Chereads / Queen Of Mafia / Chapter 13 - 12. Tantangan (5)

Chapter 13 - 12. Tantangan (5)

"Mereka menyalahkan orang lain padahal diri merekalah yang salah. Mereka hanya ingin mencari kambing hitam untuk kesalahan yang mereka perbuat. Itulah mengapa banyak orang-orang yang disebut jahat padahal mereka tak berbuat salah." (Azka)

*****

Dira melangkah memasuki kelas. Bel masuk sudah berbunyi setelah dia meninggalkan Widi yang masih duduk di kursi penonton. Dira duduk dengan santai di kursinya. Kelas sedang kosong, dan guru mapel tidak meninggalkan tugas satu pun, Dira sudah tahu mengenai hal itu bahkan sebelum hari ini.

Mengapa? Karena Nick dan Edward lah sumber informasi yang Dira dapat. Keduanya mungkin tak bisa berada di dekatnya karena ada misi tersembunyi yang diberikan Aditya. Yah, lagipula Dira tak begitu membutuhkan mereka karena Dira bisa menjaga dirinya sendiri bahkan tanpa perlindungan keduanya.

"Dir, kenapa telat masuk?" Dira menoleh ke samping, mengamati Fara yang menatapnya dengan tatapan menyelidik. Mata Dira memicing ketika menyadari bahwa Fara selalu ingin mengetahui semua kegiatannya.

Memang bagus kalau memiliki teman yang ingin mengetahui tentang kegiatanmu. Itu tandanya mereka peduli padamu dan masih menyadari kehadiranmu. Mereka hanya penasaran. Yah, mungkin banyak tanggapan seperti itu dari orang-orang.

Namun, pernahkah kamu berpikir bagaimana jika orang-orang tak penasaran dengan kehidupanmu? Kamu akan sendirian, terlupakan, bahkan terabaikan. Semua orang melupakan keberadaanmu, atau mungkin mereka sampai tak mengetahui bahwa kamu salah satu teman mereka.

Dira tersenyum penuh arti. Mungkin banyak orang yang merasa terganggu jika ada orang yang bertanya mengenai kegiatan mereka. Namun, Dira bukan orang yang seperti itu. Dia senang karena itu menunjukkan bahwa mereka peduli dengannya. "Memberi ujian pada seseorang."

"Ujian apa?" Fara memiringkan kepalanya dengan dahi yang berkerut. Apalagi yang dilakukan Dira pada the most wanted SMA Merpati.

"Ujian Mental." Dira menjawab dengan senyum cerah seolah semua yang dia lakukan tidak berarti apa-apa.

"Memang ada ya Ujian Mental? Terus, gimana caranya?" Fara menatap Dira dengan raut penasaran. Sebenarnya apa yang ada di kepala kecil Dira sampai memikirkan hal-hal yang tak pernah disangka-sangka.

"Ya, ada sih menurut gue. Hehe ... Lo mau gue uji? Caranya, gue bakal kasih lo berbagai pertanyaan dan bermain kata-kata sama gue sampai lo kehabisan kata-kata untuk menjawab." Fara bergidik ngeri membayangkan bagaimana dirinya beradu mulut dengan Dira. Dira mungkin akan sakit hati setiap mendengar ucapan yang terlontar dari mulutnya. Karena Fara akan selalu menjawab pertanyaan dengan sejujur-jujurnya walaupun menyakitkan.

"Ish, enggak mau, ah. Ngeri gue bayanginnya. Memang siapa yang habis lo uji?" Fara menggelengkan kepalanya dengan sorot mata yang tak tertarik. Sebelum menentukan lulus atau tidaknya Fara dari Ujian Mental yang diberikan oleh Dira, mungkin Dira akan terlanjur sakit hati karena ucapan Fara yang menusuk.

"Tuh." Dira menunjuk Widi yang baru memasuki kelas dengan dagunya.

Mata Fara seketika membulat sempurna. "Jadi, Widi lulus enggak dari Ujian Mental lo?"

"Lulus sih, tapi ada beberapa pertanyaan yang dia jawab dengan ragu-ragu." Fara hanya menganggukkan kepalanya. Wajar saja untuk Widi menjawab pertanyaan Dira dengan ragu-ragu. Fara menduga bahwa Dira pasti menanyakan pertanyaan yang tidak biasa. Salah satu dari pertanyaan yang diberikan Dira mungkin menyinggung Widi dari segi mental dan perasaan.

