Kesejukan masih terasa, kedamaian masih tersisa. Namun kesendirian datang menyiksa, diriku yang merana. Aku bukan mesin waktu, aku manusia biasa, aku ingin punya teman, teman wanita. Ingatlah, dalam kehidupan jika kita mencari teman hidup yang sempurna, mungkin kita malah akan kehilangannya. Warning! semua punya kelebihan dan kekurangan. By Aditi indana Fariha.
Hujan berhenti meninggalkan kesejukan, dan tanah yang basah. Indana berjalan dan akan segera pulang, ia memeluk erat buku tebalnya.
Indana berjalan lurus, lalu berhenti di halte menunggu bis datang, sambil melihati langit yang mulai cerah. Lama ia berdiri di situ, ia duduk dan membaca buku.
Ia sangat lelah lalu memejamkan mata sejenak, bayangan putih dan suara tabrakan bergema, muncul angka yang akan jadi hari pertanda. 345.600detik, ia membuka mata otaknya bekerja dengan cepat.
"Apa? itu detik, satu hari 86.400 detik kali tiga? bukan! kali 4? iya. menitnya menjadi 5.760 menit, jamnya menjadi 96 jam." ia berfikir, " 4 hari lagi! ada apa? apa? apa akan ada kecelakaan di sini? Ah, tidak! ini bukan apa-apa." ia menanyai dirinya.
"Kenapa sering seperti ini. Apa perlu aku shering ke Rif'an atau Fai. Ya Allah." Indana mengambil nafas, ia mencoba rilex ia kembali membuka bukunya.
"Jiwaku menderita karena perpisahan, tetapi kembali terhibur oleh cinta." [ Khalil Gibran ]
"Kenapa semua tentang cinta, semua tentang cinta, apa perasaanku ke Fa'i itu cinta, aku tidak tau waht-what." Ia menutup rapat bukunya dan teringat bayangan tadi.
"Hih kok horor sih." Gumamnya.
Ia membuka lagi dan menjatuhkan kertas pembatas bergambar bunga teratai, ia mengambil lalu tersenyum aneh melihat begitu banyak coretan permenit, detik, jam. Setiap 60 menit, 3600 detik, berarti 1 jam, 1 hari 1440 menit. 1 hari 86400 detik.
"Aku juga bisa sedikit menebak, dan mimpiku sering nyata, walau aku jarang cerita dan terus membiarkan ini jadi rahasia, kalau aku cerita aku pasti di cemooh, jadi gadis waktu aja sering kali remehkan, tapi masa aku paranormal? ih nggak mau ah. Tadi malam aku mimpi ada gadis, yang akan jadi teman baruku, dan tadi ada siswi baru beneran. Ah pasti kebetulan. Tapi ..., mimpi Mamak dan Bapak pamit, akhirnya mereka meninggal. Dan bertemu teman lelaki, akhirnya aku berteman dengan Rif'an dan Fa'i, itu semua nyata. Aku yakin ini hanya kebetulan, aku tidak bisa melihat masa depan kok, jadi itu semua hanya isyarat." gumamnya ia berusaha mengoreksi keanehannya dan meyakinkan diri jika mimpinya dan bayangan itu hanyalah isapan jempol.
Ia terlalu lama, ia berdiri dan berjalan, sambil berdzikir "SubhanaAllah," berkali-kali.
"Tot..., tot." Suara klakson yang sangat jelek, Vespa berhenti di sampingnya, Indana mengamati pria berhelm kumbang.
Sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. Pria itu membuka kaca helm yang berwarna gelap.
"Wa...!!!" suara yang mengagetkan, membuat jantung Indana serasa copot. Ternyata Rif'an dan Indana sangat terlejut, ia langsung menceples lengan Rif'an.
"Cepat naik," Rif'an memberikan helm, Indana menerima ia pun di bonceng Rif'an. Vespa melaju dengan pelan dengan suara yang berisik.
"Kok nyendat-nyendat, bisa jalan tidak sih?" keluh Indana
"Cerewetnya.." ejek Rif'an, Indana panik seakan Vespa itu tak akan jalan, Rif'an mengegas.
Tanpa sengaja Indana akan terjungkal, ia berpegangan erat di jaket levis Rif'an.
Indana menepuk punggung Rif'an, dan melepas pegangannya.
"Jadi urusanmu membeli ini?" Indana mendekat kan wajahnya, karna suara Vespa sangat berisik,
( trototototototototot ) mungkin seperti itu.
"Iya," Rif'an santai dan tersenyum sudah bisa membeli vespa ungu sederhana itu.
