Richard kembali ke penginapan setelah tanpa disengaja ia bertemu dengan mate nya. Saat pertama kali ia menginjakkan kakinya di tempat yang akan diadakan festival itu, seketika fokusnya teralihkan saat mencium bau harum dari tubuh mate nya, lalu iris hitamnya menangkap sosok berjubah biru yang dengan riangnya mencicipi makanan. Yang awalnya ia berniat untuk singgah mencicipi salah satu makanan yang ada di sana malah berakhir ia menjadi seorang penguntit. Ia masih ingat saat melihat wajah mungil mate nya itu, di saat angin melepaskan tudung yang dikenakan gadis itu, seperti memberitahu bahwa gadis dengan rambut pirang di hadapannya ini adalah mate nya.
Saat langkah pertama ia ambil memasuki penginapan, kedua alisnya bertaut saat pemandangan pertama yang didapatinya adalah penginapan tampak ramai sekali. Matanya menyapu ruangan, pengunjung yang berada di sini lebih mendominasi dari kaum perempuan!
Derap langkahnya terdengar anggun diikuti tatapan semua orang yang teralihkan perhatiannya menatap Richard. Perempuan berusia muda hingga tua dengan bermacam-macam penampilan itu terperangah melihat wajah dingin mendominasi itu. Mereka berbondong-bondong mendekati tubuh jangkung itu, membuat langkah yang pria itu ambil terhenti.
Beberapa dari mereka dengan malu-malu menggodanya, beberapa lagi dengan terang-terangan menyatakan ingin menjadi pengganti mate nya jika ia belum menemukannya. Richard mendesis dengan wajah masam, saat salah satu dari mereka dengan tidak tahu malu menyentuh dadanya. Dengan kasar ia tepis hingga orang itu mengaduh, seraya memegang tangannya.
Matanya menyusuri ruangan, mencari tahu apa yang terjadi hingga ia menjadi sasaran para perempuan ini. Saat matanya bersitatap dengan pemilik penginapan, seketika senyum yang tadinya pria tua itu torehkan sedikit demi sedikit menyurut seiring dengan sorot tajam yang ia dapati dari pria tampan yang kini tengah menatapnya di antara kerumunan.
"Tuan Paulin, saya akan memesan salah satu kamar di sini untuk beberapa hari."
Pria tua yang dipanggil Paulin itu menelan ludah tak peduli dengan ucapan wanita dengan pakaian minimalis di sampingnya itu. Yang ia pikirkan adalah bagaimana nasibnya setelah ini, padahal dengan baik hatinya pria tampan itu memberikan harga lima kali lipat dari harga aslinya untuk penginapan tingkat menengah ini. Sedangkan Richard yang masih bertahan pada posisinya itu menggeram tertahan, pasalnya para perempuan bermacam-macam usia terus saja berdatangan menghampirinya.
"Menyingkir dari hadapanku!" geramnya tak tertahankan. Dengan wajah dingin, pria itu menghempas para perempuan itu dengan sedikit kekuatannya.
Dengan acuh tak acuh, Richard kembali melangkah menuju kamar penginapannya. Namun langkahnya terhenti seketika saat mendengar seruan dari salah seorang perempuan di sana.
"Huh! Jika dia bersikap seperti itu tak akan mau mate mendekatinya."
Tanpa membalikkan tubuhnya, ia bergeming. Mendengar kalimat itu membuatnya teringat kembali akan sosok Aretha yang bersikap acuh tak acuh padanya. Entah apa yang membuat gadisnya bersikap seperti itu. Apa benar karena sikapnya yang kaku dan dingin membuat mate nya itu tak nyaman? Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Kedua mata itu terpejam dengan tangan yang bertumpu di antara kedua kakinya yang duduk menyilang. Di sebuah taman dalam istana Nephium, tampak gadis bersurai pirang tengah bermeditasi di atas batuan yang diapit oleh kedua pohon plum. Sungguh pemandangan indah dan patut untuk diabadikan. Helaan napasnya terdengar halus, namun beberapa detik kemudian wajah itu menyernyit. Sontak kelopak matanya terbuka perlahan dengan embusan napas di bibirnya.
"Aneh, semakin lama semakin sulit untuk menyerap energi alam." Aretha merubah posisinya dengan kaki berselonjor, kedua tangannya menumpu di belakang tubuhnya.
"Aku harus menanyakan ini padanya." Aretha beranjak dari tempatnya, tetapi ketika dirinya akan melangkah, sosok yang ditujunya tengah berjalan ke arahnya.
