"Mengharap sesuatu yang tidak pasti hanya akan mendatangkan kekecewaan. Lebih baik dari awal tidak mengharapkan apapun karena kita akan hancur oleh harapan yang tidak terwujud." (Widi)
*****
Saat ini Widi sedang duduk di kursi penonton di pinggir lapangan basket. Dia sedang membaca buku yang sempat dia pinjam di perpustakaan sekolah. Azka dan yang lain sudah berada di kantin. Ketika sedang asyik membaca, ada sosok yang berdiri di depan Widi dan itu menghalangi pencahayaan dari sinar matahari yang tidak terlalu terik.
Widi menghela nafas, dia tahu siapa sosok yang berdiri di depannya dan mengganggu kegiatan membacanya. Ya, dia tahu bahwa sekarang adalah gilirannya. Giliran untuk menjadi korban kejahilan Dira.
"Widi ..." Widi menutup bukunya lalu mendongak menatap Dira yang menampilkan cengirannya.
"Hm, giliran gue, 'kan? Ya udah, terserah mau lo apain." Widi menghela napas pasrah, dia terlalu malas untuk merespon pada suatu hal yang pasti akan terjadi.
Dira terdiam sejenak melihat raut pasrah Widi yang tetap terlihat tenang dan tidak merasa terancam. Dira duduk di samping Widi tanpa banyak bicara lalu mengamati wajah Widi.
"Wid."
"Hm?" Widi tidak menoleh ke arah Dira, dia mengamati sekelilingnya.
"Menurut lo gue tuh orangnya gimana?" Seketika Widi menoleh ke arah Dira dengan raut wajah yang sulit diartikan.
"Kenapa lo nanya sama gue?" Widi mengangkat sebelah alisnya.
"Ya, gue ingin nanya aja." Dira tersenyum kecil lalu menatap ke depan.
"Beberapa hari setelah mengenal lo, gue cuma bisa menyimpulkan bahwa lo itu cewek yang unik." Widi membayangkan sikap jahil Dira akhir-akhir ini pada para sahabatnya.
"Unik? Memangnya gimana?"
"Gue enggak bisa menebak arti disetiap raut wajah lo. Apa lagi jalan pikiran lo yang entah gimana."
Dasar tidak sadar diri. Padahal menurut Dira, Widilah orang yang tidak mudah ditebak jalan pikirannya. Banyak sisi yang Widi tunjukkan di depan umum. Namun, tak ada yang mengetahui yang mana sifat Widi yang asli. Semuanya seakan topeng saja yang digunakan untuk menyembunyikan kepribadian Widi yang sesungguhnya.
Dira tenggelam dalam pikirannya membuat Widi bingung. Tumben sekali gadis seperti Dira diam tanpa membuat masalah. Akhirnya Dira kembali membuka suara, tanpa sadar Widi menghela napas lega. Entah kenapa Widi merasa lebih baik Dira bertingkah seenaknya daripada terdiam yang justru membuatnya selalu waspada.
"Gue pernah dengar, kalau orang baik jodohnya orang baik. Benar, enggak?"
"Benar." Ungkapan yang cukup umum yang dapat didengar dari mulut ke mulut. Tentu saja Widi mengetahuinya. Lalu, mengapa Dira menanyakan sesuatu yang begitu jelas?
Dira memiringkan kepalanya dengan memasang wajah lugu. "Berarti kalau orang jahat jodohnya orang jahat juga?"
"Tepat sekali!" Widi menjentikkan jarinya di depan wajah Dira.
"Gue jahat, ya?" Dira menatap Widi dengan raut murung. Terlihat jelas bahwa Dira merasa sedih.
"Jahat? Enggak." Widi tersenyum tanpa ragu di hadapan Dira. Kalau orang seperti Dira disebut jahat, lalu apa kabar dengan dirinya? Widi tersenyum kecut. Ah, kenapa dirinya sangat menyedihkan?
"Alasannya apa?" Widi kembali ke akal sehatnya saat mendengar suara Dira. Hampir saja dia ingin mencabik-cabik dirinya sendiri saking bencinya dia terhadap diri sendiri.
Widi berpikir sejenak untuk mencari kata-kata yang pas. "Lo itu cuma ingin menunjukkan rasa ketidaksukaan lo pada orang-orang yang ganggu kegiatan lo. Kayak contohnya teman-teman gue termasuk gue yang waktu itu menggagalkan aksi lo."
Bugh!
"Tahu aja lo, Wid." Dira memukul lengan Widi yang membuat Widi hampir jatuh tersungkur. Jangan pernah meremehkan tenaga Dira. Itu benar-benar suatu hal yang salah jika meremehkan tenaga yang dikeluarkan gadis seperti Dira. Walaupun tadi Dira memukul Widi karena gemas tapi tenaganya tetaplah ada.
