"Jangan mudah percaya pada orang lain karena saat kau menaruh kepercayaan maka kau juga harus siap jika dihadapkan dengan pengkhianatan. Menaruh kepercayaan pada orang lain tidaklah salah. Hanya saja jangan menaruh kepercayaan pada seseorang yang bahkan tidak mempercayaimu sepenuhnya. Bagaimana dia percaya pada ucapanmu jika dia saja tidak mempercayaimu?" (Aditya)
*****
Puas? Tentu saja Dira merasa puas telah membuat Azka merasa kesal dengan status barunya sebagai budak. Ingin sekali Dira menertawakan Azka. Akan tetapi, Dira sedang malas untuk melakukan semua itu untuk saat ini.
"Hm, itu lo tahu." Dira bangkit berdiri. "Ayo, antar gue pulang, Azka!"
Azka mendengus kesal merasa dirinya diperintah seenaknya oleh Dira. "Ck, menyebalkan sekali!"
"Gue bawa motor, bukan mobil." Azka ikut bangkit dan berniat untuk melangkah menuju motornya yang diparkir tak jauh dari taman.
Langkah Azka terhenti ketika merasakan bahwa Dira yang berada di belakang tidak mengikuti langkahnya. Azkapun berbalik dan menatap tajam Dira yang malah menatapnya angkuh dengan tangan yang terlipat di depan dada.
"Cepetan! Katanya mau gue anterin pulang." Azka menggertakkan giginya karena terlanjur kesal dengan kelakuan Dira. Apalagi yang ingin dilakukan oleh pembuat onar seperti Dira.
"Oke, tapi gue yang bawa motornya."
Azka membulatkan matanya, dia menatap horor Dira seolah yang dikatakan oleh Dira barusan sangatlah menyeramkan.
"Enggak! Enggak boleh! Gue udah berbaik hati memberi lo tumpangan. Tapi, gue enggak mau berbaik hati lagi untuk permintaan lo tadi. Sorry, gue masih pengin hidup." Dira mendengus kesal mendengar ucapan Azka yang meremehkannya mengenai keahlian mengendarai sepeda motor.
"Ck, lo meremehkan gue?" Dira mendelik kesal pada Azka. Apa-apaan pria di depannya ini? Kenapa menatap Dira dengan pandangan tak percaya seolah perkataan yang Dira katakan menyeramkan.
"Gue enggak meremehkan lo. Tapi, gue enggak yakin dengan badan sekecil lo bisa bawa motor besar punya gue." Azka menatap Dira dari ujung rambut sampai ujung kaki sambil menggeleng tak yakin.
"Ish, itu sama aja, Azka." Dira mengentak-entakkan kakinya kesal. Menyebalkan. Hanya karena badan Dira kecil, Dira tidak dianggap mampu mengendarai sepeda motor milik Azka?
"Please, jangan keras kepala kayak gini, Dira. Gue anterin lo pulang asal gue yang nyetir atau enggak sama sekali." Azka berucap dengan tegas yang membuat Dira seolah tidak boleh membantah ucapannya.
Mungkin Dira akan terus berdebat dengan Azka jika di hari-hari biasa. Namun, untuk sekarang Dira sudah terlalu lelah secara fisik dan perasaannya yang sedang kacau. Dira sangat ingin pulang untuk menenangkan pikirannya dan menguatkan hatinya supaya kejadian yang menimpanya tidak akan terulang lagi untuk ke depannya. Yah, setidaknya di rumah banyak barang-barang yang bisa dijadikan pelampiasan oleh Dira.
"Ya udah!" Dira berjalan menghampiri motor Azka yang kemudian disusul oleh Azka.
Azka duduk di atas motor lalu memberikan helm untuk Dira sedangkan dirinya tidak menggunakan helm karena Azka hanya membawa satu.
"Lo enggak pakai helm?" Dira menatap Azka heran.
"Enggak usah, buat lo aja." Azka menatap datar Dira seolah tak masalah jika tidak menggunakan helm.
"Oh, thanks." Dira memakai helm tersebut lalu bersiap untuk menaiki motor besar Azka.
"Eh, tunggu." Dira menatap Azka dengan bingung.
Tiba-tiba wajah Azka mendekat ke arah Dira. Wajah keduanya hanya berjarak beberapa centimeter saja yang membuat Dira bisa melihat dengan jelas manik mata Azka. Dia seperti terhipnotis dengan mata tajam milik Azka yang membuat jantungnya berdetak dengan tak normal. Aroma mint pun tercium dari nafas yang dikeluarkan oleh Azka.
Tak lama kemudian terdengar suara 'Klik' yang ternyata Azka sedang mengaitkan helm yang dipakai Dira. Azka berdehem sejenak yang membuat Dira tersadar dari keterpesonaannya lalu mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Katanya pengin bawa motor, tapi pakai helm aja belum benar." Azka tersenyum sinis lalu menjauhkan wajahnya dari Dira.
Dira tidak menanggapi sindiran Azka, dia sibuk mengatur napasnya yang terasa memburu. Tangannya terangkat untuk menyentuh dadanya yang berdebar.
