Awan hitam menggumpal tebal di atas langit tampak bergelayut manja, di sertai dengan bunyi bergemuruh sesekali yang menggelegar seakan bumi bergetar. Awan hitam itu seolah-olah bisa kapan saja runtuh jatuh ke bumi. Melihatnya saja sudah bisa di pastikan, bahwa sebentar lagi hujan akan segera turun.
Di sebuah lokasi pemakaman umum, terdapat beberapa orang-orang dengan pakaian hitam berkabung berkumpul mengelilingi satu dua liang lahat yang sedang di gali. Terlihat tampak empat orang penggali kubur tengah menggali tanah untuk mengubur dua pasang jenazah yang berada di dalam keranda hendak di turunkan.
Tak jauh dari para pelayat juga orang-orang pengubur dari jasad kedua pasangan yang baru saja meninggal tadi malam itu, berdiri seorang anak laki-laki kecil berusia kisaran 10 tahun dengan menggendong bayi mungil yang sedang menangis sangat kencang. Meski anak itu tampak menggoyang-goyangkan bayi di dalam gendongannya dan berharap agar bayi itu dapat berhenti menangis, namun sorot matanya yang kosong tertuju pada dua buah batu nisan yang sudah terpasang dengan apik pada gundukan tanah di hadapannya. Tak sedikitpun airmata yang jatuh dari kelopak matanya, dia hanya melamun, tanpa menghiraukan tangisan bayi di tangannya. Meski banyak sekali dari para pelayat yang menatapnya prihatin dengan perasaan iba, namun mereka tidak bisa berbuat banyak untuk anak tersebut.
Banyak yang berfikir, bagaimana nasibnya mereka nanti setelah ini? Anak itu masih berusia 10 tahun dan tidak memiliki sanak saudara di dekatnya yang akan mengurus. Jangankan sanak saudara, orang yang kini mereka layati bahkan tidak tahu apakah mereka masih memiliki keluarga kandung yang bisa mereka kabari. Sedangkan bayi yang sedari tadi menangis, bahkan belum bisa melihat bagaimana wajah kedua orangtuanya itu, tetapi sudah harus menjadi yatim piatu. Mau menampung mereka, rasanya mustahil. Pikir mereka.
"Yang sabar ya, nak."
"Kamu harus kuat. Rencana Tuhan pasti indah pada waktunya." Kata para pelayat yang mulai berpamitan untuk pulang satu demi satu.
Anak laki-laki itu hanya menanggapi dengan ucapan terima kasih dengan postur tubuh membungkuk sopan.
Sesungguhnya, apa yang anak itu pikirkan sendiri bahkan juga membuatnya bingung. Harus bagaimanakah kehidupannya setelah ini. Dirinya hanya hidup seorang diri sekarang. Kedua orang yang sudah merawatnya sampai saat ini kini telah di panggil oleh sang pencipta. Dan lagi, dia kini juga memiliki tanggung jawab untuk merawat bayi di gendongannya. Tidak mungkin dia harus meninggalkan adiknya yang masih bayi itu ke pihak panti asuhan sementara dirinya pergi.
Tidak!! Itu tidak mungkin. Apa yang akan dia katakan nantinya kepada kedua orang tuanya tersebut ketika saatnya tiba dia juga pulang ke sang pencipta? Akan ada saatnya dimana dirinya nanti akan di mintai pertanggung jawabannya.
Setetes air tiba-tiba jatuh ke ujung hidungnya. Membuat dirinya terkesiap berkedip dan menatap bayi yang kini sedikit mereda dari tangisnya. Melihat ada tetes air yang jatuh ke kain selimut bayi itu, ia lantas menengadah ke langit dengan mata menyempit sedikit mengernyit.
Benar saja. Hujan mulai turun setitik demi setitik. Yang tadinya hanya sekedar rintik-rintik saja, kini menjadi sangat deras. Andai saja dia tidak membawa bayi, dia tidak akan peduli jika harus basah kuyup di bawah guyuran air hujan yang turun semakin deras itu. Ia masih ingin menghabiskan waktunya memandangi batu nisan kedua orang yang telah sudi merawat dirinya sedikit lebih lama sebelum dia pergi dari lokasi pemakaman.
Anak bersurai dark brown dengan mata sayu namun tajam dan dua pasang alis tebal yang menukik tajam itu berlari mencari tempat teduh yang tak jauh dari tempat kedua orang yang merawatnya itu di makamkan. Ada satu makam yang di bangun dengan pondok yang luas, di situlah ia berteduh. Setelah anak laki-laki itu berteduh, ia kembali memeriksa keadaan bayi berkulit putih namun tidak pucat dalam pelukannya itu cemas. Ia menghela nafas lega sembari tersenyum nanar, mendapati bayi yang masih merah itu tertidur dengan nafas yang teratur.
Kembali anak itu menatap batu nisan yang baru saja berdiri. Di mana semua para pelayat sudah pergi dan hanya menyisakan dirinya seorang saja.
Pikirannya melayang entah kemana. Kini, tak akan ada lagi canda tawa di rumah sederhana milik mereka. Tak ada lagi perdebatan antara kedua orang itu yang mencairkan suasana tegang. Tak ada lagi masakan lezat buatan sepasang suami istri itu di rumah mereka, tak ada lagi senyum ceria keduanya, tak ada lagi yang mengajarinya pendidikan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya.
Semua terasa begitu hampa. Semua hilang. Untuk apa mereka meninggalkan semua itu jika sudah tidak ada lagi kebahagiaan? Dia kini hanya memiliki seorang adik. Adik yang sangat mirip dengan guru kehidupannya. Dia berharap, adiknya akan menjadi sosok yang ceria melebihi kedua orang tuanya. Agar kelak dia mampu menjadi seorang gadis yang tangguh juga kuat meski cobaan menerpanya. Tidak akan ia biarkan siapapun menyakiti adiknya. Sampai kapanpun. Hidupnya akan ia abdikan untuk menjaga adik satu-satunya. Itu janjinya pada dirinya sendiri.
Anak itu menatap kembali bayi perempuan yang di gendongnya, lantas berkata dengan suara berat, "Aku berjanji seumur hidupku. Aku berjanji akan menjagamu sampai kapanpun, Yuna"
**************
Di sebuah negara yang jauh dari negara Indonesia, seorang wanita paruh baya tiba-tiba tersentak setelah melamun. Gelas teh yang di genggamnya merosot jatuh dengan suara mencekam. Pelayan-pelayan berhamburan datang untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Tuan mereka tengah melamun, pandangan wanita dengan setelan priyayi yang glamour itu kosong, menatap gelas teh yang telah hancur berkeping-keping di atas lantai. Tidak ada yang berani mendekat. Beberapa pelayan hanya bisa menunduk takut melirik satu sama lain. Seolah mereka berbicara melalui sorot mata mereka.
