Setelah melaksanakan solat Isya mereka berbincang di ruang tv. Perut Indana keroncongan Tania segera ke dapur untuk memasak nasi goreng.
Rifai keluar dari tempat solat, Rifa'i bermain ponsel sambil berjalan menghampiri Putri kecilnya. Pria ini terlihat sangat tampan dengan sarung hitam dan baju koko warna putih tulang.
"Hai Sayang lagi ngapain?" tanya Rifa'i duduk di samping Indana.
"Ayah ... lihat apa sih seru banget?" Indana malah balik bertanya sambil mengintip layar ponsel milik ayahnya.
Rifa'i segera menutup ponselnya agar Indana tidak tahu apa yang dilihat Ayahnya.
"Apa sih ... Sayang Ayah tidak melihat apa-apa," Rifa'i menutup ponselnya lalu mengambil buku pelajaran milik Indana.
"Ada PR tidak sayang, kalau ada PR harus dikerjakan, sini Ayah bantu," ujar Rifa'i sambil membalikkan kertas.
"Heh. Ayah telat, semua sudah dikerjakan sama tante Tania," jawab Dana melipat kedua tangan di depan perut.
"Yang kerjakan kamu atau tante Tania? Itu tugas kamu, kamu yang harus mengerjakan, kamu kan yang sekolah, jadi kamu yang harus mandiri oke sayang, Ayah nggak marah, Ayah hanya sekedar menasehati karena itu untuk kebaikan kamu sendiri. Masa yang sekolah kamu yang ngerjain tante Tania kalau kalau juara Siapa yang mendapat coba Jadi kamu harus belajar ya ...." ucapan Rifa'i sangat halus agar Indana mengerti dan tidak marah.
"Yang mengerjakan aku Ayah, tante Tania hanya membantu. Aku tadi baca dua lembar dan sekarang perutku keroncongan," jawab Indana sambil memegang perutnya yang terasa sakit.
"Makanan sudah siap Ayo makan," ucap Tania sambil membawa piring ke meja makan. Melihat putrinya kesakitan Rifa'i tidak tega dia segera mengambilkan makanan yang dibuat oleh Tania.
"Indana sakit perut apa kan menyuapinya," kata Rifa'i sambil memegang ponselnya, Tania tidak tahu kalau Rifa'i tidak melihat piring yang dia sodorkan. Tania melepas piring itu dan ternyata Rifa'i belum memegangnya piring itu terjatuh dan pecah.
Kedua mata itu terkejut dan saling menatap Tania merasa gugup dan bingung.
"Maaf Pak Bos. aku benar-benar tidak tahu karena aku tadi membereskan meja Maaf Pak Bos maaf maaf maaf maaf," ujar Tania menyesal sedih. Dia segera membersihkan pecahan piring yang berserakan.
"Salahku juga aku fokus ke ponsel," jawab Rifa'i. "Aku menyuapi Indana dulu, nanti aku akan bantu kamu. Masak lagi kalau kamu lapar," imbuh Rifa'i. Dia segera mengambil piring yang berisi makanan. Dia segera menuju ke Indana.
"Ayah aku bisa makan sendiri. Kasihan tante Tania kakinya akan terkena beling," ucap Indana. Indana belum menutup mulut terdengar suara tangisan dari Tania.
"Sayang ...ya sudah, Ayah temenin kamu nanti tidurnya, sekarang Ayah tolong Tante Tania dulu, kamu makan yang kenyang ya," kata Rifa'i sambil mengacak-ngacak rambut Indana, lalu berlari ke arah Tania.
"Kamu memang tadi tidak pakai sandal sampai darahnya segitu banyak! Ya Allah ... Tania Jangan ceroboh deh kamu ini ah!" ujar Rifa'i dengan suara tinggi kesal sambil membopong Tania ke sofa.
Gadis cantik itu hanya terisak dalam tangisannya dia tidak bisa berkata-kata.
"Hiks est ... maaf ...." Dia sangat takut jika Rifa'i berbicara dengan suara tinggi.
Tubuh kecil itu melayang di atas lengan kekar Rifa'i. Rifa'i merasakan sesuatu di dalam dadanya. Suara degupan jantung yang begitu kencang membuat Tania mendengar dan menatapnya.