"Ini enggak mungkin."
Dira menggelengkan kepalanya beberapa kali, dia tidak mungkin merasakan perasaan lebih untuk Azka seperti pada Dave. Ya, itu tidak mungkin dan tidak boleh sampai terjadi.
"Tapi, perasaan macam apa ini?"
Di antara kebingungan yang Dira alami, Azka menatap telapak tangannya dengan tatapan kosong. Mengapa Azka begitu peduli dengan hal-hal kecil yang terjadi pada Dira? Azka mengerutkan keningnya tak suka. Semenjak ada Dira, Azka selalu keluar dari kebiasaannya. Itu tidak seperti biasanya, dan hal tersebut membuat Azka merasa gelisah.
*****
Dira memasuki rumah dengan wajah lesu yang terpasang di wajahnya membuat para maid serta bodyguard terheran-heran melihatnya. Tidak seperti biasanya ketika pulang sekolah Dira terlihat lesu dan tidak bersemangat seperti sekarang. Tapi, mereka tidak ada yang berani untuk menanyakan tentang hal tersebut.
"Woy! Tuh muka kok lecek banget kayak belum disetrika aja." Dira menoleh dengan perasaan kesal yang semakin meningkat. Mata tajamnya menatap malas orang yang baru saja mengolok-oloknya. Siapa lagi kalau bukan kakak tersayang, Dito Angelou.
"Ish, lo kira muka gue pakaian apa?! Pakai disetrika segala, bisa gosong nanti!" Dito tertawa terbahak-bahak menanggapinya.
"Ya, habis tuh muka enggak beda jauh sama pakaian haha..." Dito tertawa meledek membuat Dira memutar bola matanya.
"Ketawa terus! Lihat aja nanti malam lo enggak bakal bisa ketawa! Yang ada lo bakal ngamuk-ngamuk sampai membunuh orang." Dira meninggalkan Dito untuk menuju ke kamarnya.
Dito mengerutkan keningnya heran dengan ucapan Dira. "Membunuh?"
Dito terdiam cukup lama untuk mencerna kata-kata Dira yang memiliki arti tersembunyi. Seolah mendapatkan pencerahan, Dito baru mengerti arti ucapan Dira.
"Apa akan ada penyerangan? Tapi, dari kelompok mana? Apakah Black Dragon? Ck, mereka memang enggak pernah kapok." Dito bergumam kesal lalu dia berjalan terburu-buru menuju ruangan ayahnya.
Dito membuka pintu tanpa permisi yang membuat sosok laki-laki paruh baya yang masih terlihat awet muda dengan tubuhnya yang kekar menatapnya dengan tajam. Tangan besar yang dipenuhi bekas luka sayatan panjang serta di ujung mata kirinya yang terdapat satu sayatan menambah kesan menyeramkan pada sosok tersebut.
"Dito...," desis sosok itu dengan nada yang memperingati.
Dito menunduk tak berani bertatapan langsung dengan mata tajam ayahnya, Aditya Angelo. Mata tajam Aditya menurun pada Dira yang kerap kali membuat para bodyguard lebih takut kepada adiknya daripada dengan dirinya. Padahal Dito lah yang akan menjadi penerus Aditya untuk memimpin Black Angel.
"Maaf, Pa. Tapi, Dito harus membicarakan hal yang penting." Dito memberanikan diri menatap langsung mata Sang ayah.
"Bicaralah." Aditya masih sibuk dengan kertas-kertas yang menumpuk di meja kerjanya. Banyak sekali laporan-laporan yang harus diperiksa oleh Aditya mengenai perusahaan jasa yang didirikan olehnya dan pekerjaan Black Angel yang sebenarnya di balik mata publik.
"Jadi begini, akan ada---"
"Penyerangan." Dira memasuki ruangan Aditya secara tiba-tiba lalu memotong ucapan Dito.
"Dari kelompok mana?" Aditya bersikap santai seolah tidak terganggu dengan penyerangan yang akan terjadi.
"Black Dragon." Dira tidak memberi kesempatan pada Dito untuk menjawab pertanyaan Aditya yang membuat Dito menatapnya kesal. Oke, ini membuat Dito kesal karena Dira selalu melakukan balas dendam dengan mulutnya yang selalu bisa membuat orang lain bungkam.
Lagi-lagi Aditya hanya memasang wajah santainya. Tangannya masih sibuk menandatangani dokumen-dokumen penting milik perusahaannya.
"Dan..." Dira kembali membuka suara yang membuat kedua orang pria tersebut mengerutkan keningnya. "Black Eagle."
Brakk!
"Tidak mungkin!" Aditya menggebrak meja kerjanya dengan amarah yang tiba-tiba menyelimutinya. Keningnya mengerut dalam dengan mata yang menatap Dira dengan tatapan mengintimidasi. "Jangan mengatakan omong kosong mengenai hal ini, Dira!"