Hingga salah seorang pelayan wanita dengan busana yang terlihat tampak berwibawa datang. Wanita itu terdiam sejenak melihat pecahan keramik yang pecah, lalu melirik pelayan-pelayan yang hanya terdiam tidak jauh darinya. Menghela nafas berat, wanita itu kembali berjalan mendekati tuannya.
"Ambilkan pembersih untukku." perintahnya pada pelayan-pelayan yang berdiri tidak jauh darinya. Salah satu dari pelayan-pelayan yang sedari tadi berdiri beranjak dari tempatnya, segera melaksanakan tugas yang di berikan.
"Nyonya besar, apa yang terjadi?" tanya wanita itu lembut pada seorang wanita paruh baya yang sudah hampir memiliki usia lima puluh tahun lebih. Tetapi masih tetap terlihat awet muda.
Nyonya itu tidak menyahut. Dia masih bergeming di tempatnya dengan pandangan kosong menatap lantai marmer di hadapannya.
"Masih memikirkan tuan muda?" mendengar wanita itu bersuara, nyonya pemilik rumah itu bereaksi. Melirik wanita itu tanpa kata. Wanita itu tersenyum maklum, "tuan muda pasti akan baik-baik saja di luar sana Nyonya."
"Haă…ˇah... Bagaimana aku bisa tenang setiap hari? Memikirkannya saja sudah bisa membuat kepalaku rasanya mau pecah." Nyonya besar itu memijit pelipisnya yang tiba-tiba saja berdenyut karena rasa pening.
"Nyonya. Berfikirlah positif. Saya yakin tuan muda pasti baik-baik saja."
Nyonya itu kembali menghela nafas pasrah. Mengangguk-anggukkan kepalanya setuju, "Aku rasa kau benar. Aku hanya harus membiarkannya sadar bahwa apa yang dia lakukan selama ini adalah salah."
Wanita yang menjabat sebagai kepala pelayan itu tersenyum hangat.
Pelayan yang mengambil alat pembersih segera datang, lalu mengambil alih pembersih itu untuk membersihkannya. Setelah dirinya berhasil membersihkan gelas kaca yang hancur berkeping-keping, dia menyerahkannya pada seorang pelayan untuk meneruskannya dan beralih mendekati tuannya.
"Nyonya harus segeta istirahat. Tidak baik jika terlalu banyak berfikir yang tidak perlu, Nyonya. Jika Tuan sampai tahu, dia pasti tidak akan bahagia."
Nyonya itu pasrah dan berdiri ketika kepala pelayan itu memapahnya. Membimbingnya berjalan menuju ke ruang tengah.
"Saya akan segera kembali mengambilkan teh baru." Nyonya itu hanya bergumam sebagai respon. Setelah kepala pelayan itu pergi, wajahnya kembali menyendu, pikirannya melayang pada sosok pria muda yang sangat di sayanginya. Di lihatnya potret besar yang terpasang apik di dinding ruangan itu, di sana terlihat sosok dirinya di temani oleh sosok sang suami di sampingnya. Di sisi yang lain dari gambar potret tersebut, seorang pria muda dengan perawakan tinggi dan surai dark brown bermata hazel brown tengah tersenyum menawan. Kembali Nyonya itu mendesah.
"Putraku... Di mana kamu sekarang, nak? Aku merindukanmu."
****************
Yifan Ali Arsavhin, nama anak laki-laki itu.
Setelah hujan mereda, dia kembali mendekati dua gundukan makam milik keluarganya itu. Yifan hanya bisa terdiam memperhatikan kedua batu nisan dengan dua nama berbeda tersebut, perasaan yang bercampur aduk mengganggu dirinya.
"Kak Reza, kak Anggita, aku berjanji. Akan merawat Yuna sampai dia tidak membutuhkan aku lagi." Yifan menatap wajah bayi yang tertidur dengan teduh itu sendu, mengelus pipi mungil bayi itu menggunakan ibu jarinya hati-hati. "Walaupun...Yuna tidak membutuhkan aku lagi nantinya, aku tidak akan pernah meninggalkan dia."
"Kak, kalian tenang saja di atas sana. Aku tidak akan pernah mengingkari janjiku."
Yifan mulai beranjak setelah berjongkok cukup lama. Dengan berat hati, dia undur diri dari pemakaman. Sesekali dia akan menoleh ke arah di mana dua jenazah keluarganya baru saja di kuburkan berada. Biar bagaimana pun juga, dia masih merasa sangat berat di tinggalkan oleh kedua keluarganya yang telah merawatnya hingga saat ini.
Pulang ke kediaman milik Reza dan Anggita istrinya, Yifan tampak termenung di dalam kamarnya setelah meletakkan Yuna di atas tempat tidur miliknya.
Anak laki-laki itu keluar dari kamarnya hanya untuk melihat beberapa orang masih berada di depan rumahnya, membantu dia untuk mengurus prosesi pemakaman. Di ruang tamu, perabotan sudah kembali rapi seperti semula. Di sanalah jenazah kedua kakaknya di kafani.
Seorang pria paruh baya berjalan menghampiri Yifan yang berada di ambang pintu, lantas mengusiknya, "Nak Yifan, semuanya sudah bapak bersihkan dan rapikan. Hanya ini yang bisa bapak lakukan untuk membantu kalian."
Yifan tersenyum hangat menanggapi, "Tidak apa, pak. Ini sudah lebih dari cukup bagi saya. Dan... Terimakasih atas bantuan bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah mau datang untuk melayat."
"Sudah menjadi kewajiban kita sebagai sesama manusia, Nak. Kalau begitu, bapak dan yang lain permisi, ya. Kalau ada apa-apa, minta tolong saja sama tetangga sebelah, atau lapor ke pak RT."
"Saya mengerti pak. Sekali lagi, terimakasih atas bantuannya. Maaf tidak bisa memberikan apa-apa."
"Tidak perlu. Mari, assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Yifan kembali masuk ke dalam kamarnya setelah melepas kepergian para pelayat dari rumahnya. Saat melihat bahwa adiknya tertidur dengan sangat tenang, dia berjalan ke arah kamar kakaknya berada. Di dalam kamar mendiang kakaknya itu, Yifan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Melihat seisi ruangan Reza yang di penuhi dengan potret pria itu bersama dengan istrinya. Ada beberapa potret dirinya bersama mereka juga Yuna yang baru lahir di rumah sakit.
