Saat itu, ada gadis yang berdiri tertiup angin di atas atap gedung (entah tempat apa itu) dini hari dan kejadiannya di distrik sebelah.
Di sebelah gedung itu ... berbatasan dengan air sungai yang dalam, dan dia sudah memantapkan diri akan terjun ke sana ....
Menurut informasi, buaya-buaya di sana sangat ganas dan memiliki rasa lapar yang kuat. Tempat itu sangat cocok!! Pikir cewek itu ....
Tak peduli bila dia bisa mati diperut buaya, mayatnya tidak akan pernah ditemukan.
Sebelum dia melompat, dia berkata ... "Tunggulah, aku akan menyusulmu."
....
Dia segera melompat ke sungai jernih yang airnya tampak tenang, padahal jauh di dasar sana banyak buaya.
Begitu dia benar-benar melompat dari gedung itu ....
Dia sudah tenggelam hampir ke dasar sungai ....
Para buaya yang mencium aroma daging itu langsung menghampirinya, menyantap, dan berebut. Sempat terlihat genangan air yang membentuk pusaran di sungai itu berwarna merah darah ....
'Kirmizi ....' warna itu ... warna merah darah yang membuat orang yang melihatnya ketakutan ... burung hantu pun bertengger dan bersiul ... kucing berwaran hitam kelam melewati jalan di atasnya.
Kejadiannya dini hari dan tidak ada satu pun yang tahu, hanya saja ....
Salah satu saksi yang melihat kejadian itu hilang begitu saja ....
Tidak ada yang tahu seperti apa gadis itu mati dan bagaimana dia meninggalkan dunia ini ....
Tidak ada yang tahu.
Hanya kabar simpang siur yang dipercaya kalau gadis itu bunuh diri.
Rumornya tersebar hingga ke telinga roh laki-laki itu, yang hingga kini ingin mendengar jawaban gadis itu ....
________
Roh laki-laki itu kemudian berpikir aneh setelah menceritakan kabar sang gadis itu bunuh diri tanpa tahu keberadaan bunuh diri atau tewasnya gadis itu ....
"Kenapa dia tidak mengabariku? Tapi, aku merasakan begitu sebelum ada kabar dia bunuh diri ... aku merasakan dia seperti menyampaikan sesuatu padaku." Jelasnya sambil berpikir aneh. Mungkinkah itu dying message-nya? Pikirnya sambil menatap kosong piring yang sudah kosong setelah dia menghabiskan makanan pencuci mulut ini.
"Apa yang waktu itu kamu rasakan?" tanyaku penasaran pada roh laki-laki ini.
"Aku merasakan ... suara seseorang yang sama memanggilku dan bilang akan menyusulmu." Jelas roh laki-laki itu dengan anehnya.
Lantas apa yang menunggunya di sana?
Kita tidak akan pernah tahu.
"Tapi, jika dia (gadis yang menjadi kekasihnya dulu) benar-benar sudah tidak ada di dunia ini ... akankah kau menemuinya di alam sana?" tanyaku dengan memberikan sedikit perhatian padanya. Tampaknya setelah menceritakan kejadian itu, dia menjadi sedikit lebih tenang.
Dia menundukkan kepala dengan murung, dia masih memikirkan jawaban yang pas untuk dikatakan padaku ....
"Terima kasih, atas makanan pencuci mulutnya." Dia tersenyum lembut dan tiba-tiba air matanya terjatuh tepat di piring itu.
"Loh, kok!" tentu saja aku sangat terkejut dengan ekspresinya yang tetiba sedih, padahal selama bercerita dia tidak menunjukkan kesedihannya sama sekali. Roh yang tampak kesepian itu ... mungkin tidak bisa membendung air matanya lagi, meski dia mengusapnya, air matanya terus mengalir semakin keras.
"Ano ...." Aku mencoba menenangkannya.
"Ya, itu jawabanku." Kata roh itu dengan sungguh-sungguh.
....
Aku berusaha tersenyum tipis padanya, dan hendak menenangkannya dengan cara menepuk pundaknya ....
Kupikir, dia pasti butuh sentuhan hangat seorang perempuan.
Begitu aku berdiri di sampingnya, menyentuh pundaknya ....
Tiba-tiba ....
"Eh!! Apa ini!?" dia membelalakkan mata terkejut, kedua tangan roh itu perlahan menghilang.
