Dua hari telah berlalu, Jeninna masih dalam ketakutannya, entah disebut halusinasi atau pun nyata, baginya itu sangat menakutkan.
Tok tok tok!
"Ninna! Ayo buka pintunya, Sayang! Jangan di dalam terus, kamu harus berangkat ke sekolah!" teriak Nindi memanggil sang anak.
"Gak! Ninna gak mau sekolah!" sahut Ninna.
"Tapi setidaknya, tolong buka pintunya!" tukas Nindi.
Ceklek!
Dengan wajah kesal dan bibir cemberut Ninna membuka pintu kamarnya.
"Mama, mau bilang Ninna berhalusinasi lagi?" tanya Ninna dengan nada menyindir.
"Enggak, Sayang! Mama gak mengatakan kamu berhalusinasi lagi, sungguh!"
"Terus mau apa?!"
"Ninna, tolong jangan kasar begitu dong," tukas Nindi.
Perlahan Nindi menghampirinua dan mengelus rambutnya.
"Iya, Mama minta maaf, soal yang kemarin,"
Ninna masih terdiam dengan bibir yang cemberut.
"Udah dong, Sayang, jangan marah," rayu Nindi terhadap putrinya.