Moment mereka begitu sangat indah, dan banyak sekali moment-moment itu di abadikan ke dalam potret yang di bingkai. Yifan bahkan tidak bisa membayangkan di masa depan kelak adiknya akan seperti apa. Tanpa sadar Yifan tersenyum tipis namun itu terlihat sangat menyedihkan.
Yifan menghela nafas berat, mau tidak mau, dia memang harus tabah melepaskan kepergian keluarga satu-satunya itu. Dia lantas berbalik, berjalan menuju ke arah dapur dan membuka lemari pendingin. Mengambil minuman kaleng yang biasa di siapkan oleh Anggita istri Reza setiap seminggu sekali.
Minuman kaleng itu di siapkan oleh Anggita dengan tujuan untuk berjaga-jaga bila ada seseorang bertamu ke rumahnya. Tentu saja, itu bukan minuman bersoda. Melainkan minuman sari buah dan juga beberapa jenis Coffee dan chocolate drink. Dan Yifan mengambil chocolate drink kesukaan Anggita.
***************
Hari berjalan terasa begitu lambat, namun seminggu terasa cukup cepat bagi Yifan.
Setelah seminggu meninggalnya Anggita juga Reza, Yifan sudah memikirkan rencana kedepan apa yang harus dia lakukan selanjutnya. Melihat bahwa kota yang dia tempati saat ini tidak mungkin bisa membuat dia berkembang maju, Yifan bermaksud untuk pindah ke ibukotaㄧJakarta. Mungkin di sana dirinya bisa menjalani hidup yang cukup mendukung untuk melanjutkan hidup bersama dengan adiknya.
Dengan sangat hati-hati, Yifan merebahkan tubuh Yuna di atas ranjang miliknya. Tepat di tengah-tengah, dengan dua bantal kecil sebagai pembatas gerak bayi itu. Takut-takut jika nantinya sang adik terjatuh. Meski masih berusia 5 bulan, tapi Yuna sudah mampu bergerak dengan sangat aktif.
Yifan mengambil koper dari dalam almari pakaiannya sambil masih mengawasi Yuna. Dia membuka koper tepat di samping tempat tidur sembari menjaga Yuna, lalu memasukkan baju-baju miliknya juga milik sang adik. Tidak begitu banyak pakaian yang Yifan masukkan ke dalam koper karena dia merasa bahwa nantinya baju-baju itu tidak begitu penting ketika mereka sudah mulai tumbuh dewasa. Beberapa barang-barang penting yang harus dia bawa juga dia masukkan ke dalam koper.
Beruntung Yifan sudah mendapatkan satu rumah untuk tempat tinggal barunya dengan ukuran yang cukup pas untuk sementara mereka tempati nantinya di kota Jakarta dengan harga terjangkau.
Yifan saat ini masih berusia 9 tahun, namun Anak laki-laki itu sudah pandai melakukan transaksi jual beli. Apalagi dia juga sudah rajin berlatih bela diri ketika tinggal bersama dengan kakaknya Reza sebelumnya. Cukup untuk menjaga dirinya dari beberapa bahaya yang bisa mengancamnya kapan saja dan di mana saja.
Dia bersyukur bahwa selama dua tahun dia tinggal bersama dengan kedua kakaknya, banyak sekali pelajaran hidup yang dia pelajari dan lakukan.
Tiin.. Tiin..
Suara klakson mobil mengintrupsi kegiatannya dari berbenah. Sejenak ia menoleh ke arah Yuna yang tengah bermain dengan kakinya yang di angkat ke atas dan mencoba menggapai kakinya sendiri sambil bergumam tidak jelas khas balita.
"Kakak akan segera kembali." Setelah mengatakan itu pada Yuna, Yifan berlari ke depan dengan langkah tergesa-gesa dan mendapati sebuah mobil pick up telah terparkir di depan halaman rumahnya.
Seorang sopir pria paruh baya keluar dari driver bersama dengan satu temannya. Mereka tersenyum ke arah Yifan sambil membawa sebuah lembaran kertas HVS.
"Apa benar ini kediaman dari tuan Yifan Ali Arsavhin?" Tanya seorang pria pengangkut barang itu.
"Ah, benar. Saya sendiri pak. Mohon bantuannya."
Mendengar bahwa pemilik rumah adalah seorang anak kecil membuat kedua orang itu sejenak melongo tak percaya.
"Itu barang-barang yang ingin kami pindahkan, pak." Yifan menunjuk kotak-kotak yang tersusun rapi di depan rumahnya.
Karena orang-orang pengangkut barang itu tidak bisa mengabaikan pekerjaan mereka sebagai melakukan pengangkutan barang yang telah di order, mereka tidak bisa menolak dan langsung mengangkut barang-barang yang hendak Yifan pindahkan. Biar bagaimanapun juga, anak itu telah membayar lunas jasa pengangkutan barang sebelumnya.
Setelah memberitahu semuanya, dan barang-barang yang hendak di bawa sudah tersusun rapi di atas mobil pick up, Yifan segera mengambil koper dan masuk ke dalam kamarnya menjemput Yuna. Menggendongnya dengan sangat hati-hati dan lekas berangkat setelah mengunci pintu rumah.
Sejenak Yifan berdiri menatap rumah milik Reza lama dengan tatapan nanar. Ia lalu menghela nafas berat sebelum akhirnya berbalik menuju ke mobil pick up.
Sebenarnya dia sendiri merasa sangat berat harus meninggalkan rumah milik kedua kakaknya yang selama ini sudah menjadi tempat tinggalnya. Meski seharusnya dia tidak semestinya meninggalkan rumah yang bukan haknya. Namun setidaknya suatu hari nanti dirinya juga Yuna masih bisa menempati rumah lama mereka.
Sekarang Yifan hanya akan menyewakan rumah milik mendiang kakaknya itu kepada seseorang yang membutuhkan tempat tinggal untuk beberapa tahun ke depan sampai cita-citanya dan Yuna tumbuh terkabul.
"Maafkan kakak, Yuna. Kita harus pindah sekarang. Kakak janji, nanti kita akan kembali kemari lagi suatu hari nanti." Ucapnya bergumam lirih.
Namun ucapan Yifan masih mampu di dengar oleh sopir pick up yang menatap mereka simpati.
"Kenapa harus pindah, nak Yifan? Bukankah di sini sudah hidup enak?" Celetuk sopir itu di sela menyopirnya.
