"Lelaki yang tidak tahu diri adalah lelaki yang menerima cinta dari kekasihnya namun tidak berniat untuk membalas cintanya. Seharusnya, dari awal tak perlu menerima cintanya karena itu hanya akan memberikan luka untuk ke depannya." (Dira)
*****
Kringg...
Lonceng berbunyi ketika pintu sebuah kafe yang didatangi oleh Dira terbuka. Dira duduk di salah satu kursi yang masih kosong yang terletak diposisi yang strategis. Raut lelah tidak bisa disembunyikan dari wajah cantiknya.
"Buset... Capek juga." Dira menghela napas lelah sambil mengusap bulir-bulir keringat yang ada di dahinya.
Setelah insiden kekalahan Azka yang berujung menjadi budaknya, Dira bergegas keluar menuju kafe sambil menunggu jemputannya. Dia berniat menghilangkan rasa lelahnya sejenak. Tangannya terangkat dan melambai pada salah satu pramusaji untuk memesan minuman.
Sambil menunggu pesanannya datang, Dira menopang sisi wajahnya dengan satu tangan. Pikirannya melayang memikirkan hal apa yang akan dia lakukan pada budak barunya, alias Azka. Senyum miring terbit ketika membayangkan bahwa dirinya akan memberikan Azka berbagai tugas yang akan merepotkan Azka.
Tugas pertama yang Dira berikan pada Azka cukup untuk menghibur dirinya sendiri dan menjatuhkan harga diri Azka. Benar-benar menyenangkan melihat para cowok kehilangan harga diri mereka di hadapan seorang cewek.
Sungguh lucu melihat pandangan dunia tentang kaum perempuan yang masihlah dianggap rendah. Kata-kata bahwa laki-laki lebih kuat dan perempuan lebih lemah terdengar seperti angin lalu bagi Dira.
Padahal kaum perempuan juga kuat walau bukan dilihat dari fisik karena kebanyakan memiliki tubuh yang lemah. Mereka selalu penuh perjuangan walau mudah putus asa juga. Akan tetapi, selagi masih ada semangat, mereka akan bangkit kembali dan meneguhkan pikiran mereka pada hal yang akan mereka tuju.
Mengukur tingkat kekuatan seseorang bukan hanya dari fisiknya saja. Namun, mental juga harus kuat. Karena banyak orang gila yang tidak mati walau sudah terluka parah berkali-kali. Itu membuktikan bahwa fisik yang kuat belum tentu mental juga kuat.
"Dia memang cowok aneh." Dira bergumam sendiri menilai sosok Azka yang terus mempertahankan wajah datarnya. Dira tahu bahwa Azka merasa malu saat Dira menyuruhnya menggonggong layaknya anjing di depan umum.
Membayangkan raut wajah Azka yang selalu dingin jika berhadapan dengannya maupun saat dipermalukan olehnya, membuat setitik hati Dira merasakan perasaan aneh. Tetapi, Dira berusaha untuk tidak memperdulikan semua itu.
Lamunan Dira buyar saat pesanannya sudah datang. Dia meminum jus alpukat yang dia pesan dalam beberapa tegukan. Jujur saja dia merasa sangat kehausan sedari tadi. Gerakan tangannya yang ingin menaruh gelas di meja terhenti ketika matanya menangkap sosok yang dia kenal baru saja memasuki kafe dengan gadis lain.
"Dave? Sedang apa dia bersama cewek itu?" Batin Dira mendadak gelisah memikirkan hal yang tidak-tidak.
Alis Dira meruncing, dia memasang telinga untuk mendengarkan pembicaraan Dave dengan gadis itu yang hanya berjarak satu meja darinya. Posisi Dave duduk membelakanginya yang membuatnya tidak menyadari akan kehadiran Dira.
"Dave, gimana perkembangannya?" Tangan gadis itu menggenggam tangan Dave yang ada di atas meja yang membuat Dira tanpa sadar mencengkram gelas yang masih di pegangnya.
"Sangat baik, Sayang. Dia bahkan tidak tahu mengenai rencana kita." Dapat Dira lihat Dave membalas genggaman tangan gadis itu.
"Sayang? Rencana?" Dira benar-benar tidak mengerti rencana yang dimaksud oleh Dave.