"Oh iya, Fa, berarti tinggal Azka dong yang belum, ya, 'kan?" Dira menaik turunkan alisnya dengan senyum miring. Kekehan kecil keluar dari mulutnya membuat Fara menatapnya datar. Ah, lama-lama Dira semakin menjadi gadis yang aneh. Sepertinya Dira mendapat kepuasan dari membuat orang lain menderita. Kepuasan yang tidak baik namun cukup menantang.

Oh, sebenarnya apa yang Fara pikirkan. Kenapa otaknya selalu berputar pada hal-hal yang jahat. "Hm, lo mau gimana?"

Tubuh Fara menegang ketika Dira membisikkan rencana busuknya.

"Gimana? Bagus, 'kan?" Dira menyeringai, dia menoleh ke arah Azka. Tatapan mereka bertemu, yang membuat seringai Dira semakin lebar.

BRAKK!!

"Oke, guys! Listen to me! Berhubung jamkos, gue mau nantang seseorang buat tanding basket sama gue. Kalian setuju?" Seisi kelas bersorak-sorai sambil berteriak 'Setuju' yang membuat Dira tersenyum miring.

"Siapa yang mau lo ajak tanding, Dir?" Salah satu teman cowok di kelas bertanya yang diangguki oleh semuanya.

Dira tidak menjawabnya melainkan dia melangkah mendekati Azka. Tanpa permisi dia menarik kerah belakang Azka dengan paksa dan menyeretnya menuju lapangan basket diikuti oleh semua teman-temannya. Azka tidak terkejut sama sekali saat dirinya tiba-tiba ditarik paksa dengan posisi yang memalukan oleh Dira. Dia sudah tahu bahwa sekarang gilirannya setelah teman-temannya.

Sesampainya di tengah lapangan basket, Dira melepaskan cengkeramannya pada kerah Azka. Kemudian, Dira menatap sekeliling yang terdapat teman-teman satu kelasnya sudah duduk di kursi penonton di pinggir lapangan basket. Mereka terlihat sangat antusias dan ingin segera menyaksikan pertandingan keduanya.

"Guys, gue cuma mau mengumumkan bahwa gue Dirandra Angelina menantang Azkara Ranendra untuk bertanding basket melawan gue! Siapa yang kalah harus menuruti semua keinginan pemenang tanpa adanya bantahan! Setuju?"

"SETUJU!!!" seru semuanya dengan serempak. Mereka semua seolah tidak peduli jika mereka masih berada di lingkungan sekolah yang saat ini sudah bel masuk dan kelas-kelas lain sedang mengikuti kegiatan belajar.

Suasana di lapangan semakin ricuh yang menarik perhatian kelas lain. Mereka berbondong-bondong untuk melihat penyebab kericuhan tersebut. Ketika mendapati idola mereka, Azka, semua ikut duduk untuk menonton pertandingan tersebut. Bahkan mereka sampai melupakan guru mapel mereka yang tadi sedang mengajar. Menurut mereka idolanya lebih penting daripada yang lain.

Guru-guru bahkan sudah kewalahan untuk mencegah siswa-siswi yang ingin keluar kelas. Akan tetapi, apa daya mereka yang kalah jumlah. Akhirnya mereka pasrah dan ikut menonton.

Priiitt!

Peluit ditiup oleh guru olahraga mereka sambil melempar bola ke atas. Azka berhasil menguasai bola, dia mendribble bola sambil tersenyum sinis melihat Dira yang berusaha merebut bola darinya. Karena Azka sibuk memerhatikan Dira, dia tidak menyadari bahwa bola yang tadi dikuasai olehnya berhasil direbut oleh Dira yang menyeringai lebar.

Poin pertama berhasil dicetak oleh Dira. Semua bersorak-sorai mendukung keduanya. Permainan semakin menegangkan ketika akan memasuki sekmen terakhir. Poin keduanya seri, Azka saat ini menguasai bola. Disaat-saat terakhir saat dia ingin memasukkan bola ke ring, terdengar pekikan keras dari belakangnya.

