Chereads / MY SWEET LECTURER / Chapter 20 - MSL - BAB 20

Chapter 20 - MSL - BAB 20

Isabella tersadar dalam keadaan yang lebih baik di hari kesepuluh. Denyut jantungnya sudah sangat normal, dia bahkan sudah mulai bernafas tanpa bantuan oksigen. Meski gangguan kecemasan masih melingkupinya, terbukti dari beberapa malam dia masih selalu bermimpi tentang kejadian yang sama. Meski begitu Isabella tidak ingin mendapatkan suntikan obat penenang lagi.

"Jangan berikan aku suntikan obat penenang." Ujarnya.

"Tapi itu akan membuatmu bisa tertidur dengan pulas." Kata Christ meyakinkan.

"Aku tidak bisa bangun jika aku disuntik."

"Kau akan bangun pagi harinya."

Isabella menatap Christopher dan meraih tangan pria itu. "Aku senang saat aku terbangun dari mimpi burukku dan bisa melihatmu masih ada disisiku." Ujarnya lirih. Jantung Christ rasanya seperti di hujam sembilu mendengar pernyataan Isabella. Harusnya gadis itu tidak mengalami hal buruk lagi setelah mengenalnya, karena hampir seluruh hidupnya sudah dia lalui dalam keadaan yang tidak terlalu baik.

"Aku akan ada di sini, dan tidak akan meninggalkanmu." Christ mengusap wajah Isabella.

"Bagaimana keadaan Lindsey?" Tanya gadis itu naïf. Bagaimana mungkin dia masih bisa menanyakan keadaan wanita yang hampir merenggut nyawanya tanpa rasa bersalah itu?

"Jangan menyebut nama itu lagi." Sorot mata Christ menjadi kelam.

"Dia pasti tersiksa sekarang." Dengan wajah pucatnya Isabella menatap keluar jendela. "Dia melakukan semua ini karena gangguan kejiwaan yang dia alami."

"Aku tahu, dan semua sudah kuserahkan pada pihak berwajib." Christ meraih tangan Isabella dan mengecupnya.

"Bolehkah aku bergerak sekarang?" Tanya Isabella lirih, dan kebetulan seorang perawat masuk untuk memeriksa kondisinya.

"Apakah dia boleh bergerak?" Tanya Christ.

"Lakukan perlahan, dan jangan memaksakan diri. Jika nyerinya tak tertahankan, kembali berbaring perlahan." Ujar sang perawat.

"Aku mengerti." Angguk Isabella.

"Kau ingin bergerak sekarang?" Tanya perawat.

"Tidak, mungkin saat aku sudah siap." Ujar Isabella.

"Baiklah, kondisimu semakin membaik." Perawat itu tersenyum pada Isabella dan meninggalkan mereka berdua.

"Aku akan membeli kopi, bisakah kutinggalkan sebentar." Christ menatap Isabella dan wanita itu tersenyum lemah.

"Pulang dan tidurlah." Ujarnya lirih.

"Aku hanya akan membeli kopi diluar, sebentar." Christopher berbohong. Dia keluar untuk menemui polisi terkait kasus percobaan pembunuhan yang terjadi di rumahnya. Pengawalnya mengirim pesan singkat padanya beberapa detik lalu.

Saat Christ keluar, seorang pengawal masuk dan berdiri di kejauhan.

"Mss. Stuart." Pengawal itu mengangguk ke arah Isabella, dan wanita muda itu melambaikan tangannya, meminta pengawal itu mendekat. Dia membisikkan sesuatu dan pengawal itu mengangguk, tampaknya dia paham apa yang diminta oleh Isabella.

Tapi karena tidak ingin ceroboh dia meminta rekannya untuk mencarikan apa yang dibutuhkan Isabella, sementara dia tetap berjaga.

Sekitar setengah jam kemudian, Isabella berhasil duduk dengan usahanya sendiri. Saat Christ datang dan masuk keruangannya, sementara sang pengawal langsung meninggalkan kamar perawatannya.

"Hei . . ." Christ segera menghampiri Isabella yang sudah duduk menunggunya.

"Kau boleh duduk, tapi tidak terlalu lama."

"Aku sudah lebih baik sekarang." Ujar wanita itu dengan senyuman yang meski lemah tapi cukup menyejukkan bagi Christ.

"Bisa tolong lakukan sesuatu untukku?" Tanya Isabella dan Christ mengangguk, "Apa yang kau inginkan?"

"Ambilkan kotak di meja itu."

"Dari mana kotak ini berasal?" Christ berjalan ke arah kotak, dia bahkan tampak memperhatikan kotak itu sebelum membukanya.

"Bawa kemari."

"Siapa yang membawa kotak ini masuk?" Tanya Christ, dia menjadi sangat protektif sekarang.

"Aku meminta pengawal membawakannya untukku."

"Kau seharusnya bisa menungguku." Protes Christ.

"Bawakan saja kemari." Isabella menatap Christ setengah memohon. Akhirnya Christ membawa kotak itu ke hadapan Isabella dan membiarkan wanita itu memegang kotaknya.

"Sekarang duduk di hadapanku." Katanya, sambil menepuk ranjang yang dia tempati.

"Kau baru bisa bergerak dan sudah memerintahku Mss. Stuart." Christ tersenyum heran.

Christ duduk di hadapan Isabella, naik ke sisi ranjang dan membiarkan wajahnya cukup dekat hingga Isabella mampu meraihnya. Wanita itu meraih wajah Christ dengan kedua tanganna dan merabanya, bulu-bulu lembut Christ yang menyelubungi hampir seluruh sisi wajah, kumis hingga dagunya, sebagian bahkan dileher.

"Kau sangat berbulu." Isabella mengusap bulu itu dan Christ tertunduk.

"Aku bahkan akan membiarkan seluruh tubuhku berbulu jika kau tidak selamat." Katanya perih.

"Hei . . ." Isabela menegakkan wajah pria itu. "Aku tidak menyukai banyak bulu." Isabella tersenyum. Dia membuka kotak itu dan menemukan sebuah handuk kecil, foam cukur juga pisau pencukur.

"Biarkan aku melakukannya." Bisiknya lirih dan Christ tertegun menatap gadis itu. Selama ini dia tidak pernah membiarkan siapapun menyentuh dirinya dengan cara seperti ini. Tindakan sederhana tapi begitu dalam maknanya bagi Christ.

Isabella mengeluarkan foam itu dan mengoleskannya di wajah hingga leher Christ dengan lembut, dia bahkan membuka satu kancing kemeja Christ dan memasang handuk disela kerah kemejanya untuk memastikan kemeja itu tidak kotor.

Setelah mengusapkan foam itu, kini dengan perlahan Isabella mengayunkan pisau cuku dan membersihkan seluruh bulu yang menutupi ketampanan Christoper Hudson.

Dengan telaten dia membersihkan semuanya dan mengelap foam kotor yang penuh bulu itu dengan handuk.

Dan setelah semuanya selesai Isabella tersenyum. "Aku baru melihatmu lagi Christopher Hudson, setelah sangat lama." Ujarnya, Christ menelan ludah, rahangnya mengeras sekilas.

"I love you." Bisiknya sebelum memberikan pelukan pada Isabella. Meski sejujurnya pelukan itu menimbulkan sedikit rasa nyeri di bekas jahitan tapi Isabella menahannya. Dia benar-benar rela menukar seluruh rasa sakitnya dengan sebuah pelukan hangat dari pria bernama Christopher Hudson.