"Baguslah kalau begitu. Tapi, bagaimana cara kita untuk mengawasinya?"
"Urusan itu sudah aku serahkan kepada Eric." Gadis itu tersenyum sumringah mendengar jawaban Dave.
"Jadi, hubungan kita tidak akan dirahasiakan lagi, 'kan?" Gadis tersebut menatap Dave dengan tatapan penuh harap.
"Eric? Bukankah Black Eagle bermusuhan dengan Black Dragon? Dan hubungan apa yang dimaksud cewek itu?" Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepala Dira yang membuatnya berdecak kesal.
"Tentu saja, Sayang. Hubungan kita tidak akan dirahasiakan lagi setelah Black Eagle dan Black Dragon berhasil menaklukkan Black Angel. Dan ya, tentu saja kelompokku hanya mengirimkan beberapa bodyguard kami untuk membantu Black Dragon."
"Jadi, itu rencana yang dimaksud? Mencoba mengalahkan Black Angel? Dalam mimpi sekalipun tidak akan gue biarkan! Menjijikkan sekali mereka!" Tangan Dira semakin mencengkeram kuat gelas yang dipegangnya. Matanya memerah dan giginya bergemelatuk. Dia merasa telah dibohongi oleh seseorang yang sudah dia berikan cinta.
Cinta? Cih! Sepertinya rasa itu sudah menghilang setelah mendengar rencana busuk mereka. Tergantikan dengan rasa benci dan marah. Pria seperti Dave memang tidak tahu diri setelah diberikan cinta olehnya. Dan dia benci menerima kenyataan pahit tersebut.
Krekk...
Gelas yang dicengkeram Dira sedari tadi mulai retak. Beberapa detik kemudian terdengar suara pecahan gelas yang mengundang tatapan seluruh pengunjung kafe termasuk Dave dan gadisnya yang saat ini membulatkan mata tidak percaya.
Dira bangkit tanpa memperdulikan tangannya yang sudah terbalut dengan darah dan terdapat pecahan yang menusuk telapak tangannya. Dia menghampiri Dave dan gadis itu setelah meletakkan beberapa lembar uang untuk membayar minumannya dan gelas yang dia pecahkan.
"Cowok kayak lo memang enggak tahu diri!" Telunjuk Dira mengacung tepat di depan wajah Dave yang sudah pucat pasi. Dave tidak memperhitungkan akan hal yang akan terjadi saat ini.
"D-Dira..."
"Jangan lo sebut nama gue dengan mulut kotor lo itu! Gue enggak sudi! Cih, menjijikkan sekali kalian berdua." Dira menatap menusuk keduanya lalu berbalik memunggungi mereka dengan matanya yang memerah dan berkaca-kaca.
Disamping kelebihan yang kaum perempuan miliki, mereka juga memiliki kelemahan. Kelemahan kaum perempuan hanya satu. Pikiran mereka memang kuat, namun hati mereka sangat rapuh. Seperti halnya kaca yang mudah pecah jika kau tidak menjaganya dengan hati-hati. Kaca yang pecah memang tak bisa disatukan kembali. Kalaupun bisa, mereka akan meninggalkan bekas yang tak mudah untuk dihilangkan.
Sangat naif jika banyak yang berpikir bahwa perempuan dianggap lemah karena hati mereka yang rapuh. Pernahkah kau berpikir bahwa pecahan kaca yang kau anggap remeh bisa membuatmu terluka saat kau menyentuhnya? Ya, itulah perempuan. Ketika mereka berusaha menyembuhkan luka di hati yang sudah terlanjur hancur. Mereka melindungi diri mereka sendiri dengan kepingan kaca yang secara bersamaan berusaha mereka susun kembali.
Sekeras apapun mereka menutupi luka mereka dan berusaha untuk tidak menyakiti orang-orang di sekitar, maka hal yang terjadi adalah sebaliknya. Amarah, kesedihan, dan kekecewaan yang tak bisa mereka pendam sendiri akhirnya meledak sampai dilampiaskan pada orang-orang di sekitar. Mereka sakit, dan orang-orang di sekitar juga ikut merasakan sakit. Itulah kelemahan yang tak bisa disangkal oleh siapapun.