"Aww ..." Azka mengurungkan niatnya untuk memasukkan bola ke ring. Dia menoleh ke belakang, matanya membulat ketika mendapati Dira yang sepertinya sempat jatuh dan memegangi kakinya sambil meringis kesakitan.

Hati Azka tergerak untuk menolongnya, dia melempar bola basket di tangannya dengan asal. Dia berjalan menghampiri Dira dan berniat menolongnya. Entah kenapa melihat gadis yang akan membalaskan dendam padanya kesakitan membuat perasaan Azka menjadi rumit. Tak ada yang menyadari bahwa Dira menyeringai lebar ketika menunduk. Matanya melirik bola basket yang tergeletak di dekat ring.

Secepat kilat Dira bangkit lalu berlari mengambil bola basket dan memasukkannya ke dalam ring. Azka mematung di tempatnya, dia kemudian berbalik dan melihat Dira yang sedang menyeringai lebar ke arahnya seolah mengolok-oloknya bahwa dirinya telah kalah.

"Gue menang, yeah!!" Dira mengangkat tangannya ke atas. Semua bersorak-sorai atas kemenangan yang telah diraih oleh Dira.

Azka menggeram marah karena merasa ditipu oleh Dira. Hilang sudah pertanyaan di pikirannya mengenai perasaan yang dirasakannya terhadap Dira. "Enggak! Dia licik dan juga curang!" Azka menatap tajam Dira. Seketika semua penonton terdiam dan tak ada yang berani untuk mengeluarkan suara.

"Licik? Darimana lo bisa bilang kalau gue licik, heh?" Dira tersenyum miring yang membuat Azka mengepalkan tangannya kuat. Berani sekali gadis ini menipunya hanya untuk sebuah kemenangan.

Hanya demi mendapatkan sebuah kemenangan dia bahkan menggunakan berbagai cara termasuk berbuat curang? Apa gunanya? Apakah kita akan mendapatkan kepuasan dengan kemenangan yang kita peroleh dengan cara curang? Ya, kita puas karena memperoleh kemenangan dengan praktis tanpa perlu repot-repot.

Namun, bagaimana kamu menghadapi pertarungan sesungguhnya dalam hidupmu yang masih dipenuhi dengan pertanyaan? Apakah kamu bisa menjawabnya dengan benar walau menggunakan cara yang curang? Tidak, semua pertanyaan dalam hidupmu tidak bisa dijawab oleh orang lain. Itu tergantung pada dirimu sendiri. Karena kamulah yang paling mengetahui baik buruknya dirimu sendiri walau mungkin kamu mengelak dan tak mengakui.

Wajah Azka sudah merah padam, giginya bergemelatuk. Azka benar-benar marah. Saat dirinya bertanding dengan serius, Dira malah memikirkan cara untuk menang saja. "Tadi lo pura-pura jatuh!"

"Terus?" Dira menaik-turunkan alisnya seolah meledek Azka.

"Lo itu menang dengan cara licik! Dan itu curang!" Dira menyeringai melihat Azka yang mencoba mengontrol amarahnya.

Dira melangkah mendekati Azka dan berdiri tepat di depannya. Dia memiringkan kepalanya sambil terus menyeringai.

"Licik? Gue enggak licik. Tapi ...," Dira mendekatkan mulutnya ke telinga Azka. "... gue cerdik!"

Azka mendorong bahu Dira dengan kasar. Dia melotot tidak terima dengan kekalahannya. "Lo curang! Sekali curang tetaplah curang!"

Dasar sinting. Kalau semua orang yang berbuat curang disebut cerdik. Lalu julukan apa yang pantas bagi orang yang tidak berbuat curang? Orang yang terlalu jujur, munafik. Mereka membalikkan antara hitam dan putih hanya untuk membenarkan perbuatan mereka yang salah.

"Udahlah, Az. Kalau kalah tinggal ngaku aja sih, apa susahnya? Ya, 'kan, guys?" Semua anak lelaki bersorak mengiyakan ucapan Dira.

"Sekali lagi gue tekankan bahwa gue enggak curang! Gue tanya, tadi disaat-saat terakhir siapa yang mengabaikan bola? Gue atau lo?" Azka terdiam, dia merutuki kebodohannya yang telah berhasil memasuki jebakan Dira.