Dira cengengesan melihat Widi yang hampir jatuh akibat pukulannya.
"Lemah banget lo jadi cowok." Dira menyeringai kecil.
"Bukan lemah, cuma lo nya aja yang mukul mendadak." Widi kembali duduk dengan tegak. Tadi Widi duduk dengan posisi santai tanpa waspada, tentu saja dia kaget saat mendapatkan pukulan secara tiba-tiba yang dilakukan Dira.
"Mendadak, ya? Sorry, lo pernah mendengar pepatah mengatakan sedia payung sebelum hujan?"
"Pernah." Sekarang, apalagi yang ingin Dira tanyakan? Kenapa dari tadi rasanya pertanyaan Dira berbelit-belit. Namun, Widi harus memberinya jawaban sebaik mungkin karena salah kata saja mungkin bisa membuatnya habis dalam sekejap di tangan Dira.
"Nah, itu! Lo enggak pernah memahami arti pepatah itu, 'kan?"
"Lo kira gue orang bego yang enggak tahu maksud dari pepatah itu?!" Widi menatap tajam Dira yang menyeringai semakin lebar. Hampir saja tawa Dira pecah melihat wajah Widi yang berubah masam. Senang sekali rasanya mempermainkan pemikiran pria di hadapannya sekarang.
"Buktinya, lo enggak tahu, tuh."
"Memangnya, arti pepatah itu menurut lo apa?" Widi memutar bola matanya malas sambil kembali membuka bukunya.
Dira membuat gerakan seolah sedang berpikir keras. "Menurut gue sih, berwaspadalah sebelum masalah datang. Karena ... " Dira mendekatkan mulutnya ke telinga Widi yang tak bergeming. Hah, disaat seperti ini Dira bahkan tak melewatkan kesempatan untuk menggoda Widi lebih jauh. Beruntung, Widi bukan laki-laki berengsek.
"... gue sumber masalahnya." Tubuh Widi menegang mendengar ucapan tersebut. Deheman keras keluar dari mulut Widi untuk kembali menetralkan suasana yang mencekam.
"Wid." Dira kembali memanggil dengan nada yang terdengar mengesalkan di telinga Widi.
"Apa lagi?!" Widi mendengus kesal karena lagi-lagi kegiatan membacanya terganggu.
"Bisa enggak orang jahat jadi jodohnya orang baik?" Pertanyaan itu sukses membuat gerakan membalik lembaran buku yang dibaca Widi terhenti. Jari tangan Widi gemetar pelan, tapi Widi segera mengepalkan tangannya untuk menyembunyikan getaran tersebut.
Dira menyadari perubahan sikap dari Widi, namun Dira lebih memilih diam. Widi tak banyak menunjukkan ketertarikan pada sesuatu. Dia seolah menjalani hidup hanya untuk hidup itu sendiri. Kekosongan dan kehampaan memeluk Widi dengan erat. Walaupun selalu menunjukkan sikap yang berbeda-beda setiap saat.
Akan tetapi, kekosongan selalu menyertainya. Sorot mata yang penuh dengan kehampaan padahal mulutnya tersenyum dengan lebar. Menyedihkan, sosok Widi yang Dira lihat sangat menyedihkan. Entah apa yang membuat Widi sampai terjerumus dalam jurang tak berujung tersebut.
Mulut Widi terbuka bermaksud untuk menjawab pertanyaan Dira. Widi kembali menutup mulutnya, bibirnya gemetar samar. Kenapa Dira harus menanyakan pertanyaan yang mengandung harapan di dalamnya?
Hal tersebut membuat Widi ingin berharap juga. Sudah bagus dirinya menjalani hidup dengan 'tenang' tanpa menciptakan momen yang mengesankan dalam hidupnya. Karena harapan hanya membuat dirinya menjalani hidup dengan baik. Namun, Widi tidak menginginkan itu, dia ingin menghancurkan hidupnya dengan tangannya sendiri.
"Mungkin bisa. Itu pun kalau orang jahatnya bisa menjadi baik. Atau, kalau enggak orang baik itu bisa membuat orang jahat jadi baik. Intinya yang jahat bisa menjadi baik." Widi menjawab dengan sedikit ragu. Hal tidak masuk akal apa yang dirinya ucapkan?
Orang jahat akan tetap jahat jika niatnya tidak berubah. Sikap bisa saja berubah, namun hati yang sudah terlanjur membusuk tidak mungkin bisa kembali seperti semula dalam waktu singkat.
"Menurut lo, gue enggak jahat, 'kan? Jadi, gue orang baik dong, ya, 'kan?" Dira tersenyum miring melihat Widi yang tampak kesulitan menjawab pertanyaan yang satu ini. Semakin ke sini, Dira semakin menanyakan omong kosong yang membuat Widi menyadari bahwa dirinya sangat menyedihkan.