"Nanti akan di bongkar lagi? lalu tak bisa mengembalikan seperti semula! tidak bisa membenahi! Akhirnya tidak bisa jalan. jadi barang rongsok an, mubadzir..., lagi." Indana mengingatkan seperti seorang ibu, karna sering kali Rif'an membeli motor yang jelek lalu di bongkar, tapi tidak bisa memperbaiki kembali.
"Kau bilang harus optimis, jangan pesimis, aku tidak akan membongkar Vespa ini, hanya akan melihat mesin-mesin di dalamnya, lalu aku akan coba memperbaiki motor yang dulu ku bongkar," jelas Rif'an, Indana mengangguk-angguk.
'Dokhhhhh.'
"Ya Allah."
Vespa itu melewati lubangan besar, dan kejeglong, tapi vespa masih terus berjalan.
"Au sakit, punggungku, remuk, encok..., mbok." Indana kesakitan meringis sambil memijit pinggangnya yang encok.
"Maaf aku tidak bilang kalau sekoknya tidak berfungsi, aku juga dlenger pula(tidak melihat jalan) maaf ya, aku tlaktir bakso deh." Bujuk Rif'an, "Lama ya? tidak kumpul sama Fa'i dia sibuk, dengan materinya, maklum calon dokter, bagaimana kuliahmu hari ini?" Rif'an seperti kakak yang selalu ada untuk Indana.
"Sangat membosankan. Rasanya aku belum bisa mensyukuri keunikanku. Dan aku beberapa hari ini ada banyak keanehan." Indana ingin bicara tapi tidak jadi.
"Aneh bagaimana?"
"Hah lupakanlah." saut cepat Indana tidak ingin mengungkit.
" Kau berbeda, kau canggih, kau antik dan cantik banget jika di kandang sapi Ha ha ha."
Rif'an sesuka hati mengolok Indana, Indana ikut tertawa. Dia sama sekali tidak marah karna gurauan seperti itu sudah biasa.
"Aku belum solat jadi tidak usah makan bakso." Jelas Indana " tapi mau di beliin lalu di antar ke kos." Lanjutnya.
"Semaunya. Sekarang jam berapa?" tanya Rif'an, Indana melihat matahari, ia mengukur dengan jari-jarinya.
"Jam 13:12, 26 menuju 27 detik." Jawab Indana yakin, Rif'an melihat jamnya.
'Wih canggih memang." Batin Rif'an.
"Bawa jam tanya-tanya!" Indana menepuk pundak Rif'an. Rif'an tertawa. 'Aku nyaman bersamamu Dana. Aku yakin ini rasa nyaman sebagai sahabat. Tapi lebih istimewa Fa'i ketimbang aku, menurutmu.' batin Rif'an
"Tadi ada siswi baru rempong nanyain keahlianku, cantik lo dia..." Indana ingin jadi makcomblang, tapi Rif'an tak peka.
"Lalu kamu jawab bagaimana?"
"Ya bagaimana lagi, keantikkan ini tidak bisa di jelaskan. Aku juga tidak tau kenapa punya keahlian seperti ini? tapi yang jalas aku sangat suka melihat matahari dengan mata telanjang. Dan mengitung dari beranjaknya matahari. Aku tidak bicara banyak. Eh Rif'an, kamu tidak ingin kenal?" Indana memulai menjodohkan lagi.
"Kenal siapa? jangan jadi makcomblang! bisa-bisa habis kau jodohkan, kau naksir aku!" terang Rif'an Indana tertawa. Ia sangat meremehkan.
"Syut. Dana! jangan meremehkan, cinta bisa datang kapan saja. Lagian aku ingin fokus untuk menempuh S2, jadi jangan jodoh-jodohin, bisa kenak semprong Mamak nanti, kuliah jauh menghabiskan biyaya, malah gleca-glece (tidak serius) kasian yang mencarikan uang." jelas Rif'an dengan kedewasaan, ia sangat serius.
Di antara tiga sahabat yang orang tuanya mampu hanya Fa'i, Rif'an keluarga sederhana dan ia mendapat bantuan biyaya siswa dan terkadang kerja di bengkel. Indana kaya tapi dulu, sebelum dapat musibah Stunami, gempa Palu 2018, dan ia masih cukup punya tabungan sampai 5 tahun kalau hidup sederhana.
Mereka sampai di tempat kos, Rif'an mengantar Indana sampai depan kosnya, sedangkan Rif'an lanjut ke kossannya, jarak kos Indana dan Rif'an 300 meter, namun ada jalan berbelok.
Indana masuk, ia berlari lalu wudlu, solat qobliyah dua rokaat, lalu solat dzuhur. Ia memutar tasbih, karna lelah ia tertidur di atas sajadah merahnya.
Bersambung.