Kana memeluk seorang pria paruh baya di hadapannya, merasa senang karena kekasihnya telah menemani shopping dan membelikan berbagai macam barang bermerek. Namun sayang, suara dering handphone memisahkan mereka. Pria itu menarik handphone dari dalam saku celana dan tanpa pikir panjang mengangkat panggilan.
Terdengar suara seorang wanita di seberang sambungan telfon yang membuat Kana menampakkan sikap tak senang. Tapi apa daya, ia hanyalah kekasih simpanan dan mau tak mau ia harus menerimanya. Selama pria itu masih memberikan suntikan dana untuk hidup nyamannya, Kana senang.
"Sayang, istriku menyuruhku pulang." Ucap si pria yang malah membuat wajah Kana semakin cemberut. Dari sini Kana tau apa yang seharusnya ia lakukan.
Yaitu pulang sendiri.
"Maaf, aku tidak bisa mengantarmu sampai rumah." Sambung pria tua yang hanya dibalas anggukan oleh Kana.
Tanpa berbasa-basi, Kana beranjak keluar dari mobil seraya menjinjing barang belanjaannya. Melihat mobil sang kekasih semakin menjauh Kana menghela napas panjang.
"Bagaimana caranya aku pulang dengan barang bawaan sebanyak ini?" Kana mengeluh sembari berkacak pinggang.
Tak jauh dari tempat Kana berdiri, terdengar suara gaduh antara dua orang yang mungkin sedang berselisih paham. Mereka masih tampak sangat muda, mungkin sekitar belasan tahun, dan dapat ditebak mereka sepasang kekasih. Kana memerhatikan kedua orang itu dari jauh, menikmati drama yang disajikannya di depan mata secara cuma-cuma.
Sang gadis nampak begitu kesal, ia terus memaki dan menunjuk wajah pemuda tampan di hadapannya. Sedangkan pemuda itu hanya tertunduk malu mendengar celoteh sang kekasih. Setelah sekian lama akhirnya sang pemuda angkat bicara untuk membela diri namun si gadis malah menamparnya keras lalu pergi meninggalkan si pemuda dengan air mata membasahi pipi.
Kana tidak berhasil menangkap inti perdebatan kedua sejoli tadi karena tidak dapat mendengar jelas dari posisi ia berdiri. Ia hanya mendengar kata 'Brengsek!' yang terlontar dari mulut si gadis.
"Pasti sakit, ya?" Tanya Kana mengejutkan si pemuda yang tengah sibuk mengusap pipinya. Entah sejak kapan Kana sudah berdiri di samping sang pemuda.
"Apa kau melihatnya?" Tanya si pemuda sambil memalingkan wajahnya yang memerah karena tamparan tadi.
"Tenang saja, tadi itu sangat seru!" Balas Kana diiringi tawa kecil kemudian ia duduk di atas trotoar.
"Apa kekasihmu memutuskanmu?" Tanya Kana. Pemuda itu hanya berdeham.
"Apa salah jikalau aku menyukai gadis lain?" Wajah pemuda itu terlihat sendu seakan tengah meratapi nasib malang karena hubungannya dengan sang kekasih harus berakhir tepat pada satu bulan perayaan hubungan mereka.
"Bukan saatnya untuk bocah sepertimu mengurusi soal percintaan."
"Jangan panggil aku bocah! Namaku Febri dan tahun ini umurku 17 tahun, kak!" Protes pemuda yang bernama Febri itu tak terima dipanggil bocah oleh Kana.
"Kakak? Apa aku terlihat semuda itu? Namaku Kana dan umurku sudah 32 tahun." Timpal Kana yang juga tak terima diteriaki oleh yang lebih muda.
"32 tahun? Kau terlihat lebih muda dari kelihatannya."
"Itulah mengapa ada skin care. Kau harus merawat tubuhmu dengan baik."
Febri mengangguk setuju kemudian ia duduk di samping Kana yang sekarang sibuk mencari sebatang rokok di sakunya.
"Tante pernah jatuh cinta?" Kana terkejut. Bukan kerena pertanyaan yang kelular dari mulut Febri melainkan terkejut karena pemuda itu memanggilnya tante.
"Tante?! Ah, ya sudahlah!" Kana tak melanjutkan persoalan usia.
"Jatuh cinta? Ya tentu saja aku pernah tapi tidak berjalan dengan baik."