"Tidak Om. Aku harus mencari impianku terlebih dulu." Jawab Yifan, polos. Membuat sopir pick up itu hanya mampu tersenyum simpul, dia sadar tidak pantas untuknya ikut campur dalam urusan customer-nya.
Dari Jogja, ke Jakarta. Waktu yang harus mereka tempuh hampir delapan jam jika mereka tidak berhenti.
Namun si sopir tidak mungkin membiarkan seorang anak kecil dan seorang bayi terus duduk di dalam mobil meneruskan perjalanan mereka tanpa beristirahat sejenak sama sekali.
Alhasil, sopir tersebut mengambil inisiatif untuk berhenti setelah mereka melakukan perjalanan selama dua atau tiga jam sekali. Dengan demikian, Yifan bisa mendapatkan asupan susu formula sementara untuk Yuna.
Untuk mempersingkat waktu, Yifan hanya melakukan sekali saja mengisi botol susu Yuna lebih dari satu.
Beberapa jam kemudian, mobil mulai memasuki perbatasan kota Jakarta. Dengan Yifan yang tidak sengaja tertidur selama di perjalanan, mereka pada akhirnya sampai dengan cepat. Dan mereka telah sampai di sebuah rumah berukuran minimalis yang bersebelahan langsung dengan rumah mewah yang tak lain adalah rumah pemilik tempat Yifan menyewa kontrakan.
Jika di pikir-pikir lagi, sebenarnya akan lebih baik lagi jika mereka bisa hidup di rumah sendiri. Namun mengingat sepinya jalanan di sekitar rumahnya di kota tempat tinggalnya yang dulu, membuat Yifan merasa, pindah adalah pilihan dan solusi terbaik baginya.
Seorang wanita paruh baya namun masih terlihat cantik tengah berdiri di depan rumah minimalis miliknya yang akan di sewakan untuk Yifan. Wanita itu tersenyum hangat ke arah anak itu sambil menggendong bayinya yang Yifan yakin bahwa bayi itu seumuran dengan Yuna.
"Yifan. Kamu sudah datang, nak?" Sapa wanita itu menyambut Yifan dengan tangan terbuka.
"Oh ya, tolong masukkan barang-barangnya ke dalam sini, pak." Pinta wanita itu pada pekerja pengangkut barang saat sang sopir keluar dari driver.
"Raka!! Kemari sayang." Seru wanita itu ke dalam rumah miliknya. Yifan mengernyit ketika mendengar wanita itu memanggil seseorang dari dalam.
Muncullah seorang anak laki-laki yang masih berusia sekitar delapan tahun itu. Seorang anak laki-laki dengan surai dark brown dengan bola mata yang tajam bak mata gagak. Anak itu tersenyum tipis menghampiri wanita yang juga bersurai sama dengannya. Kedua pipinya memiliki dua buah cekungan ketika dia tersenyum.
"Tolong temani Yifan dulu, ya. Dan tolong jaga adikmu. Mama mau buatkan mereka beberapa minuman dulu." Pinta Wanita itu yang tak lain adalah ibu dari anak laki-laki bernama Raka.
"Hm. Aku mengerti." Raka menerima adiknya dari tangan ibunya. Lalu menatap ramah mata sayu milik Yifan.
"Aku dengar kamu yang akan menempati rumah sebelah. Ku harap kita bisa berteman baik, Fan." Ujar Raka, ramah.
"Senang bisa berkenalan denganmu juga. Ya, semoga. Mohon bantuannya juga." Jawab datar Yifan. Ia bahkan melebihi wajah datar milik Raka yang hanya tersenyum tipis ke arah Yifan.
Diana, nama wanita paruh baya itu kembali keluar dengan membawa nampan satu teko teh juga beberapa cangkir. Di tambah membawa beberapa potong kue kering sebagai camilan mereka, Yifan juga para pekerja pengangkut barang.
"Silahkan di minum dulu pak." katanya menempatkan nampan ke meja teras.
"Terima kasih, Nyonya." Sahut para pekerja itu lalu mengambil secangkir teh yang sudah terisi teh sebelumnya.
"Yifan. Aku dengar kamu ingin bersekolah?" Tukas Diana basa basi mulai membuka percakapan. Dia hendak mengambil alih bayinya yang di bawa oleh putranya yang lain, namun Raka menahan. Membuat Raka tiba-tiba terkekeh.
"Ah, iya Tante. Tapi aku tidak mungkin meninggalkan Yuna sendirian di rumah. Jadi aku rasa, aku tidak perlu terburu-buru untuk masuk ke sekolah dulu." Diana terkekeh kecil mendengar jawaban dari Yifan.
"Tidak perlu khawatir. Biar Tante yang mengurus dan menjaga Yuna selama kamu bersekolah."
Mendengar ucapan Diana, sontak saja Yifan merasa senang. Namun ia merasa tidak enak hati kalau harus membebankan tanggung jawabnya pada orang lain, bukan?
"Lagipula Rama anak bungsuku juga jadi memiliki teman bermain nantinya." Lanjut Diana menunjuk bayi laki-laki yang berada di gendongan Raka.
Sejenak Yifan menatap ketiganya. Memang ada benarnya yang di katakan Diana . Lagipula ini adalah alasannya untuk pindah ke Jakarta. Agar dia bisa bersekolah dan setidaknya ramai dengan orang-orang di sekitar tempat tinggalnya. Dan lagi, mendapat rumah kontrakan dengan tetangga yang baik seperti Diana bukanlah hal yang gampang. Seharusnya dia harus bersyukur mendapat tetangga yang ramah.
"Kamu akan masuk sekolah tingkat apa, Fan?" Tanya Raka. Ia masih setia menimang adik laki-lakinya yang ia gendong.
"Menengah Pertama." Jawab Yifan, singkat.
"Kalau begitu berarti sama dengan Raka. Lebih baik kalian sekolah di tempat yang sama saja. Biar Tante yang urus semuanya." Sela Deana.
"Ah, kalau memang menurut Tante itu adalah hal yang tepat untuk aku lakukan, maka aku tidak akan keberatan. Beruntung sekali aku memiliki tetangga seperti kalian." Yifan memberi rasa sikap terimakasihnya di depan Diana.
"Tidak masalah, anggap saja Tante ini seperti keluarga sendiri untuk kalian." Timpal Diana tersenyum sumringah. Ia merasa senang jika putra-putranya bisa mendapat teman bermain saat ini. Bahkan Diana juga beruntung bahwa Yifan adalah anak yang baik menurutnya.