"Tidak ada yang tidak mungkin, Pa. Aku bicara mengenai fakta yang ada." Dira menatap Aditya dengan wajah tanpa ekspresi. Beginilah watak ayahnya yang sebenarnya. Aditya tak bisa mempercayai siapapun bahkan pada anak-anaknya sendiri. Yah, mungkin karena dia sudah memimpin Black Angel dan berada pada dunia gelap dalam waktu yang lama sehingga menyaksikan banyaknya pengkhianatan dari pihaknya sendiri maupun pihak lain.
"Jadi, maksud kamu mereka mengkhianati kita, benar? Argh! Kurang ajar!" Aditya memporak-porandakan barang-barang yang ada di meja kerjanya. Wajahnya tampak gelisah, dia tidak memprediksikan akan pengkhianatan Black Eagle karena berpikir bahwa perjodohan Dira dengan Dave akan menghindari penyerangan antar kelompok.
Jika yang menyerang hanya kelompok Black Dragon itu tidak masalah karena kelompoknya lebih kuat dari Black Dragon. Tapi, yang menjadi masalahnya itu kenapa Black Eagle harus ikut. Aditya sangat gelisah memikirkan semua itu, kelompoknya dengan Black Eagle itu memiliki kekuatan yang sama, tak terkalahkan.
"Kurang ajar! Berani sekali mereka mengkhianati kelompokku!"
Aditya menggeram marah dengan urat-urat yang menonjol pada lehernya. "Dasar manusia-manusia rendahan!"
*****
Penyerangan akhirnya terjadi sesuai prediksi Dira. Mau tidak mau, siap tidak siap, Black Angel harus tetap melawan musuh, tak peduli dari kelompok mana mereka berasal. Kali ini Aditya ikut dalam penyerangan tidak seperti biasanya yang hanya diwakilkan oleh Dito dan para bodyguardnya. Dira pun ikut membantu ayah dan kakaknya walaupun mereka sempat melarang.
Mafia, terdengar keren saat diucapkan namun memiliki makna yang gelap di baliknya. Jika sudah memasuki dunia mafia maka tidak ada jalan keluar untuk bisa kembali pada keadaan semula. Yang bisa dilakukan hanya bertahan supaya tetap hidup. Harus menjadi kuat agar tidak terbunuh dan jangan menjadi lemah karena akan dibunuh.
Dunia yang masih menjadi teka-teki bagi banyak orang. Mereka memiliki citra yang baik di depan publik. Namun, pekerjaan sebenarnya yang mereka lakukan bukan hanya sekadar yang diketahui oleh publik. Mereka bersedia melakukan pekerjaan kotor bukan hanya dengan bayaran uang saja. Mereka pun bisa meminta bayaran nyawa orang lain atau klien itu sendiri. Nyawa bisa melayang dalam waktu singkat. Dunia yang sangat mengerikan, namun masih banyak orang yang tergiur dan ingin bergabung di dalamnya.
"Gue bilang juga apa, gue akan mengalahkan Black Angel." Eric menatap puas Dira yang jatuh terduduk akibat satu pukulan yang berhasil dia layangkan. Berbeda jauh dengan wajah Eric yang sudah babak belur mendapatkan banyak pukulan dari Dira.
"Bangsat! Enggak usah banyak bacot lo!" Dira meludah lalu mengusap sudut bibirnya yang berdarah. Dia bangkit lalu berniat untuk melayangkan pukulan kembali pada Eric, tapi tangannya di tahan oleh Eric.
"Tak semudah itu, Sayang." Eric tersenyum meremehkan yang membuat Dira menggeram marah ketika mendengar Eric memanggilnya sayang.
"Jangan manggil gue dengan sebutan sayang! Itu menjijikkan!"
Tak lama kemudian terdengar erangan kesakitan dari Eric ketika miliknya ditendang oleh Dira sekuat tenaga. Dira tertawa mengejek melihat Eric yang berguling-guling di tanah dengan tangan yang memegang miliknya yang ditendang oleh Dira.
"Lo mau mengalahkan Black Angel? Oh, tidak semudah itu, Ferguso! Langkahin dulu mayat gue." Dira mengeluarkan sesuatu yang terselip di pinggangnya. Sebuah pisau kecil yang luput dari penglihatan. Seringai terbit di mata Dira saat bersiap untuk mencabik-cabik Eric.
Perusahaan Jasa Bodyguard. Yah, mungkin pekerjaan yang cocok untuk Black Angel. Namun, bukan hanya itu pekerjaan mereka. Publik tidak tahu pekerjaan sebenarnya yang dilakukan oleh Black Angel.
"Motto Black Angel, ada uang, nyawa orang lain melayang. Tak ada uang, nyawamu yang dijadikan taruhan." Dira mengayunkan pisaunya dan memberikan sayatan-sayatan panjang di sekujur tubuh Eric yang berteriak kesakitan.
"Karena nyawa dibayar dengan nyawa. Rasa sakit yang kamu berikan pada orang lain. Pada akhirnya kamu juga akan merasakannya."
Black Angel adalah kelompok atau organisasi yang menyediakan jasa bodyguard, ah, bukan, melainkan jasa sebagai pembunuh bayaran. Bukan hanya uang sebagai imbalannya, namun nyawa klien atau orang lain yang dijadikan bayarannya. Sungguh kelompok busuk yang benar-benar merugikan orang lain.