Chereads / Queen Of Mafia / Chapter 11 - 10. Cantik atau Tampan? (3)

Chapter 11 - 10. Cantik atau Tampan? (3)

"Jadilah orang yang berguna bagi seseorang yang menyayangimu hanya karena kemampuan yang kau miliki. Karena kau bisa dibuang kapan saja jika kau sudah tak lagi dianggap berguna. Persiapkan hatimu, karena dari awal, semuanya salahmu karena kau terlalu berharap pada kasih sayang yang semu." (Dimas)

*****

"Dimas..."

Panggilan yang disertai dengan nada menggoda membuat Dimas yang baru saja keluar dari toilet menoleh ketika mendengar namanya dipanggil. Oh, iya, tadi Dimas pergi ke kamar mandi karena ada panggilan alam sewaktu berkumpul di kantin bersama para sahabatnya.

"Haduh, gawat! Gue harus gimana, nih?! Masa ngumpet?! Kan, dianya udah lihat gue, gimana nih?!!" Dimas menjadi heboh saat orang itu berlari mendekatinya.

"Setidaknya, gue harus menghindar dari pandangannya. Ayo, pikirkan ide yang bagus Dimas! Ugh, dasar otak sialan!" Baru sekarang Dimas menyadari betapa bodoh dirinya. Memikirkan satu ide saja dia tidak bisa. Sungguh otaknya sangat tidak berguna, untuk apa Dimas repot-repot membawa otaknya jika tidak bisa digunakan untuk berpikir barang sedikitpun.

Dimas berbalik hendak berjalan untuk kembali berkumpul bersama para sahabatnya. Oke, untuk sekarang Dimas hanya bisa berpura-pura tidak mendengar seseorang memanggilnya. Baru dua langkah ada seseorang yang mencekal kuat tangan Dimas yang membuat Dimas terpaksa berhenti.

"Mau ke mana lo?"

Dira berdiri di hadapan Dimas sambil melipat kedua tangannya di depan dada dengan gaya angkuh. Tatapan tajam yang dilayangkan pada Dimas seolah ingin menguliti Dimas hidup-hidup. Sungguh tatapan yang mengerikan.

"M-mau ke kantin lah!" Dimas berusaha menutupi ketakutannya terhadap Dira. Tanpa sadar Dimas menggesek telapak tangannya pada lengannya yang merinding.

Dira memiringkan kepalanya dengan senyum manis terbit di wajahnya membuat Dira tampak lebih memesona dari biasanya. Namun, sikap manisnya justru terlihat memiliki arti yang lain.

Ah, dunia, 'kan terlihat seperti itu. Jika dilihat dari luar tampak sangat damai. Akan tetapi, saat kita mengenalnya dengan baik kita akan dibuat kecewa karena yang kita lihat hanya kepalsuan semata. Semua tidak baik-baik saja seperti yang kita lihat. Orang-orang bersaing untuk bisa berdiri di puncak kejayaan dan memandang rendah orang yang berada di bawahnya. Omong kosong bertebaran dimana-mana membuat dunia ini tidak bisa damai tanpa adanya masalah.

"Oh, ke kantin, ya udah." Dira menyingkir dari jalan untuk memudahkan Dimas lewat.

Dimas mengernyitkan dahinya heran, dia bersyukur Dira melepaskannya. Dengan perasaan senang, Dimas kembali melangkah melewati Dira.

Sedangkan Dira menatap sekelilingnya yang ternyata sepi, hanya ada dirinya dan Dimas. Keadaan seakan mendukungnya untuk melakukan rencana liciknya.

Dira menyeringai lebar sambil melangkah mendekati Dimas yang masih berada di depannya.

"Say good bye, Dimas."

BUGH!!

Dira memukul keras punggung Dimas yang membuat sang pemilik menoleh sambil meringis kesakitan.

"Dira! Lo--"

Bruk!!

