"Terkadang rasa takut lah yang memberikan kita trauma yang tak mudah untuk dilupakan. Namun, banyak orang yang meremehkan trauma yang terukir di benak kita. Mereka mempertanyakan kebenarannya tanpa tahu dampak apa yang akan terjadi pada kita." (Azka)
*****
Langkahnya terlihat sempoyongan, matanya terlihat sangat memerah, kantong mata pun menghitam seperti seekor panda yang menandakan bahwa dirinya tidak tertidur semalaman. Dira, gadis itu terlihat sangat menyeramkan dengan penampilannya yang kusut. Beberapa kali dia menguap sambil mengucek matanya.
Dira berangkat kesiangan karena semalaman dia tidak tidur dan sibuk menghadapi musuh. Mengenai penyerangan semalam, kedua belah pihak sama-sama dirugikan. Bodyguard dari Black Angel banyak yang terluka begitu pun Black Dragon dan Black Eagle yang bahkan memakan korban jiwa.
Saat di koridor menuju kelas, banyak pasang mata yang menatap Dira heran sekaligus ketakutan ketika Dira menatap mereka. Kaki Dira mulai melangkah memasuki kelasnya yang sudah ramai.
"Pagi...," sapa Dira dengan suara lemah sambil menatap semua teman-temannya.
Seketika kelas menjadi hening melihat kondisi Dira yang tidak bisa dibilang baik. Dira tidak memedulikan reaksi teman-temannya yang terkejut melihatnya. Dira melangkah mendekati meja Azka.
"Obat." Tangan Dira terulur untuk meminta obat yang dia minta kemarin pada Azka.
"Hah?" Diantara keterkejutan Azka dengan penampilan Dira membuatnya tidak bisa mencerna dengan baik kata-kata Dira.
"Ck, obat tidurnya mana?" Dira menguap lebar, tangan kirinya digunakan untuk menutup mulutnya.
Azka segera merogoh sakunya untuk mengambil botol kecil yang berisi obat tidur. Saat Azka ingin membuka tutup botol tersebut, Dira sudah merebutnya terlebih dahulu.
"Air mineral." Azka menurut dan memberikan botol air mineral yang kebetulan dia beli.
Dira melenggang pergi menuju tempat duduknya tanpa mengucapkan terima kasih pada Azka. Keempat sahabat Azka menatap heran interaksi yang terjadi antara Azka dan Dira beberapa saat yang lalu.
"Az, mau diapakan itu obat?" Widi menatap Azka yang hanya mengendikkan bahunya.
Dira duduk di kursinya, dia membuka tutup botol obat tidur dengan kasar. Dira mengeluarkan semua pil yang ada di botol tersebut sampai habis. Fara yang melihat kegiatan yang dilakukan oleh Dira pun mulai bertanya.
"Obat sebanyak itu buat apa, Dir?" Fara sedikit khawatir jikalau nanti Dira akan meminum semua pil yang ada di tangannya.
"Buat gue lah!" Dira menjawab dengan nada ketus yang membuat Fara tersentak.
"Tapi, Dir, nanti lo bisa--"
"Berisik! Bisa diam enggak, sih! Gue capek dan pengin tidur. Lo enggak usah ganggu!" Dira membentak Fara yang membuat Fara menunduk dengan perasaan rumit. "Dan jangan lo bawa gue ke mana-mana saat gue lagi tidur!"
Dira memasukkan semua pil tersebut ke mulutnya lalu meminum air yang diberikan Azka. Semua teman-temannya yang menyaksikan kegitan tersebut memekik tertahan melihat kenekatan Dira.
Kegelapan sedikit demi sedikit menghampiri Dira yang membuatnya menutup mata dengan perasaan lega. Akhirnya Dira bisa tertidur setelah semalaman bertarung dengan musuhnya. Kepala Dira terjatuh di meja setelah matanya tertutup sempurna.
"Dira!" Fara mengguncang bahu Dira cukup keras. Akan tetapi Dira tidak merespon atau bergerak sedikit pun.
Fara menggigit bibir bawahnya dengan perasaan cemas. Apa yang harus Fara lakukan sekarang? Dira bahkan tak mau dibawa ke mana-mana saat tidak sadarkan diri. Artinya, Dira menolak untuk ke rumah sakit.