"Jangan kepedean aku memang sering seperti ini. Aku memang sering mengalami debaran jantung yang tiba-tiba mengencang seperti ini," ujar Rifa'i membantah perasaannya. Pria tampan itu menurunkan Tania dengan pelan, Tania duduk di sofa sambil merasakan sakit dia terluka cukup parah.
Rifa'i segera mengambil kotak obat, dia membersihkan luka di kaki Tania dengan pelan-pelan. Tania mendesis meringis kesakitan, namun matanya tertuju di sofa sebelah karena Indana tertidur pulas.
"Esth heh ... sakit," keluhnya.
"Sabar sebentar lagi, tidak lama lagi ini sudah selesai, jangan cengeng. Aku paling tidak suka melihat perempuan menangis karena menurutku air mata seorang perempuan itu hanyalah Kepalsuan!" ujar Rifa'i karena kesal. Dia merasakan patah hati berkali-kali dan saat ini dia tidak ingin merasakan jatuh cinta kepada wanita manapun, termasuk wanita cantik yang berada di depannya.
"Apa Pak Bos sangat trouma hingga."
Tania belum selesai berbicara namun dia sengaja tidak melanjutkan suaranya karena Rifa'i menatapnya dengan tajam dan penuh amarah.
"Dengar Tania! Aku tidak suka kamu terlalu ikut campur urusan ku. Ingat! kamu hanya pegawai ku tidak lebih dari itu. Jadi jangan ngelunjak," ujar Fa'i berdiri sambil melemparkan sisa perban. Melihat kemarahan Rifa'i. Tania hanya bisa menangis dengan mata yang memerah, Rifai segera memindahkan Indana kekamarnya.
Malam semakin larut Rifai keluar dari kamar Indana dia melihat Tania sedang membersihkan bekas pecahan piring.
"Heh kamu. Ngapain ... sudah tidur sana! terluka lagi nanti aku yang repot," tegur Rifa'i menghampiri Tania, Tania menurut dia melangkah pelan karena pincang.
Tania dan Rifai pas-pasan. Rifa'i mendengar sesuatu berbunyi dari wanita yang lewat di sampingnya.
'Aduh Tania kamu Ini memalukan sekali sih,' batinnya. Tania berusaha biasa saja walau dia sangat kelaparan.
"Kamu lapar?" tanya Rifa'i, dengan malu Tania menoleh lalu mengangguk.
"Aku juga lapar. Kamu mau nggak nemenin aku. Aku yang masakin untuk kamu," ujar Rifa'i tersenyum terlihatlah ketampanannya. Tania setuju mereka berjalan pelan ke dapur.
'Bagaimana aku bisa menahan perasaanku ... jika dia tiba-tiba baik seperti ini. Tadi marah sekarang baik banget dan aku merasakan jantungku ... jantungku kamu jangan lepas ya,' batin Tania dia hanya duduk menyaksikan Rifa'i mulai memasak.
'Dokter ... bosku kamu tuh ganteng banget. Bagaimana aku bisa mengendalikan diriku ... Ya Allah ... Tania Sadar ... sadar kamu itu hanya pegawainya. Mungkin malah hanya pembantunya haduh ....' batin Tania dia terus menatap Rifai. Rifa'i sadar jika Tania memperhatikannya setelah Rifai sadar Rifai menoleh ke Tania. Tania segera mengalihkan pandangannya.
"Kenapa kamu? Kamu meragukanku? Aku handal memasak tahu. Aku ini di Surabaya sudah cukup lama hampir 12 tahun. Jadi aku sudah terbiasa masak sendiri, aku itu memang suka masak, tapi juga sering gosongin, sering kasinan pernah juga mau ngebakar dapurku sendiri," pengakuan Rifa'i membuat Tania tertawa kecil.
"Hehehe. Aku tidak mengejek aku pernah mengalami. Aku memang terbiasa juga sih hidup mandiri. Dan Dokter sendiri juga sudah tahu dengan keadaan Ibu aku, Ibu aku ya seperti itu. Ayahku adalah seorang anggota pejabat yang melakukan korupsi besar dan aku dan ibuku tinggal di kontrakan kecil kami hidup dengan sederhana," ucapan Tania membuat Rifa'i terdiam dan berpikir.
"Ayahku itu sangat kejam dia jahat sekali," imbuh Tania menitihkan air mata.
Bersambung.