Belum selesai berucap, kepala Dimas terasa pusing dan pandangannya mulai buram dan akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Dira terkekeh geli disertai seringai yang keji. "Pertunjukan akan dimulai."

******

Dimas meringis sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Dia menatap sekelilingnya sambil mengernyit heran, seingatnya dia sedang berjalan menuju kantin setelah dari toilet. Tapi sekarang dia berada di depan gudang sekolah yang sepi.

"Oh!" Dimas baru ingat dia merasakan pukulan di punggungnya, saat menoleh ternyata Dira yang melakukannya. Harusnya Dimas lebih berhati-hati jika berada di dekat Dira. Gadis itu bisa menghancurkan Dimas kapan saja. Apalagi dia mengetahui masa lalu Dimas yang masih melekat di ingatannya.

"Hah." Dimas menghela napas. Baru saja terlintas ide di pikirannya yang menyuruh Dimas untuk lari saat Dira menyapanya di toilet. Lucu sekali, mengapa ide itu datang terlambat padahal Dimas sudah terlanjur tidak sadarkan diri karena kecerobohannya.

"Benar-benar otak yang tidak berguna. Padahal... IQ gue 158 makanya gue enggak bisa melupakan sesuatu yang gue lihat walau hanya sekilas. Tapi, yah, sekarang gue enggak lebih dari orang bodoh yang enggak bisa memikirkan satu ide pun."

Dimas tersenyum kecut. Dulu, Dimas laki-laki yang jenius dengan IQ 158. Dulu, apapun bisa Dimas ingat dengan mudah, semua orang memujinya sampai membuatnya bangga akan pencapaiannya. Banyak medali yang berhasil Dimas dapatkan dengan mudah dan sudah menjadi koleksi yang dipajang di lemari kaca.

Namun, semuanya hancur dalam sekejap mata. Sebenarnya, kenapa Dimas melakukan sesuatu yang ceroboh sehingga membuatnya kehilangan semua yang dimilikinya? Pertanyaan yang selalu berada di benaknya tak pernah mendapatkan jawaban karena faktanya Dimas melupakan semuanya. Dimas melupakan dirinya di masa lalu. Dimas dengan IQ 158 sudah tidak ada lagi dan tergantikan dengan Dimas yang bodoh.

"Gue bukan jenius lagi. Tapi, kenapa gue masih ingat kejadian waktu itu. Disaat gue ingin melupakan semuanya kenapa malah ingatan itu yang terus melekat?!" Dimas mengeram marah, tangannya terkepal kuat dengan urat lehernya yang terlihat menonjol.

"Bajingan sial!" Dimas mengumpat dengan perasaan dongkol. Mengapa dia tiba-tiba mengingat masa lalunya? Tempat yang sepi memang musuh bagi orang yang ingin melupakan sebuah kenangan. Karena itu hanya akan membuatnya terus merenungkan tentang masa lalunya yang menyakitkan.

Dari pemilihan tempatnya saja Dimas sudah mengetahui bahwa ini pasti perbuatan Dira yang sengaja ingin membuat Dimas tersiksa karena kejadian di masa lalu.

"Ck, lagi-lagi Dira!" Dimas mendengus kesal. Sampai kapan Dira akan terus mengerjai Dimas dan para sahabatnya?

"Ah, bodo amat! Yang penting gue enggak kenapa-napa."

Dimas berdiri sambil membersihkan debu di celananya. Dia melangkah santai dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana. Di koridor, ternyata sudah sepi karena bel masuk sudah berbunyi 10 menit yang lalu.

"Aduh, gue terlambat, nih." Dimas melangkah dengan tergesa-gesa menuju kelasnya yang jauh dari tempatnya berada.

Saat ada siswi yang lewat, Dimas menampilkan senyum termanisnya tapi reaksi siswi tersebut saat melihatnya malah seperti menahan tawa.

"Loh, kok ketawa, sih?" Dimas menoleh ke belakang yang ternyata siswi tersebut tertawa saat sudah melewatinya.