"Kenapa diam? Merasa bodoh? Lo itu memang bodoh! Udahlah, tinggal terima kekalahan aja apa susahnya, sih!" Dira tersenyum sinis melihat Azka yang mendengus kesal.

"Lo itu bener-bener--"

Sekarang yang lebih penting bukan menang atau kalah. Karena yang patut dipertanyakan itu mengenai perbuatan benar dan salah. Lucunya banyak yang mendukung perbuatan salah sampai membuat orang-orang membenarkan perbuatan salah tersebut.

Miris sekali melihat perbuatan salah dibenarkan dan perbuatan benar dipertanyakan kebenarannya. Yang lebih miris lagi kitalah salah satu di antara orang yang berbuat salah tersebut. Kita mengetahui dengan jelas bahwa itu perbuatan salah namun tetap dilakukan.

"Apa? Gue cerdik, 'kan? Gue cuma mau bilang, lain kali jangan pernah percaya pada lawan. Karena itu suatu kebodohan! Well, berarti di sini guelah pemenangnya." Dira tersenyum bangga.

Sudahlah, lebih baik mengalah karena sudah pasti opini publik lah pemenangnya.

"Sesuai perjanjian di awal pertandingan tadi. Siapa yang kalah harus menuruti semua keinginan pemenang tanpa adanya bantahan! Karena gue pemenangnya, gue ingin Azka jadi budak gue dan gue yang menentukan kapan semua itu berakhir." Dira tertawa di dalam hatinya melihat Azka yang kembali menggeram marah.

"Gue enggak mau! Sampai kapanpun gue enggak sudi menjadi budak lo!" Dira tertawa sinis mendengar penolakan secara gamblang dari Azka.

"Lo enggak ingat perjanjiannya?"

"Persetan dengan perjanjian itu! Gue tetap enggak mau!" Dira berdecih muak.

"Lo cowok, 'kan? Kalau merasa cowok sejati seharusnya lo menepati janji yang sudah disepakati sedari awal. Dan lihat sekarang, lo menolaknya dengan mentah-mentah? Cowok macem apa lo itu, heh? Bahkan kayaknya lo enggak pantas untuk disebut seorang cowok." Muka Azka semakin memerah antara malu sekaligus marah. Dia bingung harus apa, keadaan semakin mendesaknya ketika semua penonton menyorakinya. Baiklah, mungkin ini keputusan satu-satunya yang bisa dia ambil.

"Oke, gue terima!"

"Deal?"

"Deal!"

Dira menyeringai penuh kemenangan. "Welcome to my black world, Azka."

Perasaan Azka mendadak tidak enak mendengar ucapan Dira yang terdengar menyeramkan.

"Sekarang, lo terikat kontrak mutlak sama gue sebagai Budak dan Majikan. Sebagai budak gue, tugas pertama lo berlutut dan kenali majikan lo." Dira mengulurkan tangannya dengan mata berbinar senang. Dira seolah mendapatkan peliharaan yang baru.

Azka merapatkan bibirnya ketika dia kehilangan kata-kata. Berlutut di depan Dira dan mengenali Dira sebagai majikan seperti halnya hewan peliharaan? Apakah Dira lebih menganggapnya sebagai hewan peliharaan?

"Cepat, Azka. Gue enggak suka menunggu."

Azka menggigit bibir bawahnya dengan perasaan suram. Kakinya perlahan-lahan bertekuk lutut di hadapan Dira dengan gerakan kaku. Tangannya perlahan meraih tangan Dira yang terulur lalu mengecupnya dan menggesekkan pipinya pada punggung tangan Dira.

Senyum lebar terbit di wajah Dira. "Budak yang pintar. Sekarang, menggonggong untuk gue."

Malu, itulah yang Azka rasakan sekarang karena banyak yang menyaksikannya. Dengan bibir gemetar Azka menggonggong dengan suara pelan. "G-guk."

"Apa? Gue enggak dengar, Azka..."

Azka memejamkan matanya dengan erat. "Guk, guk!"

Dira menepuk-nepuk puncak kepala Azka dengan perasaan puas. "Bagus. Gue suka sama budak yang penurut."