"Baik? Lo itu, hm... Gimana, ya?" Widi menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal, dia bingung harus menjawab apa.
"Udahlah, gue anggap jawaban lo, iya. Berarti gue baik dong." Dira menyeringai kecil lalu terkekeh.
"Terserah lo, deh!" Widi mendengus kesal, dia kembali melanjutkan membaca buku. Widi tidak bisa lagi fokus membaca buku karena pikirannya bercabang ke mana-mana.
"Ya udah kalau gitu." Dira beringsut berdiri yang membuat Widi menatapnya heran.
"Lo mau ke mana?" Pertanyaan tersebut terlontar tanpa Widi sadari.
"Terserah gue lah mau ke mana!" Dira melipat kedua tangannya di depan dada dengan gaya angkuh.
"Lo enggak jahilin gue?" Dira terkekeh, orang bodoh mana yang ingin dijahili olehnya.
"Lo mau gue jahilin?! Teman-teman lo aja enggak ada yang mau gue jahilin! Lah, lo dengan tampang bodoh lo minta gue jahilin?! Aneh lo!"
Tak mungkin Dira mengatakan bahwa dirinya hampir kelewatan saat ingin mengerjai Widi. Sepertinya Dira tanpa sadar membuka luka lama Widi yang belum kering sepenuhnya. Ini sudah membuatnya merasa bersalah walau hanya sedikit.
"Bukannya, sekarang giliran gue? Lebih baik cepat selesaikan sampai lo puas. Karena gue enggak mau terlibat sama lo untuk kedua kalinya." Widi menatap Dira dengan tatapan menggelap membuat Dira mengernyit karena merasa terganggu dengan sikap Widi yang tidak biasa.
"Iya, sekarang giliran lo. Tapi, lo udah lulus."
Widi mengernyit heran. "Lulus?"
"Ya, lo udah lulus dari Ujian Mental dari gue."
"Hah? Ujian Mental?!" Kerutan di kening Widi semakin banyak. Dia benar-benar tidak tahu apa yang dimaksud Ujian Mental oleh Dira.
"Hm, gue dengar dari cewek-cewek, di geng kalian itu lo lah yang paling bijak. Jadi, gue mengetes kadar kebijakan lo berapa." Rahang bawah Widi terjatuh, dia ternganga dengan penjelasan yang Dira berikan. Jadi, dari tadi dia diuji?! Dia bahkan tidak sadar dalam menjawab semua pertanyaan yang diberikan Dira.
"Tapi, lo tenang aja karena lo udah lulus dari ujian itu. Gue salut sih sama lo, ternyata di geng lo ada positif-positifnya juga, ya walaupun sedikit. Gue kira negatif semua, cuma modal tampang doang." Widi menatap sinis Dira yang sedang tertawa mengejek.
"Lo kira gue sama yang lain cowok apaan?!" Menjengkelkan, dari tadi Dira hanya memberinya pertanyaan aneh yang membuatnya kembali mengingat kebencian terhadap dirinya sendiri dan membuatnya ingin sekali mengharapkan sesuatu.
"Cowok murahan lah! Yang suka tebar pesona gitu. Hahaha..." Dira tertawa terbahak-bahak yang membuat Widi semakin kesal.
"Tebar pesona gimana?! Orang pesona gue sama yang lain udah tersebar ke mana-mana loh." Widi tersenyum sinis yang dibalas decihan oleh Dira.
"Cih! Songong amat lo!" Dira memukul bahu kiri Widi yang membuat Widi hampir terjungkal.
"Santai, dong!" Widi melotot kesal karena untuk kedua kalinya dia hampir terjatuh gara-gara Dira.
"Iya deh iya, yang tampangnya udah tersebar ke mana-mana. Gue sih cuma gadis kecil yang imut dan polos ini dan enggak tahu apa-apa." Dira memasang wajah sok polosnya yang terlihat lucu sekaligus aneh di mata Widi. Seorang Dira termasuk gadis polos?! Yang benar saja!
"Polos?! Lo nyebut diri lo sendiri polos, hah?! Pftt..." Widi menahan tawanya yang akan meledak.
"Terserah deh netizen yang sirik mau bilang apa, huh!! Udah ya, Bro, jangan nodain kepolosan gue ini, bye!" Dira mengibaskan rambutnya di depan wajah Widi lalu melenggang pergi dengan santai seperti tak pernah melakukan kesalahan apapun.
"Tuh cewek aneh banget, kadang dingin, serem, sok polos, lah sekarang songong banget! Gue enggak tahu deh jalan pikirannya gimana." Widi berusaha mengenyahkan pikirannya yang terus menanyakan sikap Dira yang menurutnya aneh.