Dasar tidak sopan padahal orang yang ditertawakan masih berada di dekatnya. Setidaknya kalau ingin menertawakan seseorang jangan sampai terdengar oleh orang yang ditertawakan. Karena itu seperti kamu ingin menginjak harga dirinya dengan sengaja.

Dimas mengendikan bahunya acuh dan kembali melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Kelasnya melewati lapangan basket yang ternyata terdapat kelas X sedang berolahraga.

Semua siswa-siswi kelas X yang melihat Dimas tertawa terbahak-bahak dan ada juga yang menahan tawa tapi tetap tidak berhasil. Dimas semakin dibuat bingung oleh semua orang, dia menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal.

"Kok aneh banget, sih?! Atau, justru gue yang aneh?"

Dimas bertanya-tanya walau akhirnya kembali acuh dan terus berjalan menuju kelasnya. Pintu kelas sudah tertutup yang membuat Dimas mengetuk pintu beberapa kali.

"Masuk!"

Semua perhatian teralihkan pada Dimas yang saat ini berdiri di depan pintu.

Satu ...

Dua ...

Tiga ...

"HAHAHA...." Semua penghuni kelas tertawa terbahak-bahak bahkan sampai memukul meja saking gemasnya.

Dimas menatap teman-temannya yang ternyata menahan tawanya. Tatapan Dimas beralih pada Bu Cinta yang ternyata tertawa terbahak-bahak seperti yang lainnya.

"Ada apa, sih?! Kok pada ketawa?!" kesal Dimas. Seharusnya Dimas merasa malu karena ditertawakan oleh teman-temannya. Dimas lebih merasa kesal dari pada malu karena Dimas tak tahu alasan mereka menertawakannya.

"Wah, wah... Kelas kita kedatangan Ondel-Ondel, guys! Padahal belum lama ini ada gembel yang nyasar ke sini dan sekarang Ondel-Ondel. Hahaha​!!" Semua semakin terbahak setelah mendengar ucapan Dira.

"Dim, lo udah bosen jadi laki-laki, hah?! Dandanan udah kayak banci aja, lo! Hahaha​..."

"Hah?! Dandanan?! Emang gue cewek apa sih?!"

"Nyatanya, lo udah kayak cewek, Dim! Haha..." Dira tertawa terpingkal-pingkal di tempatnya, dia mengusap sudut matanya yang berair saking asyiknya tertawa.

"Hah?! Cewek?!" Dimas semakin bingung dengan ucapan yang lain. "Enak aja! Gue ini cowok tampan!"

"Dim, udah ngaca belum?! Ngaca, sana! Muka udah kayak tante-tante!" Dimas segera meminjam kaca pada siswi yang ada di kelasnya setelah salah satu teman cowoknya berucap.

Dengan segala kebingungannya Dimas akhirnya bercermin di cermin berukuran sedang yang hanya memuat wajahnya saja. Matanya seakan ingin keluar dari tempatnya, mulutnya bahkan menganga tak percaya.

"Makhluk macam apa yang gue lihat?! Wajah yang sangat buruk!" Dimas menunjuk cermin yang dipegangnya.

Kelas yang awalnya berisik mendadak hening membuat Dimas mengalihkan pandangannya dari cermin kepada teman-temannya. Sorot mata teman-temannya seolah mengatakan, "Omong kosong apa yang lo ucapkan?! Itu, lo! Dasar idiot!"

Dimas meneguk salivanya dengan perasaan tidak enak. "Jangan bilang... ini penampilan gue?"

"Iyalah, itu lo! Masa makhluk halus, sih! Haha..." Dira tertawa meledek.

Dimas masih memandang wajahnya yang di cermin dengan raut wajah syok. Bagaimana tidak?! Di cermin tersebut wajahnya sangat err... cantik. Lipstik tebal berwarna merah menyala menghiasi bibir seksinya, bulu mata palsu, eyeliner, maskara, dan blush-on menghiasi wajah Dimas yang tampan.