Fara khawatir melihat kondisi Dira yang terlihat lemah. Keringat dingin perlahan memenuhi pelipis Dira. Napasnya yang sedikit memburu dalam kondisi yang tidak sadar total setelah mengonsumsi obat tidur dengan dosis berlebihan membuat kekhawatiran Fara semakin meningkat. Fara mengalihkan pandangannya pada Azka. Dia segera bangkit dan menghampiri Azka dengan amarah serta kekhawatirannya.
"Azka! Maksud lo apa? Kenapa lo kasih Dira obat tidur!" Semua teman-teman Fara menatapnya tak percaya. Mereka terkejut karena untuk pertama kalinya melihat amarah Fara yang disebabkan oleh kekhawatiran akan kondisi Dira.
Fara Adinata, gadis yang dikenal pintar dan pendiam sekarang sedang berteriak di depan Azka yang bahkan belum pernah berinteraksi satu kali pun. Fara khawatir pada Dira, dia sampai melupakan image yang dia bangun sebagai gadis pintar yang pendiam dan mendekati cupu. Gadis yang pendiam, bukan, itu bukan style Fara. Karakter Fara yang sesungguhnya itu gadis yang pemberontak.
"Dia yang minta kemarin. Kalau dia enggak minta, mana mau gue bawa obat kayak gitu." Azka berusaha memaklumi amarah Fara. Tak dapat dipungkiri bahwa Azka juga mengkhawatirkan kondisi Dira. Azka tak bisa mengelak akan rasa khawatir yang tiba-tiba menyerang lubuk hatinya.
"Lo harus tanggung jawab kalau sampai terjadi apa-apa sama Dira!" Fara kembali ke tempat duduknya. Sedangkan Azka menghela napas pasrah.
"Az."
"Hm." Azka menoleh ke arah Rafka yang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Sekarang lo resmi jadi budak Dira?"
Azka mendengus sambil menjawab, "Ya, begitulah."
"Tapi itu enggak mungkin, Az."
"Enggak mungkin gimana maksud lo?" Entah kenapa ada sedikit rasa tak suka memenuhi benak Azka ketika Rafka mengatakan hal tersebut. Seakan Rafka tidak memperbolehkan Azka dengan Dira selalu bersama.
"Lo enggak ingat sama fobia lo?" Azka terdiam karena kehabisan kata-kata akibat perkataan Rafka. Azka pun sampai lupa akan fobia yang selalu menyiksanya.
Fobia? Sebentar, sepertinya ada hal yang Azka lupakan. Mata Azka terbelalak ketika mengingat bahwa kemarin dia berinisiatif untuk mengobati tangan Dira yang berdarah karena pecahan kaca yang menancap di telapak tangannya. Keduanya melakukan kontak fisik, namun fobia Azka tak bereaksi saat itu. Bahkan Azka mengizinkan Dira menaiki motor bersamanya dan membuat Dira berada di dekatnya sekali lagi.
Harusnya sedikit kontak fisik dengan perempuan bisa membuat fobianya bereaksi. Ha, lelucon macam apa ini?! Sudut bibir Azka perlahan naik dengan ekspresi kaku. Disaat Azka berusaha untuk menjaga jarak dengan perempuan agar fobianya tidak bereaksi, sebaliknya Dira mematahkan semua larangan Azka dengan mudah. Ini... bukan sesuatu yang bisa diterima dengan mudah oleh Azka.
"Gue merasa aneh sama lo, Az." Azka menoleh ke arah Andre yang ikut menimpali perkataan Rafka.
"Lo fobia cewek, tapi kenapa pas Dira tantang lo main basket lo fine-fine aja. Saat Dira datang untuk pertama kalinya dan membuat kehebohan di sekolah karena melempar bola ke muka lo, lo malah nyium dia. Biasanya lo selalu jijik sama yang namanya cewek. Tapi, kenapa sama Dira lo jadi aneh banget." Andre mengungkapkan semua yang menyerang pikirannya selama ini dengan keanehan Azka. Penyakit Azka saja sudah tergolong aneh, dan keanehan apalagi yang akan dibuat oleh sahabatnya yang satu ini?
