Motor yang di kendarai Daniel berhenti karena lampu merah.
"Davina saya mau nanya".
"Ya".
"Kenapa kamu bisa berada di tempat itu. Padahal kamu bilang tadi kalau kamu tidak mengenali tempat itu".
Aku hanya diam, tidak ada niatan untuk menjawab ucapan Daniel.
Hal ini menjadi penyebab suasananya menjadi sedikit canggung.
Kugigit bagian dalam bibirku. Mengingat akan ada bencana besar yang akan menghampiriku nantinya
"Daniel, boleh antar kan aku ketempat kerjaku saja." ucapku memecahkan keheningan diantara kami.
Daniel mengangguk, lalu kusebutkan alamat tempat perusahaan aku kerja .
"Terimakasih banyak Daniel". Kusodorkan helm miliknya yang kupakai sedari tadi.Saat ini kami telah sampai diperusahaan tempatku bekerja.
"Sama-sama Davina, kuharap kita bisa berteman".
"Tentu saja kita bisa berteman".
Daniel tersenyum kearahku, membuatku ikut tersenyum.
"Sebentar". Daniel merogoh saku celananya.
"Ini". Daniel menyodorkan secarik kertas putih kehadapanku.
"Apa ini?". tanyaku sambil menerima kertas itu dan membukanya.
"Itu nomor ku, kuharap kamu menyimpannya, supaya kita bisa berteman".
Jelas Daniel sambil menunduk, sepertinya dia malu-malu.
"Baiklah.Nanti akan kuhubungi saat aku telah membeli ponsel baru".
"Oke , kalau begitu aku pamit pulang. Selamat bekerja Davina. Dan jika kau butuh batuan kau boleh menghubungiku".
"Baiklah Daniel akan kuhubungi nomormu dan merepotkan mu lain kali." candaku sambil memasukkan kertas itu ke dalam saku blazerku.
"Hati-hati". lanjutku saat motor yang dikendarai Daniel menjauh.
Kulangkahkan tungkai kakiku, tujuanku saat ini adalah ruangan milik Boss ku, Pak Steven. Aku berjalan cepat bahkan setengah berlari.
Sial sekarang sudah jam dua siang.
Aku harus cepat sampai keruangannya untuk memberi tahukan kejadian sewaktu aku dirampok. Dan meminta ijin bahwa aku tidak bisa mengikuti penerbangan untuk jumpa klien jam empat sore nanti.
tok..tok...tok...
"Permisi Pak".
Tanpa basa basi langsung kubuka engsel pintu dan hasilnya nihil.
Hening.
Ruangan Pak Steven kosong. Sepertinya Pak Steven sedang tidak berada di kantor saat ini.
Aku berbalik lalu setengah berlari menuju lantai bawah. Menjumpai resepsionis yang kukenal, Winda.
"Win, lo tau di mana si Pak Boss?".
"Lho bukannya Pak Boss sama kaka ya?".
"Ya Enggak lah Win, kalau gue ikut sama si Pak Boss, ngapain juga nanyain keberadaan Pak Boss sama lo". Jelasku .
"Ia juga sih. Ehhehheh..... Karena tadi aku lihat Pak Boss pergi berdua sama kaka sewaktu jam makan siang.".
Aku mengangguk, paham maksud Winda, dia terakhir kali melihat si Pak Boss keluar dari perusahaan ini saat jam makan siang dan saat itu aku sedang bersama Pak Boss. Itu artinya setelah menelantarkanku di pinggir jalan, Steven tidak kembali lagi kekantor ini. Kemungkinan besar dia berada dirumah nya saat ini.
"Win".
"Kenapa ka".
"Boleh pinjam duit kamu nggak?".
"Berapa ka".
"Duaratus ribu. Bulan depan aku bayar Win. Aku nggak ada duit sekarang. Tadi aku kecopetan. Semuanya hilang, tas aku yang berisi data-data pribadi, ponsel dan juga dompet". Jelasku ke Winda, jujur saja suaraku bergetar saat menjelaskannya ke Winda. Sakit sekali hatiku mengingat kejadian tadi. Ingin menyalahkan Si Boss, tapi tak mungkin aku menyalahkannya. Yang ada aku yang dipecat dari perusahaan ini.
"Astaga, tapi kaka baik-baik sajakan?" Winda menutup mulutnya, sungguh dramatis sekali. Kugelengkan kepalaku sambil tersenyum.
"Syukurlah, ini ka". Winda menyodorkan empat lembar uang pecahan limapuluh ribu.
"Makasih banyak ya Win, nanti kalau udah gajian, uang kamu bakalan aku ganti ".
"Sama-sama ka". Winda mengangguk.
"Kalau begitu aku pergi dulu ya".
"Hati -hati ka". Kuanggukkan kepalaku sambil berlalu pergi..
