Rehan seperti terlanjur terjun ke dalam jurang berisi ratusan bidadari. Akal sehatnya hilang, dia yang separuh sadar bahkan tak lagi bisa berpikir jernih ketika melihat tubuh tanpa sehelai benang gadis itu.
Gadis yang sungguh-sungguh menarik hati. Dia tak hanya menyambut ciuman Rehan dengan baik, tapi juga setiap sentuhan lainnya. Dia memeluk leher Rehan erat, dia tak mudah melepaskan Rehan dari ranjang itu dan menahannya dengan pelukan hangat dan sempat minta maaf saat Rehan marah kedua bibirnya selalu menyebut nama Lim saat mereka Bersatu.
"Maaf… aku tidak akan mengulanginya lagi. Tapi kumohon jangan tinggalkan aku," kata gadis itu.
Rehan pun berhenti bergerak. Dia memandangi raut wajah gadis itu yang sungguh-sungguh dipenuhi penyesalan. Diantara peluh yang sudah membanjiri seluruh tubuh mereka berdua, dia pun mengecup kening gadis itu dan berbisik.
"Kalau begitu sekarang panggil namaku," kata Rehan. "Aku Rehan. Bukan Lim. Jadi panggil Rehan saja…" pintanya.
Kedua mata gadis itu lalu menatapnya lembut. "Rehan…" katanya. Lalu cegukan samar. Ah, dia masih mabuk. Lebih parah dari Rehan sepertinya. "Rehan itu bukan suamiku?"
"Tentu saja bukan," kata Rehan. "Jadi apa kau menyesal setelah tidur denganku? Lihat aku bahkan masih berada di dalam tubuhmu."
Pipi-pipi gadis itu memerah saat melirik sekilas ke bawah. Di sana dia sudah membuka kaki, dan Rehan benar-benar menyatu dengannya. Detik itu juga, bibir mungil gadis itu pun mengatup ketika dia menatap Rehan sekali lagi. "Suamiku sangat jahat," katanya. "Tapi kau sangat baik."
DEG
"Apa?"
"Apa kau akan meninggalkanku seperti suamiku?" tanya gadis itu lagi. Dia meraih wajah Rehan dan maju untuk memberikan kecupan di pipi lelaki itu. Lalu memeluk dengan erat seperti takut jatuh. "Kumohon jangan tinggalkan aku… hiks… hiks…"
Dada Rehan sangat ngilu saat mendengar tangisan kecil itu. Isi kepalanya berat. Dia membayangkan berbagai macam skenario kemarahan ayahnya kalau sampai tahu hal ini, tapi otaknya sudah tidak bisa bekerja dengan baik. Dia hanya ingin mendekap gadis ini. Menciumnya lagi. Membuatnya mendesahkan namanya semalaman. Dan menikmati setiap hentakan-hentakan nikmat yang menerobos lubang syurgawi gadis itu di bawah sana.
Ah, jika dia sudah punya suami, bukankah berarti statusnya bukan gadis lagi?
Rehan berpikir dia mungkin sebaiknya menyebutnya wanita daripada gadis. Tapi ngomong-ngomong siapa nama wanita ini?
"Ahh… ahh… Rehan! Rehan!" jerit wanita itu nikmat. Dia meremas bantal dan otot-otot di lengan Rehan bergantian. "T-Tunggu… p-pelan-pelan! Sakit…" desisnya, membuat Rehan berdebar keras dengan darah yang terasa mengalir deras. Dia pun memelankan gerakan dan meraih dagu wanita itu lembut.
"Maaf, sungguh. Aku nggak bermaksud menyakitimu," kata Rehan. Wanita itu bersengalan di bawahnya. Kedua matanya mengerjap cantik dan menatap Rehan dengan tatapan yang sayu. Air matanya mungkin terus mengalir, tapi dengan senyuman tipis dia justru terlihat ingin meraih Rehan dengan kedua lengan terulur itu.
"Peluk aku, jangan pergi…" pintanya. Lagi-lagi terlihat sangat-sangat terluka karena kata-kata itu. Rehan pun membimbing kedua lengan wanita itu memeluk lehernya perlahan.
"Di sini, pegangan dengan erat," kata Rehan. "Aku nggak akan meninggalkanmu, tentu," lanjutnya. Lagipula mana mungkin Rehan tega jika sudah seperti ini?
"S-Sungguh?" tanya wanita itu. Terlihat begitu ragu.
"Ya," kata Rehan. Persetan lah dengan semua rencana perjodohan ayahnya. Rehan tidak peduli lagi. Dia pasti menjelaskan semuanya setelah mentari esok hari terbit untuk menunjukkan masa depan kepada mereka berdua. Dia akan membuktikan kepada Hendra bahwa tidak akan ada kata mempermainkan anak orang lain dalam kamus hidup Rehan.