"Maaf, Nyonya, Nak Yifan. Kami permisi untuk undur diri. Tugas kami juga sepertinya sudah selesai di sini." salah satu pekerja pengangkut barang yang tak jauh dari Diana dan Yifan berbicara itu menyela tiba-tiba setelah berfikir sejenak. Keduanya menoleh ke arah pekerja itu.
Diana lantas tersenyum seraya mengambil sesuatu dari saku celananya. Beberapa lembar uang lima puluh ribu lantas menyodorkan uang itu pada para pekerja yang kini terlihat bingung.
Keduanya saling menatap satu sama lain, yang lain berkata, "I-ini..."
"Ini sebagai tanda ucapan terima kasih. Karena sudah mengantar mereka dengan selamat, pak." Jelas Diana. Dengan itu, salah satu pekerja saling pandang satu sama lain kembali sebelum akhirnya mau menerima uang yang di sodorkan oleh Diana dengan perasaan tidak enak hati.
"Kalau begitu, kami ucapkan terima kasih banyak Nyonya." Diana mengangguk seraya tersenyum. "Kami pamit permisi." Pekerja itupun pergi dari kediaman milik Diana setelah berpamitan dengan Yifan.
Kembali Diana berbalik badan. Menatap Yifan dengan senyum yang masih bertengger di garis bibirnya.
"Seharusnya aku yang memberikan uang tip untuk mereka, Tante. Kenapa justru Tante Diana yang memberikannya?" Ucap Yifan sedikit merasa bersalah.
"Tenang saja. Uang yang untuk tip bisa kamu pakai untuk kebutuhan lain saja." Yifan diam bergeming membenarkan ucapan Diana. Memang benar, dia masih membutuhkan banyak uang untuk biaya hidupnya bersama Yuna ke depannya. Tidak mungkin ia akan menghambur-hamburkan uang dengan seenak hatinya.
"Kalau begitu, bisa aku minta tolong, Tante. Aku ingin membeli kebutuhan sehari-hari ke supermarket sebentar. Bisa nitip Yuna?"
"Tentu. Biar Raka yang mengantarkanmu naik sepeda." kata Diana menimpali.
"Sekali lagi terima kasih, Tan." Yifan membungkuk sebagai tanda terima kasih. Lantas mengambil sepedanya yang terparkir di depan rumah barunya setelah menyerahkan Yuna pada Diana untuk di titipkan. Yifan memang sengaja membawa sepeda miliknya untuk alat transportasi dirinya selama di kota baru ini.
Raka kembali menuju ke garasi rumahnya, lantas keluar membawa sepeda miliknya dan menunggu Yifan. Sedikit percakapan dengan sang ibu, membuat Raka manggut-manggut setelah menerima uang dari Diana sebelum akhirnya anak itu lalu menghampiri Yifan.
"Fan. Aku nggak ngerti, kenapa kamu pindah ke mari? Bukannya di kotamu sudah nyaman?" Tanya Raka selama di perjalanan.
"Aku udah nggak punya keluarga lagi di sana. Lagipula aku cuma tinggal berdua sama Yuna, adikku. Rasanya kurang nyaman aja kalau tinggal di rumah yang jauh dari pusat keramaian apalagi tanpa di temani orang dewasa." Jawab Yifan panjang lebar. Raka menanggapinya dengan manggut-manggut kepala paham.
Tak lama kemudian mereka berdua sampai di depan supermarket. Yifan langsung mengambil troly begitu juga di ikuti oleh Raka di belakangnya, anak itu juga di suruh oleh Diana untuk sekalian membeli keperluan rumah yang habis.
"Memang kamu bisa masak?" Kembali Raka bertanya ketika melihat barang-barang yang dibeli oleh Yifan saat ini. Meski Raka terlahir dari keluarga yang minim ekspresi, namun sifat simpatik yang ramah dari sang ibu menurun langsung kepadanya. Membuatnya jadi peduli dengan keadaan di sekitar anak itu.
"Begitulah. Tinggal sendiri memang harus bisa memasak, bukan?" Timpal Yifan.
Setelah semua yang di butuhkan lengkap, Yifan juga Raka langsung menuju ke kasir untuk membayar belanjaan mereka masing-masing. Setelah itu, mereka bergegas untuk pulang. Terlebih Yifan yang tidak mau berlama-lama merepotkan orang lain.
Tidak banyak yang ia beli. Lagipula hanya dirinya yang akan makan. Sementara Yuna, bayi itu hanya perlu susu formula saja.
Mengingat bahwa Yuna tidak mungkin lagi memiliki kesempatan untuk merasakan Asi dari ibunya, hatinya merasakan sakit. Dia menyesal karena harus memberikan Yuna yang masih balita hanya minum susu formula saja. Seharusnya Yuna masih harus mengkonsumsi susu Asi di usianya itu. Namun apa daya.
Sampai di rumah, Yifan hendak menjemput Yuna di rumah sebelah milik Diana. Tetapi baru beberapa langkah, dia urungkan. Tempat tinggal barunya belum di bersihkan. Walaupun dia merasa bahwa mungkin saja Diana sudah membersihkankan rumah ini sebelum dia tempati, namun dia perlu membenahi barang-barang miliknya ke dalam tempat yang seharusnya.
Saat Yifan masuk ke dalam rumah kontrakan untuk pertama kalinya, dia cukup terkesan dengan dekorasi di ruang tamu. Sudah ada set sofa di ruang tamu. Ada juga beberapa rak dinding yang tergantung dengan hiasan pot bunga kecil.
Namun Yifan hanya terkesan untuk beberapa saat saja. Dia dengan cepat tersadar bahwa dia tidak bisa merepotkan orang lain begitu lama.
Di dapur, Yifan melihat juga sudah ada satu set perabot dapur. Kulkas terutama. Yifan merasa bersyukur melihat ada kulkas di tempat barunya. Buru-buru Yifan membuka kulkas dan memasukkan semua belanjaan yang sebelumnya dia beli ke dalam.
Langkah selanjutnya, dia menuju ke kamarnya, menaruh beberapa box yang memang harus di letakkan di dalam kamar.
Satu jam lebih Yifan membenahi barang-barangnya ke dalam rumah. Dia menghela nafas lega setelah semuanya terlihat rapi dan bersih.
Yifan lalu beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar menuju ke kediaman milik Diana.
"Tante, aku ingin bawa Yuna pulang dulu." seu Yifan setelah masuk ke dalam rumah wanita itu, di mana dia sedang mengawasi dua bayi yang mengoceh tidak jelas di atas tikar bulu sambil menonton tv.
"Oh... Kenapa buru-buru?"
"Iya Tante. Takut Yuna ngerepotin Tante nanti." timpal Yifan merasa tidak enak hati.