Aretha menunduk memberi hormat, kemudian berkata, "Baru saja aku akan menghampirimu."
Ramos tersenyum tipis, kemudian ia menghempaskan diri di batuan yang sebelumnya digunakan Aretha bermeditasi. Matanya terpejam menikmati udara segar di sekitarnya.
"Aku ingin memberitahumu tentang suatu hal," ucapnya tanpa membuka kedua matanya, masih menikmati.
Aretha mengangguk kemudian ia duduk di samping Ramos. "Apa yang ingin kau beritahu, Paman?"
Kedua mata Ramos terbuka lalu menoleh menatap Aretha yang duduk di sampingnya tengah menatap ke arah kupu-kupu yang terbang menuju ke pohon plum.
"Ini tentangmu." Aretha seketika menoleh dengan kernyitan di dahinya.
"Kau tahu waktu untuk bulan purnama muncul semakin mendekat," ucap Ramos yang diangguki kecil oleh Aretha.
"Aku khawatir jika waktunya tiba akan menimbulkan peperangan setelah terbongkarnya identitas mu, Retha." Ramos mengembuskan napasnya.
"Aku mengerti paman. Maka dari itu selain mengandalkan kalung pemberian ibu yang bisa menyamarkan aura asliku, aku juga terus berlatih meski tidak sepenuhnya bisa mengeluarkan kekuatanku," timpalnya seraya menggenggam liontin yang menggantung di lehernya, ada perasaan sesak yang menggelayut di dadanya.
Ramos menepuk puncak kepalanya, "Berusahalah lebih giat lagi, aku mendukungmu."
Setelah mengatakan itu Ramos beranjak kemudian pergi meninggalkan Aretha yang masih tercenung di tempatnya. Ia memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi nantinya, bisa saja orang-orang di luaran sana tengah mencari keberadaannya. Ia akan terus berlatih menyiapkan diri di masa depan jika suatu waktu banyak yang menentang kehadirannya. Kembali belajar dari masa lalu, meski kedua orang tuanya termasuk petinggi di Nephium tidak menutup kemungkinan bisa kalah di medan pertempuran. Ia harus berlatih lebih keras dan membalaskan dendam kepada orang yang telah membuat orang tuanya terbunuh.
Gumaman terdengar di sela bibirnya. "Mungkin dengan berburu bisa meningkatkan kemampuanku?" tanyanya pada diri sendiri.
Bukan ide buruk, pikirnya. Meski mencari buruan dimulai dengan hewan tingkatan paling bawah, yang bisa dengan mudah ia lawan dengan teknik pedangnya, itu merupakan sebuah awal yang baik. Ya, setidaknya berburu dengan cara bertahap; mulai dari hewan tingkatan bawah, menengah, hingga tinggi. Dengan begitu ia bisa tahu dengan tingkatan kemampuannya dari waktu ke waktu.
Setelah memikirkannya dengan matang. Gadis itu menuju ke kediamannya, mengganti pakaian dengan lebih sederhana agar mempermudah gerakannya ketika bertarung nanti. Dengan pakaian yang tampak seperti pakaian prajurit pada umumnya ia kenakan di tubuh rampingnya. Rambut panjangnya di gelung rapi menyisakan helaian rambut di sisi kanan dan kirinya. Dengan pedang yang disampirkan di pinggang kirinya, ia berjalan anggun menuju ke ruangan raja.
Sesampainya di depan pintu ruangan kerja pamannya. Ia menyampaikan maksud kedatangannya kepada kasim bernama Folke yang berjaga di depan pintu. Sembari menunggu kasim melapor, Aretha menyandarkan tubuhnya di samping pintu masuk seraya memperhatikan para pelayan yang berlalu-lalang. Ah, iya ingat malam ini adalah pesta pernikahan paman dan bibi nya. Setelah itu, kasim mempersilahkan ia masuk.
"Paman, aku akan pergi berburu."
Ucapan Aretha mengalihkan perhatiannya pada dokumen yang berada di tangannya. Ramos menatap wajah yang mirip dengan adiknya itu beberapa detik.
"Jika itu alasanmu untuk berlatih, maka berlatihlah saja di tempat biasa kau bermeditasi." Setelah mengatakan itu Ramos kembali fokus pada kerjaannya.
"Aku tidak sedang meminta izinmu. Aku hanya memberi tahu saja, dengan atau tanpa seizin mu, aku akan tetap pergi, Paman." Aretha kukuh pada pendiriannya. Tekadnya sudah bulat.
==================
©®RN_Samantha
==================