Mentari pagi menyinari Pesantren Darussalam, sebuah pesantren ternama di lereng Gunung Merapi, Yogyakarta. Udara sejuk khas pedesaan menyapa Titah, gadis manis berambut panjang sebahu yang baru saja turun dari mobil. Ia menatap bangunan-bangunan bergaya tradisional Jawa yang kokoh dan megah dengan perasaan campur aduk. Senang karena akhirnya bisa menuntut ilmu di tempat yang didambakannya, namun juga sedikit gugup karena harus meninggalkan keluarga dan lingkungan yang nyaman.
Titah dikenal sebagai gadis cerdas dan sedikit tomboy di sekolahnya. Ia tak ragu berdebat dengan siapapun jika merasa pendapatnya benar. Sifatnya yang lugas dan terkadang keras kepala membuatnya sering berselisih paham dengan teman-temannya. Namun, di balik sikapnya yang tegas, tersimpan hati yang lembut dan penuh kasih sayang.
Di saat yang sama, di tempat yang berbeda, Daffa, pemuda tampan dengan senyum menawan, juga baru saja tiba di Pesantren Darussalam. Berbeda dengan Titah, Daffa dikenal kalem dan pendiam. Ia memiliki prinsip yang kuat dan selalu berusaha untuk bersikap adil. Namun, di balik sikapnya yang tenang, tersimpan semangat juang yang tinggi dan keinginan untuk menggapai cita-citanya.
Takdir mempertemukan Titah dan Daffa di aula pesantren saat acara pengenalan lingkungan. Mereka sama-sama duduk di barisan depan, tanpa sengaja saling beradu pandang. Tatapan Titah yang tajam langsung bertemu dengan tatapan Daffa yang tenang. Seketika, percikan 'ketidaksukaan' langsung muncul di antara mereka.
"Aduh, ramai sekali ya," gumam Titah, sedikit kesal karena suasana yang cukup gaduh.
"Iya, memang selalu ramai di hari pertama," jawab Daffa, tenang.
Titah mengerutkan kening. "Ramai bukan berarti harus berisik seperti pasar!" Ia tak sengaja sedikit meninggikan suaranya, membuat beberapa santri di sekitarnya menoleh.
Daffa menatap Titah dengan tenang. "Mungkin, kita bisa mencoba untuk lebih santun dalam berbicara," katanya, lembut namun tegas.
Perdebatan kecil pun dimulai. Titah dengan argumennya yang tajam dan Daffa dengan prinsipnya yang kuat. Perdebatan mereka, yang awalnya hanya perselisihan kecil, semakin memanas hingga menjadi tontonan santri lain yang diselingi gelak tawa. Mereka seperti kucing dan anjing yang tak pernah akur. Namun, di balik perdebatan itu, ada sesuatu yang tak terlihat, benih-benih pertemuan yang tak terduga.
Perdebatan Titah dan Daffa akhirnya berakhir setelah Ustadz Amin, pembimbing mereka, datang dan melerai. Wajah Titah memerah menahan malu, sementara Daffa hanya tersenyum tipis. Meskipun perdebatan mereka berakhir, kesan pertama yang kurang baik sudah tertanam di hati masing-masing. Titah menganggap Daffa terlalu kaku dan sok benar, sementara Daffa merasa Titah terlalu agresif dan kurang sopan.
Setelah acara pengenalan lingkungan selesai, Titah dan Daffa kembali ke kamar masing-masing. Kamar Titah berada di asrama putri, sedangkan kamar Daffa di asrama putra. Meskipun terpisah, mereka tak bisa menghindari pertemuan-pertemuan tak terduga. Di kantin, di perpustakaan, bahkan di masjid, mereka seringkali bertemu dan tanpa sengaja saling berpapasan. Setiap pertemuan selalu diwarnai dengan tatapan tajam dan sedikit sindiran.
Suatu sore, saat Titah sedang asyik membaca buku di perpustakaan, Daffa datang dan duduk di meja di dekatnya. Titah pura-pura tak melihat, fokus pada bukunya. Namun, Daffa tiba-tiba bersuara.
"Buku yang kamu baca itu menarik," katanya, suaranya lembut.
Titah mendongak, menatap Daffa dengan ekspresi datar. "Ya, memang menarik," jawabnya singkat.
"Aku juga suka membaca buku tentang sejarah," lanjut Daffa. "Kau suka sejarah juga?"
Titah sedikit terkejut dengan keramahan Daffa yang tak terduga. Ia terdiam sejenak, kemudian menjawab, "Ya, aku suka sejarah, terutama sejarah Islam."
Percakapan mereka berlanjut, membahas buku yang mereka baca dan hal-hal lain yang mereka sukai. Titah menyadari bahwa Daffa tidak sejahat yang ia bayangkan. Daffa pun menyadari bahwa Titah tidak sekasar yang ia kira. Pertemuan tak terduga itu sedikit demi sedikit mulai mencairkan suasana di antara mereka. Mungkin, pertemuan yang awalnya diwarnai perdebatan, akan berbuah sesuatu yang lebih indah di masa mendatang.