"Tidak masalah kok. Rama malah seneng di temani Yuna-nya." Yifan hanya tertawa kikuk sambil mengambil Yuna hendak menggendongnya.
Dan, betapa terkejutnya dia ketika mendapati putra bungsu Diana tiba-tiba saja menangis saat ia mengambil Yuna. Bahkan tangan Rama mencengkeram erat baju Yuna yang malah si empunya tertawa kesenangan. Tapi kemudian berhenti menangis saat ia menaruh kembali Yuna yang masih tertawa sambil mengemut jarinya itu di dekat si bayi gemuk Rama.
Dan itu membuat semua orang di rumah itu sontak tertawa termasuk Yifan yang hanya mendengus geli, melihat tingkah lucu bayi gemuk yang ia tahu bernama Rama yang tidak mau di pisahkan dari Yuna. Bahkan Yifan di buat garuk-garuk kepala saking anehnya sikap bayi Rama yang terbilang tidak mau terpisah dari Yuna itu.
"Kalau begitu aku permisi dulu, Tante." Pamit Yifan, setelah yakin bahwa Rama tidak akan lagi menangis.
"Oh ya. Fan, Yuna sudah tante susui. Jadi kamu tidak perlu lagi membuatkan susu formula untuknya." Mata Yifan seketika melebar tidak percaya.
"Maaf tante. Kalau Yuna sudah merepotkan Tante Diana lagi." Yifan membungkuk meminta maaf. Ia merasa tidak enak hati karena baru saja dia tiba di kota ini tapi malah sudah merepotkan orang lain.
"Tidak apa-apa, kok Fan. Santai saja. Tidak perlu berterima kasih atau meminta maaf sama Tante. Lagipula Tante ikhlas membantu kalian."
"Emm... Baiklah kalau begitu, Tante. Sekali lagi, Yifan ngucapin banyak terima kasih. Yifan sama Yuna permisi dulu, Tante."
Diana hanya merespon seadanya.
******************
Yifan menatap Yuna yang kini tertidur lelap dalam gendongannya. Ia tersenyum tipis melihat Yuna yang tidak rewel akhir-akhir ini. Hal itu membuatnya mudah mengurus adiknya tanpa merasa kerepotan. Seolah, Yuna menyadari jika dia melakukan kesalahan dengan susah di urus, kakaknya akan mengalami masalah.
Sejenak Yifan melirik jam di nakas kamar tidurnya. Tempat tidur yang ada di dalam ruang kamar itu memiliki sekat dengan jendela. Namun juga membuatnya mampu untuk melihat pemandangan dari luar jendela. Tempat tidurnya cukup lebar sehingga dirinya tidak perlu khawatir ketika harus meninggalkan Yuna seorang diri. Yang bila sewaktu-waktu Yuna terjatuh dari atas tempat tidur ke lantai tanpa pengawasannya.
Merasa bahwa Yuna sudah tidak lagi bergerak, Yifan beranjak pergi menuju ke dapur. Di ambilnya beberapa bahan sayuran untuk membuat menu makan malamnya. Meskipun rumah yang dia sewa terbilang sederhana, namun Diana yang mengetahui bahwa orang yang akan menyewa rumahnya adalah seorang anak yang belum cukup umur, Diana dengan baik hati melengkapi isi rumah tersebut dengan cukup lengkap.
Dari mulai perabot kamar tidur, perkakas dapur, dan juga perabot ruang tamu. Memang terbilang sederhana, namun cukup untuk membuat rumah yang di tempati oleh Yifan sangat nyaman. Dan Yifan merasa tersanjung akan kebaikan Diana.
Hampir satu jam Yifan berkutat di dapur hanya untuk membuat hidangan ringan makan malam untuk dirinya sendiri. Sendirian menikmati makan malam, rasanya kurang nikmat. Dia berharap Yuna segera cepat tumbuh. Agar bisa menemani dia makan bersama setiap harinya.
Haă…ˇah.. Masih terlalu lama. Pikirnya.
Seusai makan, Yifan mencuci piring dan gelas bekas makannya di wastafel dapur lalu membereskan perlengkapan makannya ke tempat semula. Setelah semua selesai, anak itu segera beranjak menuju kamar tidurnya. Dia tidak mungkin menempati kamar yang berbeda dengan Yuna untuk saat ini. Jadi dia memutuskan untuk tidur di tempat tidur yang sama dengan Yuna.
Rumah yang dia sewa memiliki dua kamar tidur. Namun hanya ada satu kamar dengan kamar mandi di dalamnya. Yaitu kamar yang saat ini mereka tempati. Dan kamar itu berada di lantai dua. Sedangkan kamar tidur yang lain, berada di lantai dasar dengan kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur.
Tidak mudah dia mendapatkan kontrakan rumah berlantai dua dengan harga cukup murah.
Yifan mulai merebahkan tubuh lelahnya lalu memiringkan tubuhnya menghadap Yuna yang sudah terlelap tidur. Ia tersenyum menatap wajah damai adiknya.
"Setidaknya masih ada kamu di sampingku, Yuna. Lekaslah tumbuh besar. Aku menyayangimu, dek." Yifan mengecup sekilas kening adiknya dan terakhir pipi gembil semerah cherry milik Yuna singkat.
"Selamat malam, Yuna. Semoga mimpi indah."
Detik berikutnya, Yifan dengan cepat terlelap dalam tidurnya sembari memeluk tubuh Yuna. Anak itu menempel, mendekatkan pipinya pada pipi gembil milik Yuna sebelum akhirnya menyelami alam mimpinya.
******************
Kriiiiing....
Bunyi alarm jam di kamar Yifan berdering dengan nyaring. Tidak lama setelah itu, anak tersebut terbangun dan meraih tombol alarm untuk mematikannya.
Sejenak Yifan menoleh kembali ke arah adiknya yang ternyata sudah terbangun. Bayi itu sedang bermain dengan jari-jari tangannya seraya tersenyum kegirangan. Dan hatinya terasa tergelitik melihat tingkah lucu adiknya. Dia bersyukur Yuna terbangun tanpa menangis dan rewel.
Pukul 04.00 subuh Yifan segera masuk ke kamar mandi hanya untuk membasuh mukanya. Merasa sudah segar, anak itu menyeret kakinya menuju ke dapur. Membuat susu untuk sarapan Yuna kalau-kalau adiknya itu tiba-tiba menangis karena rasa lapar.
"Selamat pagi, Yuna. Apa kamu lapar, huh?" Sapa Yifan, ia duduk bersila di samping adiknya. Mengocok perlahan botol susu yang baru di buatnya dan mengetes suhu air.