"Gue kira akan hidup bahagia dengan orang yang sudah gue berikan cinta. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Bahkan gue jijik sama diri gue sendiri yang dengan mudah memberikan cinta pada seseorang yang enggak tahu diri kayak lo, Dave." Dira berlari keluar dari kafe tanpa memperdulikan teriakan Dave yang terus memanggil namanya. Dira terus berlari tak tentu arah sampai akhirnya dia sampai di taman kota. Dia duduk di salah satu bangku taman yang masih kosong.
Dia menatap lurus ke depan dengan tatapan yang tidak bisa terbaca. Tetapi, satu hal yang pasti ada setitik rasa kecewa yang menyerang ulu hatinya. Dira ingin berteriak, memaki, dan menangis sejadi-jadinya, tapi dia tidak selemah itu. Tangannya yang terbalut darah terkepal kuat, dia bahkan tidak merasakan sakit di telapak tangannya karena sibuk menata hatinya.
"Berengsek!" desis Dira lalu tangannya memukul bangku taman yang dia duduki untuk melampiaskan amarahnya. Pukulannya itu meninggalkan jejak darah di bangku taman.
"Lo kenapa?" Dira menolehkan kepalanya ke samping dan mendapati seseorang duduk di sampingnya yang sedikit memberi jarak padanya.
Pertanyaan itu dianggap angin lalu oleh Dira yang membuat orang itu berdecak kesal. "Gue tanya ke--- tangan lo berdarah!" Mata orang itu membulat sempurna melihat kondisi tangan Dira yang sudah terlapisi darah yang hampir mengering.
"Enggak usah lebay!" Dira tersenyum sinis pada orang itu.
"Lo itu cewek keras kepala tahu enggak?! Tangan lo harus diobati, Dira!"
"Bukan urusan lo!" Orang itu mendengus kasar lalu mencoba untuk tidak memperdulikan kondisi tangan Dira. Tapi, Dira tahu bahwa sedari tadi orang itu, Azka mencuri-curi pandang tangannya.
"Ughh... Sini tangan lo biar gue obatin!" Karena gemas Azka mengambil tangan Dira dengan hati-hati.
"Ck, enggak usah, Azka!"
"Bisa diam enggak, sih? Untuk kali ini aja, Dira." Ada nada memohon ketika Azka mengatakan itu yang membuat Dira entah kenapa tidak bisa menolaknya.
"Huft, oke." Dira akhirnya pasrah ketika Azka membersihkan darah yang membalut telapak tangannya dengan sapu tangan. Azka pelan-pelan mencabut beberapa pecahan yang menusuk telapak tangan Dira sambil memperhatikan ekspresi Dira yang hanya mengerutkan keningnya tanpa mengerang kesakitan.
Setelah itu Azka membungkus telapak tangan Dira dengan perban yang ada di kotak P3K yang selalu dia bawa di dalam tasnya.
"Gue heran kenapa lo enggak kesakitan saat gue cabut pecahan yang nusuk tangan lo."
Dira menatap Azka dengan malas. "Itu cuma luka kecil. Gue udah berkali-kali merasakan luka yang lebih dari itu."
Hening melanda keduanya, sebelum akhirnya Dira kembali bersuara. "Besok bawa obat tidur."
"Hah? Obat tidur?" Kerutan dalam tercetak jelas di dahi Azka. "Memangnya buat apa?"
"Ck, enggak usah banyak tanya! Gue ingetin, lo itu budak gue! Jadi, turutin semua perintah gue tanpa banyak tanya. Ngerti enggak lo?!" Perkataan pedas itu keluar begitu saja dari mulut Dira.
"Ya ya ya... Gue tahu gue itu budak lo. Enggak usah diperjelas juga kali." Azka mendengus kesal, dia heran kenapa ada gadis seangkuh Dira.
"Sekarang anterin gue pulang!"
"Lah? Kok gu--"
"Lo siapa gue?" Dira menekan setiap katanya.
"Gue budak lo! Puas?" Azka kembali ke sosok aslinya yang dingin. Sangatlah tidak mungkin membayangkan mereka menjalin hubungan satu sama lain melebihi Budak dan Majikan. Namun, tak ada yang tahu jalannya takdir untuk ke depannya.