Aku berlari menuju jalan raya, mencari angkutan yang bisa membawaku kerumah yang ditempati oleh Pak Steven. Sepertinya Pak Steven sekarang sedang berada di rumahnya.
Tepat pukul dua lewat tigapuluh menit aku baru tiba di rumah Pak Steven.
kutekan bel rumah nya, sambil sesekali merapalkan doa. Berharap Pak Steven bisa memaklumi kejadian yang menimpaku saat ini.
Sudah hampir lima menit aku berdiri di sini tapi Pak Steven tidak juga menunjukkan batang hidung nya.
Aku tidak menyerah, lagi dan lagi ku tekan bel itu.
Dan hasilnya sama Pak Steven tidak keluar juga dari rumah nya. Kutarik nafasku perlahan dan menghembuskannnya pelan. mengumpulkan keberanian ku lalu kutekan pasword pada pintu nya hingga pintu yang berada dihadapanku terbuka.
"Màaf Pak atas kelancangan saya". ucapku pelan saat kaki kananku memasuki rumah mewah nya Pak Boss.
Aku berjalan menuju ruangan yang kutahu sebagai kamarnya.
Aku mendekati pintu putih yang saat ini terlihat tertutup rapat.
tok..tok..tok...
"Permisi pak".
panggilku dengan suara lembut, berusaha tenang walau sebenarnya jantungku ingin meloncat keluar sekarang.
"Pak." . panggilku lagi.
Karena tidak ada sahutan. Aku memberanikan diri memutar engsel pintunya. Sehingga menampilkan sebagian keadaan kamar Pak Steven.
"Halo Pak Steven". Aku melangkah memasuki kamarnya. Kuedarkan pandanganku keseliling dan bisa kulihat di ujung ranjang ada sebuah jaket denim hitam.
Itu artinya Pak Steven masih berada di sini, dirumahnya.
"Davina".
Suara itu, suara milik Pak Steven. Sontak aku berbalik.
Ada pak Steven disana yang baru selesai mandi, dengan handuk yang meliliti perut bagian bawahnya.
Aku terpesona saat melihat perutnya yang atletis, astaga sexy sekali.
"Vina".teriak Steven dengan nada meninggi membuatku cukup kaget.
"eh iya Pak".
"Ngapain kamu masuk kekamar saya?". Pertanyaan pertama yang diucapkan oleh Pak Steven, dirinya berjalan kearahku sambil berkacak pinggang. Membuatku semakin salah fokus melihat tubuhnya yang berotot, sungguh aku ingin memegang otot itu. Bagaimana rasanya? Sungguh membuatku penasaran ingin menyentuhnya.
"Vina". panggilan keras Steven sekali lagi membuatku tersadar dari lamunanku. Jorok sekali pikiranku, astaga.
"i..itu. Pak. Saya nunggu Bapak di luar saja"
Dengan Cepat aku berjalan menuju pintu memutar engselnya. Keluar dari kamar Pak Steven dan menutup pintu itu cepat dengan sekali gebrakan sehingga mengeluarkan suara yang cukup besar.
.
Blam...
"Maaf Pak". teriakku cepat dari luar kamar sebelum dimarahi oleh Steven.
Setelah hampir lima menit aku berdiri didepan pintu kamar Steven. Akhirnya Steven pun keluar dengan jaket denim hitam yang kulihat tadi tergeletak diatas ranjang.
"Dimana barang-barang kamu?".
tanya Steven.
"Maaf sebelumnya Pak.Tapi sepertinya saya tidak bisa ikut keluar kota sore ini Pak". jelasku pelan dengan kepala tertunduk. Takut kalau Steven marah.
Terdengar helaan nafas Steven keras.
"Alasannya?". Tanya nya sambil berkacak pinggang.
"Tadi saya kecopetan Pak. Semua kartu identitas saya ada di dalam tas saya yang diambil oleh penjahat dan juga ponsel saya Pak".
Steven hanya mengangguk pelan, dengan tangan kiri yang masih menempel pada pinggang, Steven merogoh sakunya dengan tangan kanannya.
"Halo, Johan tolong siapkan mobil segera. Saya akan kebandara sekarang. Ok. Baik. Saya tunggu lima belas menit lagi."
pak Steven menutup telpon nya, sambil melihat ku sekilas.
"Kamu boleh pulang".
"Hah". Aku terkejut, dengan ucapan Steven.
"Sa ..saya diperbolehkan pulang Pak?". Tanyaku kembali memastikan ucapan Pak Steven, sungguh aku tidak percaya dengan ucapannya.
Steven mengangguk lalu dengan cueknya berbalik mungkin ingin membali masuk kedalam kamarnya.
"Bulan ini gaji kamu tidak ada".
Blam..
Terdengar suara pintu kamar Pak Steven yang ditutup dengan keras.