Kedip, kedip. Berkali-kali Yuna mengedipkan matanya yang lucu dan menatap langit-langit kamarnya dan terkadang melirik Yifan. Tersenyum, bergumam tidak jelas hingga menjerit girang dengan cengiran lucu. Hal itu membuat Yifan merasa gemas di buatnya.
Namun sedetik kemudian Yuna terlihat hendak merengek dan akhirnya tangisnya pun pecah. Yifan tertawa kecil lantas memberikan botol susu berisi susu formula ke dalam mulut adiknya.
Cukup lama Yuna mengenyot botol susunya hingga menghabiskan setengah botol susu. Yifan mencoba untuk mengambil botol yang di pegang oleh tangan mungil Yuna dan bayi itu terdiam. "Sekarang, waktunya Yuna untuk mandi."
Dengan sangat hati-hati, Yifan menyingkap semua pakaian Yuna dan membawa tubuh bayi itu ke dalam kamar mandi untuk mandi air hangat yang sudah anak itu persiapkan sebelumnya.
Selembut mungkin Yifan memandikan adiknya dengan sangat hati-hati. Hingga saat tubuh mungil itu menyentuh air, kedua iris honey brown milik Yuna langsung membulat sempurna. Yifan tertawa melihat wajah lucu adiknya yang sepertinya terkejut namun secara bersamaan merasa senang. Terlihat dari wajah Yuna yang kadang tersenyum dan tertawa girang.
"Badanmu sudah wangi sekarang. Saatnya memakai baju~... " Di lilitkannya handuk lembut ke tubuh Yuna yang basah lalu membawanya kembali ke kamar. Ia pakaikan minyak telon ke tubuh dingin Yuna dan memupuknya dengan bedak powder beraroma jeruk. Memakaikan popok yang sudah ia beli sebelumnya.
"Giliran kakak yang mandi. Jangan nakal, Ok? Yuna anak pintar, kan?"
Setelah dia selesai mengurus kebutuhan Yuna, Yifan kembali lagi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Tak butuh waktu lama baginya mandi. Ia bersiap untuk membawa adiknya berjemur di bawah matahari pagi. Dari buku yang dia baca, sangat baik untuk bayi berjemur di bawah sinar matahari yang masih pagi untuk melancarkan peredaran darah dalam tubuhnya. Yifan tentu tak akan menyia-nyiakan hal itu untuk kesehatan adiknya.
Ketika dia keluar dari rumah, Yifan cukup terkejut saat melihat Raka yang juga berada di luar rumah tengah berjemur dengan menggendong Rama adiknya.
Raka tersenyum kala sadar akan keberadaan Yifan yang berdiri tidak jauh darinya. "Hey, Fan. Berjemur?" Sapanya.
"Hm." Balas Yifan singkat, dia hanya tersenyum tipis. Ia lalu menghampiri Raka dan duduk di sampingnya.
"Kamu juga sering melakukan ini bersama adikmu?" Tanya Yifan, berbasa basi. Raka mengangguk seraya bergumam sebagai respon.
"Oh ya, ibuku berpesan tadi sama aku. Nanti pukul sembilan kita akan ke sekolah baru untuk melakukan pendaftaran siswa baru." Ujar Raka, memecah keheningan di antara mereka.
Yifan terkesiap, sebelum kembali menetralkan ekspresinya itu dengan wajah datar, "Aku kira itu hanya karena ibumu sedang bercanda. Ternyata benar?" Raka tertawa lirih menanggapi ucapan Yifan.
"Dia tidak pernah main-main dengan apa yang sudah dia katakan."
******************
Sesuai perkataan Diana, Yifan pada akhirnya terbujuk untuk melakukan pendaftaran ke sekolah yang sama dengan putra sulungnya一Raka, setelah sebelumnya Diana berusaha untuk membujuk anak itu.
Seharusnya Raka masih berada di bangku sekolah dasar. Namun karena Raka sempat melakukan homeschooling dan bisa mendapatkan ijazah sekolah dasar saat usianya masih sembilan tahun, ia bisa mendaftarkan dirinya ke bangku sekolah menengah pertama.
Yifan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru sekolah. Melihat bagaimana kondisi sekolah baru yang akan dia kunjungi setiap hari itu membuatnya merasa minder. Yifan bahkan sama sekali tidak mengenal siapapun di sini. Hanya Raka saja yang ia kenal. Apalagi di lihat dari segi manapun sekolah ini terbilang cukup mewah dan berstandar internasional. Mana bisa ia membiayai sekolahnya di sini? Pikirnya.
"Hey, Fan. kamu sangat beruntung. Pihak sekolah memberikan kelonggaran biaya sekolah untukmu karena tes masukmu mendapat nilai di atas rata-rata." Celetuk Raka tiba-tiba. Mengejutkan? Tentu saja.
Yifan baru saja memikirkan bagaimana caranya mendapatkan biaya sekolah di sini nanti kedepannya, namun sedetik kemudian dia mendapat jawaban atas kegusaran di hatinya. Bahwa dia berhasil mendapatkan beasiswa karena kecerdasannya. Yuna yang ada di gendongan Yifan memekik girang mencoba menggapai-gapai wajah Yifan. Seolah bayi itu juga ikut bahagia mendengar berita dari Raka.
Yifan tersenyum ke arah adiknya hingga membuat matanya menyipit.
"Terima kasih, Yuna. Aku senang kamu juga ikut bahagia untuk kakak." Tukasnya pada sang bayi yang ia gendong.
Diam-diam, tidak jauh darinya ada seorang gadis yang memiliki surai pendek sebahu dengan tahi lalat tipis di sisi pipi kanannya tengah mencoba untuk mencuri-curi pandang ke arah Yifan, merasa penasaran. Bahkan ia sampai mengabaikan temannya yang sedari tadi mengajaknya mengobrol demi memperhatikan wajah misterius milik laki-laki bersurai dark brown itu. Di mana saat ini tengah bercanda bersama seorang bayi di gendongannya.
"Riana? Kau dengar aku?" Seru anak laki-laki dengan model rambut jabrik ketika sadar bila perhatian gadis di depannya tak sedang memperhatikannya.
"Riana!!"
"Ah, ya, Vin. Ada apa?" Gadis itu terlonjak kaget dan salah tingkah. Namun lagi-lagi matanya teralihkan pada sosok Yifan yang kian lama kian menghilang dari jarak pandangnya.
Kevin, nama laki-laki yang bersama gadis itu mencoba mengikuti arah pandang Riana. Namun laki-laki tersebut mengernyit tidak mengerti ketika tak menemukan siapapun yang mencuri perhatian Riana darinya.
