah gue lakukan sama lo. Gue bahkan enggak merasa jijik sama lo. Penyakit gue seolah-seolah hilang ketika gue berada di dekat lo." Azka menarik napasnya sejenak untuk mengambil oksigen karena dadanya terasa terbakar terlalu banyak berbicara.

"Gue benci sama penyakit yang gue miliki dan gue benci pada diri gue sendiri karena sampai sekarang terjebak dengan penyakit yang menyiksa ini, Dira. Gue enggak mau terus-terusan begini. Cuma lo yang bisa bantu gue sembuh dari penyakit ini. Jadi, mulai sekarang lo milik gue."

Dengan seenaknya, Azka mulai mengklaim Dira sebagai miliknya. Miliknya yang tidak akan dia izinkan untuk disentuh oleh siapapun. Keegoisan dalam dirinya, membuat Azka mengikat Dira untuk terus berada di sisinya.

Yah, itulah cinta. Pasti akan ada rasa egois di dalamnya. Rasa egois yang ingin memiliki orang yang dicintainya hanya untuk diri sendiri. Sehingga memberikan jarak nyata pada orang lain yang ingin mendekati miliknya.

*****

Malam harinya, Azka terbangun ketika merasakan tangan yang digenggamnya terasa menyengat. Mata Azka seketika terbuka lebar, tangannya menyentuh kening Dira. Azka mendesis ketika merasakan suhu yang terlampau sangat panas menyengat tangannya. Tubuh Dira bahkan menggigil, bibirnya pucat pasi dan juga bergetar.

Azka mengambil beberapa selimut yang ada di lemari dan menyelimuti tubuh Dira supaya tidak kedinginan. Azka keluar dari kamar dan kembali dengan membawa sebaskom air dingin untuk mengompres Dira, berharap suhu tubuh Dira kembali normal. Dengan telaten, Azka mencelupkan kain ke dalam baskom tersebut dan memerasnya.

Azka menaruh kain tersebut pada kening Dira, Azka berbalik berniat mengambil beberapa selimut lagi untuk Dira yang masih saja menggigil. Gerakannya terhenti ketika telinganya menangkap gumaman disertai isakan kecil.

"Dave... Hikss..." Tubuh Azka mematung mendengar nama pria yang disebutkan oleh Dira.

"Dave... Jangan tinggalkan aku, hikss..." Tangan Azka terkepal kuat, hatinya terasa panas mendengar gadisnya menyebut nama laki-laki lain. Gadisnya, ya, Azka menganggap Dira sebagai gadisnya, miliknya seorang.

Hati Azka terasa terbakar melihat gadisnya menangis untuk laki-laki lain. Laki-laki yang bahkan tidak Azka ketahui, itu lebih membuat Azka merasa marah. Azka merasa tidak mengenal gadisnya dengan baik. Azka seolah orang lain dalam hidup Dira yang tidak mengetahui apapun.

"A-aku mencintaimu, Dave, hikss... Jangan pergi, hikss..."

Cukup! Darah Azka terasa mendidih mendengar pernyataan tersebut! Tubuh Azka berbalik dan menatap Dira yang berbaring dengan gelisah sambil terisak dan terus saja menggumamkan satu nama yang membuat Azka semakin terbakar.

"Cukup! Jangan sebut nama pria itu lagi!" Azka menggeram marah, giginya bergemelatuk. Tangannya menggenggam tangan Dira dan sedikit meremasnya membuat kerutan tercetak di kening Dira.

Ajaib! Setelah Azka mengucapkan itu Dira berhenti terisak dan tidak menggumamkan nama Dave lagi. Tapi, hal itu belum bisa membuat Azka bernapas lega karena tubuh Dira terus saja menggigil. Azka mengerang frustrasi, dia sudah menyelimuti Dira dengan beberapa selimut tebal, dia bahkan sudah kehabisan selimut tapi belum bisa membuat Dira tidak menggigil lagi.

Hanya ada satu cara yang kemungkinan bisa membuat Dira tidak menggigil lagi. Tapi itu cukup berisiko jikalau nanti Dira terbangun. Tapi, Azka harus mencobanya.

"Oke, enggak ada pilihan lain."

Azka mulai menaiki sisi kasur yang kosong dan mulai masuk ke dalam selimut yang menutupi tubuh Dira. Tangan Azka merengkuh tubuh mungil Dira yang terendam selimut berusaha memberikan kehangatan lewat pelukannya. Dira merespon Azka dengan membalas pelukannya dan berusaha mencari posisi ternyamannya dipelukan Azka.

"Ekhem... Gue melakukan ini dengan niat membuat Dira enggak menggigil lagi. Ya, itu niat gue. Gue enggak ada maksud lain yang aneh-aneh." Azka berdehem sambil meyakinkan dirinya sendiri bahwa dirinya tidak punya maksud lain pada Dira. Oke, ini gawat, karena jantung Azka rasanya akan meledak. Detakan jantungnya sampai terdengar di telinganya.

Azka menutup wajahnya dengan telapak tangan, wajahnya terasa panas. Padahal Azka sudah meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia tidak akan melakukan hal yang aneh pada Dira saat Dira tidak sadar. Ah, Azka merasa seperti orang mesum yang memanfaatkan keadaan orang lain yang tidak berdaya.

Beberapa menit dalam posisi yang membuat jantung Azka menggila, Dira masihlah dalam kondisi yang sama. Azka mengerang putus asa, dia akhirnya membuka kaos yang dia pakai dan memperlihatkan perut kotak-kotaknya. Azka kembali memeluk Dira, sebenarnya Azka sedikit merasa gugup dalam posisi sedekat ini dengan Dira. Dira membalas pelukan Azka dengan erat secara tidak sadar.

Tubuh Azka menegang merasakan gerakan tersebut, tangannya menggenggam tangan Dira. Azka menyelipkan jemarinya di sela-sela jari Dira. Azka mulai menguap dan akhirnya tertidur dengan posisi keduanya saling berpelukan. Mereka tertidur dengan saling memberikan kehangatan masing-masing tanpa tahu apa yang akan terjadi hari esok.