Aku juga terkejut, dan tiba-tiba tangannya yang menghilang itu menjadi sebutir cahaya bak kunang-kunang berterbangan. Roh yang kesepian itu tersenyum dengan optimisnya dan melayang di udara ....
Rantai yang mengikat jiwanya di pohon sakura perlahan terputus dan dia tidak akan terikat pohon sakura lagi.
"Kau kenapa?" tanyaku heran dengan sedikit kaget dan mencoba menyentuh sisa-sisa tubuhnya yang melayang di udara itu.
Dia tersenyum ceria di depanku dengan optimisnya, "Sayonara ...." Dia mengatakan perpisahan yang menurutku menyakitkan.
'Kenapa?'
'Kenapa dia meninggalkanku begitu cepat?'
'Padahal baru saja kita berteman ....'
'Baru saja kita berbicara ....'
'Rumah ini sepi kembali ....'
'Aku sudah tidak takut dengan roh lagi, aku sudah biasa namun, kenapa dia menghilang dengan cepat?'
'Apakah dia ... sudah berhasil mencapai surga? Dan bertemu kekasihnya?'
'Kenapa ... perpisahan setelah mendengarkan ceritanya itu ... sangat menyakitkan?'
'... Menjadi sesakit ini?'
****
Aku segera membereskan piring yang sudah kami gunakan untuk makan puding.
Uangku mulai menipis, mungkin hanya beberapa bulan saja aku bisa makan dengan uang hasil penjualan rumah itu. Aku harus berhemat ....
Aku segera mencuci piring dan tempat puding itu, sebentar lagi aku harus memberikannya pada Hajime. Tak lupa, aku menghidupkan lampu rumah ....
Hari sudah mulai gelap.
Senja di ufuk barat pun mulai tenggelap dan berganti lampu jalanan di malam hari yang bersinar.
Aku segera ganti baju, kuletakkan seifuku-ku di bak kotor dan nanti akan kucuci begitu kembali dari mengembalikan piring ini ke rumah tetangga.
Aku bersiap-siap untuk keluar, dan memasang sandal gapit di kakiku.
Begitu aku hendak membuka pintu ....
Terdengar suara siapa yang mengetuk pintu rumahku, apakah itu roh? Atau manusia? Tapi, aku merasakannya ... tampaknya itu manusia ... aku merasakan auranya yang tidak asing itu.
Entah kenapa ... aku mulai bisa membedakan aura seseorang dengan roh tanpa bertemu tatap muka. Apakah ini kemampuan spiritualku? Apakah kemampuan ini mulai meningkat tajam?
Biasanya kisah seperti ini hanya ada di drama horor, thriller, mistery, ataupun anime-anime ....
Tapi, apakah kemampuan ini berlaku untukku yang berada di dunia nyata?
"...."
Ketukan pintu itu semakin lama semakin keras, dan aku pun segera membukanya ....
Siapa orang yang mengetuk pintu rumahku ini?
Begitu aku mengintipnya dari lubang kunci tidak ada siapa pun ... tapi, begitu aku benar-benar membuka pintu rumah ini, DEG!!!
'Dekat!'
'Wajahnya terlalu dekat!'
Aku mundur perlahan dan tak sengaja wajah kami secara refleks menjadi dekat begitu aku membuka pintu menyentuh engsel di pintu itu, dia juga memegang ensel pintu dari luar.
Wajahku memerah dan segera memalingkan pandangan darinya lalu menutupi wajahku dengan tempat puding itu.
"Haruka ...." Dia memanggilku dengan suara yang agak ditekan bagaimana gitu, karena melihat sikap anehku yang sedang terkejut melihatnya.
Begitu aku yang tadinya malu dipandangnya dengan jarak wajah begitu dekat, aku mundur beberapa langkah menjaga jarak darinya.
Lalu, aku menurunkan tempat yang seperti tatakan puding itu dari wajahku.
"Ha-ha-jime ...." Kenapa aku jadi gugup begini, dan lagi-lagi, dia menemuiku.
Padahal aku hendak menemuinya untuk mengembalikan tempat puding ini ....
Dia tersenyum tipis padaku kemudian membenarkan kacamatanya ....
"Selamat malam, Haruka." Dia mencoba salam untuk sopan padaku.
"Um, selamat malam, Hajime ...."