Gadis itu berdecak, menghembuskan nafas kecewa dan itu semakin membuat Kevin meliriknya curiga. "Kamu lihatin apa, sih? Kok sampai kamu bahkan ngabai'in aku, Na?" cicit Kevin merajuk, meminta penjelasan.
Riana menggeleng lembut dengan senyuman yang membuat kedua matanya menyipit seketika.
"Tidak ada. Aku kira aku melihat orang yang 'ku kenal tadi." Elaknya menampik. Kevin menaikkan sebelah alisnya menatap gadis bernama Riana ragu.
"Benarkah?" Riana mengangguk mantap ke arah Kevin dengan wajah polosnya tanpa dosa. Berharap anak laki-laki di hadapannya itu bisa percaya padanya.
Dalam hati ia berharap. Semoga saja nanti dirinya bisa bertemu dengan pemuda yang diam-diam telah menarik minat hatinya itu. Pemuda yang baginya sangat misterius.
'Ku harap kita bisa kenal lebih dekat lagi.'
******************
"Yoana, apa kamu di dalam?" seorang pria yang di perkirakan sudah berusia 60 tahunan berseru memanggil seseorang dari arah ruang tamu rumahnya.
Tidak lama kemudian, terdengar suara derap langkah dari ketukan sepatu high heels milik seorang wanita dari arah tangga. Pria itu tersenyum tipis, namun tidak tersenyum ke arah wanita itu. "Ada kabar baik."
Wanita itu tidak menyahut, dan terus berjalan turun menuruni tangga dengan perlahan menghampiri pria tua itu.
Jika di perhatikan, wajah wanita itu dengan pria itu seolah ayah dengan putrinya. Namun sebenarnya, mereka adalah sepasang suami istri. Pria itu terlihat jelas jika usianya telah berumur. Namun wanita yang di panggil Yoana itu, meskipun usianya telah menginjak hampir lebih dari 55 tahun, wajahnya terlihat seperti wanita yang baru saja berusia 35 tahun.
Jelas bahwa perawatan wanita itu tidaklah perawatan skincare yang abal-abal.
Pria itu menarik dasi, lalu mengoyaknya untuk di longgarkan. Berjalan ke arah ruang keluarga, dia merebahkan pantatnya di atas single sofa. Pria itu menghela nafas nyaman menghempaskan punggungnya yang lelah ke sandaran sofa.
Melihat wanita yang dia panggil Yoana itu juga telah duduk di dekatnya, dia tersenyum semakin lebar. "Aku mendapatkan kabar bahwa Reza berada di kota Indonesia."
"Benarkah? Bagaimana bisa kamu tahu?" Yoana skeptis saat mendengar berita baik dari mulut suaminya. Karena yang dia tahu, Hansă…ˇsuaminya, sama sekali tidak pernah peduli dengan apa yang tengah di lakukan putranya selama ini.
Reza adalah putra satu-satunya di keluarga Hans dan Yoana. Keduanya hanya memiliki satu keturunan. Yoana bahkan tidak memiliki kesempatan untuk memiliki anak kedua. Hal itu di karenakan Yoana yang sebelumnya sempat mengalami keguguran setelah dua tahun kelahiran Reza.
Diagnosa yang ia terima yaitu, bahwa rahimnya mengalami benturan yang cukup keras sehingga membuat rahimnya mau tidak mau harus menderita kerusakan permanen. Hal itu membuat dirinya tidak mampu untuk memiliki buah hati kembali.
Namun beruntung. Setidaknya masih ada Reza yang lahir sebelum peristiwa itu terjadi.
Setelah Reza beranjak dewasa, Hans hanya ingin putranya meneruskan bisnis yang telah ia geluti selama hidupnya. Menggantikan dirinya jika suatu saat nanti dia harus melepas masa jabatannya.
Siapa yang tahu bahwa Reza malah memilih mengejar impiannya di bandingkan mengurus bisnis perkantoran milik ayahnya.
Tentu saja keputusan Reza mendapatkan kecaman dari Hans dan juga Yoana. Hal tersebut menyebabkan keduanya murka karena amarah. Tapi siapa yang akan menyangka, bahwa Reza ternyata merupakan pribadi yang keras kepala dan tidak ingin di bantah termasuk orangtuanya.
Anak itu memilih jalan hidupnya sendiri. Meninggalkan semua harta benda yang pernah di berikan oleh Hans dan juga Yoana kepadanya. Dia hanya berbekal dua kain pakaian dan juga uang hasil jerih payahnya sendiri selama bekerja paruh waktu di waktu luangnya. Pergi dari rumah dan merantau ke luar negeri.
Hans percaya, bahwa Reza tidak akan mungkin bisa bertahan lama di negeri orang selama lebih dari sehari. Dan dia juga meyakini bahwa Reza pasti akan pulang dan memohon kepadanya. Mengakui segala kesalahan yang telah di perbuat sebelumnya. Namun, apa yang Hans percayai ternyata tidak juga mendapatkan hasil. Justru putra semata wayangnya itu semakin menjadi.
Sehari, dua hari, tiga hari, hingga akhirnya hari berganti minggu. Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Reza tidak juga pulang ke rumah dan semakin membuat Hans dan Yoana cemas.
Dan sekarang, setelah mengerahkan seluruh detektif handal untuk mencari keberadaan putranya, Hans mendapatkan hasilnya.
Reza tidak pernah mengatakan di mana dia akan pergi. Hal itu menyebabkan Hans berusaha keras mencari keberadaan Reza di dalam negeri dan di luar negeri. Namun Hans tidak pernah menduga bahwa Reza akan pergi ke Indonesia. Negara tanah kelahirannya.
"Apa kamu yakin itu benar-benar Reza kita, Hans?" Yoana kembali bertanya.
"Tentu saja aku yakin, Yoana. Kita akan ke sana lusa. Aku sudah memesan tiket pesawatnya." Yoana diam bergeming, Hans tersenyum maklum. Dia tahu, istrinya masih belum percaya bahwa dirinya telah benar-benar berubah setelah kejadian beberapa tahun silam.
Tapi setidaknya, dia telah berusaha mencari keberadaan putranya. Biar bagaimana pun juga, Reza tetaplah putra semata wayangnya. Anak satu-satunya dari keluarganya. Pewaris perusahaannya. Bagaimana bisa dia membenci putra yang sangat dia sayangi dulu hingga sekarang?
Yoana mulai percaya. Dan dia ingin mempercayainya kata-kata dari suaminya.
.
.
.
To be Continued....