"Jangan-jangan itu cuma sugesti lo doang gara-gara masa kecil lo." Widi ikut berpendapat. Matanya menatap Azka dengan perasaan sulit. Ah, mendadak Widi teringat dengan masa kecilnya membuat atmosfer di sekitarnya bertambah suram.
"Ya, bisa jadi." Rafka menganggukkan kepalanya karena setuju dengan pendapat Widi. Rafka mengamati Widi untuk sejenak, namun Widi menyadarinya sehingga Widi balas menatap Rafka dengan tatapan dingin. Hanya sekian detik saja tatapan Widi langsung berubah menjadi ramah.
Kening Rafka mengerut ketika mendengar suara bising saat di dekat Widi. Hal seperti ini sering terjadi. Widi memang masih bisa dibaca pikirannya oleh Rafka walau hanya sedikit karena Rafka lebih banyak mendengar suara teriakan di pikiran Widi. Entah apa yang selalu berputar di pikiran Widi sehingga yang terdengar hanya teriakan-teriakan amarah dan tangisan yang memilukan serta tawa yang sungguh menyesakkan dada.
Di sisi lain, Azka terdiam membisu ketika para sahabatnya semakin menyudutkannya. Azka mengalami fobia perempuan akibat masa kecilnya ketika dirinya masih berada di panti asuhan dan belum diadopsi oleh keluarga yang sekarang. Azka setiap harinya selalu disiksa secara fisik oleh pengurus panti yang membuatnya menjadi anak pendiam dan dingin kepada anak-anak panti yang lain.
Dan dengan tiba-tiba Mila yang waktu itu belum mempunyai anak, ingin mengadopsi Azka karena jatuh cinta dengan anak pendiam seperti Azka ketika pertama kalinya Mila dan Veri tiba di panti asuhan tersebut. Azka kecil selalu takut akan hal yang berhubungan dengan perempuan. Saat pertama kali diadopsi pun dia takut pada Mila jikalau nanti dia akan dipukuli seperti saat di panti.
Tapi, Azka kecil sedikit demi sedikit mulai mengerti bahwa keluarga barunya yang sekarang tulus menyayanginya dan tidak menyiksanya sedikit pun. Azka menjadi pribadi yang tertutup pada orang lain terutama kepada seorang perempuan. Sampai sekarang pun dia hanya memiliki empat sahabat saja yang selalu dia percaya.
"Gimana, Az, menurut lo?" Azka tersentak ketika pundaknya ditepuk oleh Widi yang menatapnya dengan tatapan menyelidik.
"Gue... enggak tahu." Pada akhirnya Azka tidak bisa menjawab semua itu. Semua tanda tanya yang berada di benaknya tak bisa dijawab oleh dirinya sendiri.
*****
Bel pulang berbunyi, tapi tidak membuat Dira membuka matanya. Fara masih setia membangunkannya dari istirahat pertama sampai sekarang. Azka yang melihat itu segera menghampiri Fara.
"Lo pulang aja, biar gue yang urus Dira." Fara mengangguk dengan ragu lalu keluar dari kelas menyisakan Azka dengan Dira. Sahabat-sahabat Azka sudah dia minta untuk pulang.
Azka duduk di samping Dira. Azka mengamati wajah Dira yang tertutup oleh beberapa helai rambut. Tangan Azka terasa gatal ingin menyingkirkan rambut yang menutupi wajah cantik Dira. Bulu mata lentik, alis tebal, dan bibir pink alami membuat Azka terpesona melihatnya. Dia bahkan tidak merasa jijik ataupun mual ketika melihat wajah Dira.
"Gue baru tahu kalau lo bisa secantik ini, Dira. Gue bahkan enggak merasakan apa yang biasa gue rasakan pada cewek-cewek saat mereka mendekati gue." Azka membelai pipi mulus Dira, saat kulitnya bersentuhan dengan Dira, sengatan listrik tiba-tiba menjalari tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang dengan telinga yang perlahan memerah karena rasa malu yang Azka rasakan.
"Sugesti?"
Azka kembali teringat dengan ucapan sahabatnya bahwa penyakitnya hanya karena sugesti. Azka tidak tahu apakah itu benar atau tidak. Karena selama ini yang Azka tahu, dia begitu tersiksa dengan penyakit fobianya.
"Gue akui, lo itu cewek yang spesial."