Percakapan di perpustakaan itu menjadi titik balik bagi hubungan Titah dan Daffa. Meskipun masih canggung, mereka mulai lebih sering berinteraksi. Mereka seringkali bertemu di kantin, bertukar cerita tentang kegiatan sehari-hari di pesantren. Terkadang, mereka juga berdiskusi tentang pelajaran agama atau sejarah. Titah menemukan sisi lain dari Daffa yang tak pernah ia lihat sebelumnya: Daffa yang humoris dan ramah. Daffa pun menemukan sisi lembut Titah yang tersembunyi di balik sikapnya yang tegas.
Namun, hubungan mereka tidak selalu berjalan mulus. Sifat-sifat mereka yang bertolak belakang seringkali menimbulkan pertengkaran kecil. Suatu hari, saat mereka sedang mengerjakan tugas kelompok, mereka berselisih paham tentang metode penyelesaian masalah. Titah yang selalu ingin cepat menyelesaikan tugas, berdebat dengan Daffa yang lebih teliti dan detail dalam mengerjakannya.
"Cepat saja lah, Daffa! Kita hampir kehabisan waktu!" Titah sedikit meninggikan suaranya.
"Tapi, jika kita terburu-buru, hasilnya tidak akan maksimal," Daffa membalas dengan tenang, tetapi tetap tegas.
Perdebatan mereka semakin memanas. Titah merasa Daffa terlalu perfeksionis dan lamban, sementara Daffa merasa Titah terlalu egois dan tidak menghargai kerja sama tim. Mereka sama-sama keras kepala dan enggan mengalah. Akhirnya, mereka sama-sama memutuskan untuk mengerjakan tugas masing-masing secara terpisah.
Kejadian itu membuat mereka berdua merasa kecewa. Mereka menyadari bahwa perbedaan sifat mereka bisa menjadi penghalang dalam menjalin hubungan yang baik. Namun, di sisi lain, perbedaan itu juga membuat mereka saling belajar dan menghargai satu sama lain. Mungkin, perbedaan itu justru akan memperkuat ikatan mereka di masa mendatang. Mungkin, dari perdebatan dan perbedaan itulah, benih-benih cinta akan semakin tumbuh subur.
Setelah perdebatan sengit itu, Titah dan Daffa sama-sama merasa jengkel. Mereka sama-sama memilih untuk mendiamkan satu sama lain, menghindari kontak mata, dan fokus pada kegiatan masing-masing. Namun, semakin mereka berusaha menjauh, semakin kuat rasa penasaran dan rindu yang muncul di hati mereka. Titah merasa kehilangan sosok Daffa yang selalu tenang dan bijaksana, sementara Daffa merasa kehilangan semangat dan kecerdasan Titah.
Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, Titah berjalan sendirian di taman pesantren. Ia teringat perdebatan mereka di pagi hari, merasa menyesal karena telah bersikap kasar terhadap Daffa. Ia ingin meminta maaf, tetapi gengsi menghalanginya. Titah menghela napas, menatap langit senja yang berwarna jingga.
Tiba-tiba, ia mendengar suara Daffa memanggil namanya. Titah menoleh dan mendapati Daffa sedang berjalan ke arahnya, wajahnya terlihat sedikit tegang. Titah terdiam, menunggu Daffa bicara.
"Titah," Daffa memanggilnya lagi, suaranya terdengar lembut. "Maafkan aku jika aku terlalu keras kepala tadi. Aku hanya tidak ingin kita gagal dalam mengerjakan tugas ini."
Titah tertegun. Ia tidak menyangka Daffa akan meminta maaf terlebih dahulu. "Aku juga minta maaf, Daffa. Aku terlalu terburu-buru dan tidak menghargai pendapatmu."
Mereka sama-sama tersenyum, menghilangkan rasa canggung yang sempat menyelimuti hati mereka. Pertemuan tak terduga itu membawa mereka pada sebuah pemahaman yang lebih dalam. Mereka menyadari bahwa perbedaan sifat mereka bukan penghalang, melainkan pelengkap. Mungkin, dari perdebatan dan kesalahpahaman itu, benih-benih cinta akan semakin tumbuh subur.
Titah dan Daffa kembali berjalan berdampingan, menikmati senja di taman pesantren. Mereka saling bercerita tentang mimpi dan cita-cita mereka, mengungkapkan rasa kagum dan kekaguman satu sama lain. Malam itu, saat bintang-bintang menghiasi langit, Titah dan Daffa sama-sama merasakan getaran cinta yang mulai tumbuh di hati mereka. Mungkin, pertemuan yang tak terduga itu akan membawa mereka pada sebuah kisah cinta yang tak terlupakan.