"Kenapa?"
"Mau dengar?"
Febri mengangguk penasaran dan bersiap memasang telinga untuk mendengarkan kisah dari seorang Kana. Kana menyalakan pemantik dan menyulut rokoknya. Ia menghisap sebatang rokok kemudian menghembuskan asapnya keluar. Maniknya menatap langit malam berbintang seolah mengingat kenangannya di masa lalu.
"Dulu saat aku seumuran denganmu, aku jatuh cinta dengan teman sekelasku. Dia laki-laki yang sangat manis dan romantis, itulah yang membuatku jatuh cinta dengannya." Kana memulai cerita.
"Tapi aku membuat sebuah kesalahan besar, aku hamil diluar nikah. Awalnya aku tidak khawatir karena tidak ada perubahan tubuh yang spesifik di tubuhku. Namun ketika usia kandunganku sudah menginjak 8 bulan, perutku mulai membuncit dan saat itu ujian akhir akan dilaksanakan. Kala itu aku panik dan mulai meminta pertanggungjawaban kepada pacarku. Namun sialnya, dia mengabaikanku dan lebih memilih seorang jalang dari pada aku." lanjut Kana sambil terus menghisap rokoknya.
"Lalu bagaimana dengan anakmu?" Tanya Febri penasaran yang segera dijawab oleh Kana.
"Dia meninggal." Febri terkejut mendengar jawaban dari Kana dan menyesali pertanyaannya.
"Maaf."
Kana hanya tersenyum memandangi langit berharap anaknya tenang di atas sana.
"Setidaknya aku sudah berusaha memperjuangkannya."
"Ah, sudahlah, menceritakan masa lalu hanya akan merusak mood-ku."
"Jadi kau paham dengan ceritaku, kan?" Tanya Kana pandangannya beralih menuju pemuda di sampingnya.
"Jangan menghamili anak orang!" jawab Febri yang langsung dihujam jitakan oleh Kana tepat di kepalanya.
"Bukan, bodoh!" Febri mengusap-usap kepalanya yang sakit karena jitakan Kana yang lumayan keras.
"Maksudku jangan mudah percaya dengan cinta. Pada akhirnya, orang yang kita cintai akan pergi meninggalkanmu juga." Kana menasehati namun Febri tak begitu yakin dengan perkataan Kana.
"Mau tak percaya pun tak apa, aku tidak masalah." Ucap Kana sambil berlalu pergi meninggalkan Febri. Baru beberapa langkah, Kana datang kembali menghampiri Febri sambil masih terus menjinjing banyak paper bag di tangannya.
"Kau bawa kendaraan?" Tanya Kana yang dibalas anggukan oleh Febri.
"Aku membawa motorku." Febri menunjuk ke arah motor bebek merahnya yang terparkir di samping trotoar.
"Bagus. Ayo, antar aku pulang!" Ajak Kana membuat Febri kebingungan.
"Pulang?"
Kana menarik tangan Febri, menyeretnya menuju motor bebek merah milik Febri.
"Tunggu, tunggu, tunggu!" Ucap Febri menghentikan langkah kaki Kana.
"Jika kau tak percaya dengan cinta, lalu apa yang kau percaya?" Sebuah pertanyaan bodoh terlontar dari mulut Febri membuat Kana menatap malas ke arahnya.
"Uang."
"Uang?"
"Ya. Apa lagi?
tidak ada yang tidak bisa dibeli oleh uang"
Febri terdiam sejenak setelah mendengar jawaban Kana yang to the point. Kana lelah menunggu belum lagi harus menjinjing banyak paper bag di tangan. Kakinya pun sudah pegal. Ia ingin segera pulang dan berbaring di kasur empuk miliknya.
"Hei! apa yang sedang kau lak-"
"Bagaimana jika aku bisa membuat tante jatuh cinta kepadaku? Apa tente akan merubah perspektif tante mengenai cinta?"
"Kau ini bicara apa, sih?"
"Aku tidak akan mengantar tante pulang jika tante tidak mau menjawab pertanyaanku."
"Yang benar saja sekarang sudah larut malam dan sangat sulit untuk mencari taksi online."
Febri masih berdiri memandangi Kana dengan tatapan memaksa, tangannya menunjukkan sebuah kunci motor, membuat Kana terpaksa untuk menjawabnya.
"Baiklah, kita lihat saja nanti."