Seorang gadis keluar dari ruang rapat dengan tergesa wajahnya merah padam. Amarah yang tertahan Ia lampiaskan pada diding ruangannya. "Vanya! ini udah keputusan dari Pak Radal ...ayolah. Jangan gini, gue tau Lo nggak percaya soal dunia lain tapi ...nggak ada salahnya Kita coba," bual Farhan membantah penolakan Vanya. Mereka terus berjalan tanpa menghiraukan pasang mata yang memandang awas. Farhan duduk disofa empuk berwarna coklat.
Brakkk!! suara nyaring meja dibanting kasar oleh Vanya. "Kita udah pernah bahas ini han, gue trauma sama hal gaib. Gue nggak bisa!!" jawabnya disertai penekanan diakhir kalimat. Ia berjalan kearah kursi, menempatkan posisi duduk yang nyaman bagi tubuhnya.
Farhan beranjak dari sofa disamping pintu kaca. Mendekati Vanya, mengenggam tangannya menyalurkan suasana hati yang baik. Mereka bersitatap untuk beberapa saat, "Jangan takut, gue selalu ada disamping Lo." yakin Farza.
Manik matanya menunjukan bahwa Ia membutuhkan Farza. Namun, enggan untuk mengucapkan kalimat sanggahan yang terkesan manja. Akhirnya Vanya mengangguk menyetujui bangkit dari duduknya memeluk Farza tanpa aba-aba.
"Khmmm," suara Pak Radal mengaburkan segala kasih. Vanya yang terkesiap melepas tautan Mereka secara paksa. Pintu tertutup menampilkan pemimpin redaksi beralis tebal.
Gaya berpakaian yang santai namun, tegas dalam berucap. Beliau selalu disuguhkan tugas yang amat berat yaitu harus memantau segala kegiatan yang menyangkut redaksi. Kasus yang berat atau menyusahkan sering Ia alami saat bekerja.
Vanya menghembuskan nafas kasar menghilangkan gugup yang mendera. "Kami siap melaksanakan tugas, Pak. Berusaha lebih baik dari pada mundur sebelum mencoba," ucap tegas Vanya kepada Pak Radal membungkukkan setengah badannya tanda hormat.
"Ini yang saya mau ...tapi, Kalian tidak akan pergi bersama!" sanggahnya menepuk pundak Farhan. Vanya yang mendengar itu kembali membara, tatapannya mulai menyalang. 'tidak bisakah Ia mengerti kedaanku!' sarkasnya dalam hati. Ia menghentakkan kakinya keluar dari ruangannya sendiri.
"Pah!! Farhan berhak ngajuin cuti untuk nemenin Vanya. Oh, atau ini emang akal-akalan Papah untuk pisahin aku sama Vanya?!" ucap Farhan dengan penuh penekanan. Dicekalnya dasi rapih yang tergantung pada leher Pak Radar.
Selayaknya figuran disebuah pementasan drama hanya sebagai samaran bukan tampak dan berharga. Begitu pula seorang Farhan menatap rendah Ayahnya. Ia terlalu muak untuk memahami hidup sebagai keluarga. Tinggal bersama Bibinya jauh dari kata mewah, Ia enggan bersama Ayah dan adiknya yang berujung berselisih paham.
Mamahnya memilih tinggal di Paris dengan alasan yang memuja. Ia lebih bahagia disana menikmati masa tuanya sendiri, jelasnya pada Farhan.
Plakk!! suara nyaring memenuhi ruangan. Pak Radal menampar buah hatinya sendiri dengan kasar. Farhan yang mendapatkan serangan secara tiba-tiba hanya mengerang kecil. Netra mereka saling melempar tatapan yang sulit diartikan menumbuhkan kebencian mendalam bagi Farhan.
"Papah kecewa nak, ini demi kebaikan dan nyawamu ...tapi, jika itu keputusanmu pergilah bersama Mereka." suara Pak Radar begetar seperti menahan sesuatu.
"Mereka? siapa lagi yang akan dilibatkan dalam kasus ini." tanya Farhan berapi-api. Ia masih tetap menatap Ayahnya dengan kebencian.
"Ini kasus besar, banyak pihak yang harus kita libatkan! tidak ada yang bisa memecahkan pembunuhan ini. Jadi ...perusahaan kita yang akan maju dan memenangkan tender. Nick yang akan menjadi ketua dalam kelompok kalian, jangan ada yang membantah perintahnya." jelas Pak Radal pada Farhan. Tersenyum sinis, menepuk pundak sang anak lalu pergi meninggalkan Farhan dengan segudang pertanyaan yang menumpuk.
Ditutupnya pintu ruangan, Farhan menjerit frustasi pikirannya kalut hingga menyisakan beban dihati. 'Siapa Nick sebenarnya?' benak Farhan tak habis pikir. Berjalan kesana kemari entah apa yang harus Ia perbuat.
*****
Vanya menyanggah tubuhnya pada pagar besi pembatas. Alam yang saling bertaut menjalin angin sebagai semburan sejuk menyapu dedaunan yang jatuh. Rambut hitam legamnya dibiarkan tergerai indah. Menetralkan emosi yang mendera memejamkan mata merasakan deru nafas yang teratur.
Ia berada dilantai dua belas. Semua ingatan menjejal, dimana masa kelam yang selalu Ia hindarkan terus menghantuinya. Tanpa sadar sebutir air mata luruh bersama hati yang hancur. Vela tiba-tiba menghilang setelah kejadian lima tahun lalu. Lebih tepatnya adik kembarnya Ayah enggan mencari atau sekedar meminta informasi kepada warga desa itu.
Desa dimana Ia ditugaskan untuk menuntaskan kasus pembunuhan sadis. Seorang gadis cantik meninggal tidak wajar dan masih mengenakan baju pengantin indah. Raganya tidak sanggup untuk kembali membuka masalalu kepedihan. Ia tidak ingat bagaimana keluarganya tega meninggalkan sepenggal buah hatinya disana. Namun, Vela selalu datang dalam mimpinya meminta bantuan dari lubang aneh yang berisikan kaca.
Waktu berselang cukup lama, hingga Vela kecil dinyatakan meninggal karena tertimbun tanah dibawah jurang. Dan anehnya Vanya tidak mengetahui makam sang adik untuk sekedar mengunjunginya. Ayah dan Mamahnya mengatakan bahwa tempatnya sangat jauh dan tidak mungkin terjamah orang. Itu hanya penuturan yang tidak masuk akal namun, Vanya mencoba menerimanya.
"Vel ...gue akan coba cari Lo disana tunggu,ya." monolognya melegakan hati. Menghapus sisa air mata memeluk nestapa yang berujung pilu. Memeluk tubuhnya sendiri mencoba menguatkan hati agar tetap teguh dalam pilihannya.