"Terima kasih…" lirih wanita itu. Lalu benar-benar memeluknya dengan erat. "Maaf membebanimu. Tapi aku… aku benar-benar bersyukur kau ada di sini, Rehan."
Kenapa semua ini terjadi?
Rehan sungguh-sungguh tak mengerti jalur pikirannya sendiri. Yang pasti begitu ciuman mereka kembali bertaut dalam gelora dalam dada yang terus membuncah, baik wanita itu maupun dirinya kini sudah sejalan.
Mereka menerima satu sama lain. Rehan juga berusaha melenyapkan perasaan iba kepada dirinya sendiri, yang bercinta pertama kali justru dengan wanita yang telah ditinggalkan suaminya entah kemana. Bukan perawan, bukan ideal seperti kata Hendra dan Maria di tiga foto gadis dalam rencana kencan buta itu, bahkan belum dia ketahui identitasnya.
Hahaha! Dirinya Rehan Kurniawan! Model! Lulusan S2 terbaik jusrusan bisnis di kampus bergengsi di Bandung! Seseorang yang dijuluki Pangeran Milenial dan punya jutaan fans serta pekerjaan mapan di esok hari! Malam ini justru terjebak dalam hubungan intim yang sangat panas dengan seorang wanita bermasalah di dalam dekapannya ini. Meskipun begitu, Rehan tidak ingin menyesali apapun.
Setelah mereka klimaks bersamaan, Rehan pun mengecup kening berkeringat wanita itu sekali lagi. Lalu berbaring di sisi lehernya yang harum menggoda.
Rehan tidak tahu kenapa, tapi meskipun wanita ini sempat terbatuk-batuk dan suhu badannya semakin panas karena kurang sehat, dia tetap nyaman memeluk tubuh itu hingga pagi.
"Siapa namamu?" gumam Rehan, dia meraih lembut pipi-pipi merah gadis itu dan membelainya perlahan sebelum ikut terlelap dalam mimpi. Dia tersenyum, dan berharap ini bukan mimpi sehingga besok Rehan masih bisa menemukan wanita ini di dalam dekapannya.
Sayangnya, harapan Rehan ternyata tidak benar-benar terkabul. Wanita itu memang masih di sisinya ketika dia terbangun, hanya saja dia sudah melepaskan diri dari pelukan Rehan dan duduk memunggungi dengan gerakan gugup memakai bajunya kembali.
"Tunggu, kau mau kemana?" tanya Rehan, lalu segera menangkap salah satu lengan wanita itu.
"Kumohon lepaskan aku," katanya, lalu menghempaskan lengan Rehan hingga lepas. "Ini salah. Aku harus segera pergi dari sini."
"Apa? Nggak," kata Rehan. Lalu segera memeluk wanita itu dari belakang. Tubuhnya begitu hangat. Rehan bisa merasakannya sedekat ini karena dia baru mengenakan dalaman dan rok levisnya. Lengan-lengan kekar Rehan bisa merasakan betapa ramping dan halus perut wanita itu. "Bukankah kau sendiri yang bilang nggak mau aku ninggalin gitu aja?"
DEG
"A-Aku bilang begitu?" kata wanita itu. Rehan sungguh ingin melihat wajahnya, tapi dia justru melengos. "Nggak mungkin…"
"Ya, kau bilang suamimu jahat," kata Rehan. "Jadi kau senang bersamaku. Nggak ingin aku meninggalkanmu. Dan aku benar-benar akan melakukannya. Lalu sekarang kenapa?"
Wanita itu gemetar. Dia menunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Kenapa kau bisa sebaik itu?" tanyanya lirih. "Bisa kau bilang padaku alasan yang cukup logis kenapa aku harus bersamamu?"
"Aku…" Rehan diam sejenak untuk berpikir keras. "Aku kan sudah melakukannya denganmu semalam," katanya. Lalu melirik jam di kamar itu yang menunjukkan pukul sembilan pagi. "Aku tahu kau mabuk, aku juga … meski tidak terlalu parah. Tapi ini juga salahku. Jadi bagaimana jika kau hamil? Aku akan bersamamu. Jangan khawatir…"
Bukannya lega, tangisan wanita itu justru keluar dan isakkannya mendadak semakin menjadi.
"Kau kenapa? Hei…"
"Lalu jika aku nggak hamil, bukankah kau cukup melepaskan aku?"
DEG
"Apa?"
Suara wanita itu samar-samar mulai serak. "Aku nggak akan bisa hamil, Rehan. Karena itu suamiku membuangku."
DEG
Rehan pun terbeku di tempatnya. "…"
Bersambung...