Pantas saja sedari tadi Dimas menjadi bahan tertawaan saat berpapasan dengan siswi di koridor dan kelas X yang sedang berolahraga.

"Semua ini gara-gara--"

"Sudah, sudah! Dimas, sana ke toilet! Bersihkan wajah kamu yang dipenuhi make up itu!" Bu Cinta langsung menghentikan keributan di kelas yang sedang dia ajar.

"Tapi, Bu! Ini semua ulah--"

"DIMAS!!"

"I-iya, Bu Cinta yang cantik, iya..."

Dimas berbalik sambil menunduk menyembunyikan wajahnya yang dipenuhi make up. Rasanya Dimas ingin lenyap dari bumi saat itu juga. Setelah ini mau taruh di mana wajah tampannya ini?!

Di sisi lain, Dira tersenyum puas ketika rencananya berjalan dengan lancar. Matanya menerawang ke depan mengingat kejadian sebelumnya.

*****

Dira memapah Dimas yang tak sadarkan diri akibat ulahnya. Dia membawa Dimas ke gudang sekolah yang sepi. Dengan susah payah Dira mendudukkan tubuh Dimas di depan gudang.

"Huft... Capek juga bawa lo ke sini, Dim!" Dira mengusap dahinya yang sedikit dibasahi oleh keringat.

Dira berjongkok di depan Dimas yang tergeletak tak sadarkan diri.

"Dim, kalau boleh jujur tampang lo lumayan juga. Tapi, ... mulut lo itu loh udah kayak cewek kalau ngomong enggak bisa direm." Dira berbicara pada Dimas yang tentunya tak merespon ucapan Dira.

"Gimana kalau gue bikin lo jadi cewek?! Kayaknya bagus, deh? Mau enggak?"

"Pasti mau lah, ya, 'kan?! Tempatnya juga pas untuk mengenang masa lalu lo. Tempat sepi memang tempat baik untuk merenungkan masa lalu," lanjut Dira lalu mengeluarkan peralatan make up yang sudah dia bawa dari rumah.

"Oke, kita mulai!"

Sekarang harga diri Dimas sebagai lelaki sejati telah hancur karena ulah Dira. Wajah tampan yang dibangga-banggakan oleh Dimas karena tak pernah melupakan pemiliknya walau Dimas sudah melupakan segalanya sudah tak lagi berarti akibat perbuatan Dira.

"Dimas, udah! Selanjutnya, giliran siapa, ya? Haha!"

*****

"Dira, sumpah lo udah benar-benar..." Fara tak sanggup untuk melanjutkan ucapannya.

Fara sudah cukup dibuat gemas akibat ulah yang Dira perbuat pada the most wanted di SMA Merpati. Fara tidak ingin jika nanti menjadi sasaran empuk dari fans kelima most wanted tersebut yang tidak suka dengan kedekatan Dira dengan mereka dan Fara lah akan terkena imbasnya. Fara tak mau repot dengan sesuatu yang tidak berguna.

"Santai aja kali, Fa. Gue cuma mewujudkan apa yang mereka inginkan."

Tak..

"Aduh, sakit Fara..." Dira mengerang ketika mendapatkan jentikan di keningnya.

"Mewujudkan pala lo! Memang cita-cita apa sampai diwujudkan segala! Lagian lo itu bukan Tuhan, Dira, yang bisa memberi semua orang hukuman atas kehendak lo!"

Fara langsung menutup mulutnya ketika dia sadar telah berbicara terlalu jauh yang bisa saja membahayakan dirinya. Ah, mulutnya ini benar-benar terlalu jujur.

"Duh, gawat! Pakai keceplosan segala lagi!!" Fara merasa ketar-ketir dalam hatinya.

Dira tersenyum misterius yang membuat Fara bergidik saat merasakan atmosfer menegangkan yang membuatnya merinding.

"Gue memang bukan Tuhan. Tapi..." Dira terkekeh dengan nada yang menyeramkan.

"... gue malaikat mautnya!"