Chereads / My Evil Daddy's Ghost / Chapter 2 - 1. Gloomy Sunday

Chapter 2 - 1. Gloomy Sunday

Berawal dari C minor, nada-nada itu membawaku terbang ke dunia lain.

Sunday is gloomy …

My hours are slumberless

Meski hati berderak setiap kali menyanyikan lagu ini, namun ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkap misteri terpendam di masa lalu. Aku bisa merasakan kehadiran mereka yang telah mati di setiap baitnya. Jiwaku terbang dalam cinta yang sangat dalam, rumit, kompleks, dan sangat tidak waras untuk dijelaskan.

Sekarang aku bisa menyaksikan sepenggal dua penggal kejadian dalam kehidupan kedua orangtuaku. Aku menjelma menjadi bayangan yang mengikuti mereka ke manapun. Sederhananya, dengan menyanyikan lagu ini aku bisa bertemu dengan mereka yang meninggalkanku saat masih berupa bayi merah. Aku bisa melepas rindu dalam kondisi yang Alfon sebut dengan istilah delusi.

Aku mungkin takkan setenar Billie Holiday. Aku takkan mendapatkan apapun selain luka dan kemurungan. Hidupku cenderung mengarah ke praktik masokisme, berusaha lari, tapi tak pernah bisa benar-benar bergerak pergi. Aku terus menyiksa diri. Entah jadi apa aku nanti … biarlah! Barangkali aku akan jadi manusia tahan banting seperti mama atau pecundang yang menutup buku kehidupan seperti papa. Untuk sekarang … masa bodoh! Aku hanya ingin bernyanyi dan menari-nari di dimensi pribadiku, di tengah kondisi sadar dan tidak sadarku. Kondisi yang memerangkapku dalam kesuraman.

Dearest the shadows I live with are numberless

Samar tapi pasti, aku mendengar suara lain menggema di dinding-dinding pendengaran. Mataku terbuka untuk melihat mama melengserkan tubuh di badan piano. Beliau mengenakan gaun hitam yang membebat ketat. Mirip gaun yang dipakai penyanyi kafe pinggiran. Dia ikut bernyanyi bersamaku. Bibir berlipstik merahnya terkuak memuntahkan nada dan stanza. Matanya terpejam mendalami. Dia sangat mempesona. Ekspresi dan caranya bernyanyi tak bisa ditandingi. Aku kalah. Suaranya datang dari lubuk hati, jauh dari kesan teatrikal. Mama bernyanyi seolah itu adalah nyanyian terakhirnya.

Little white flowers will never awaken you

Not where the black coach of sorrow has taken you

Kutahan napas sesaat dan kulepas kemudian.

Baiklah.

Kuucapkan selamat datang di dunia delusiku.

*

Aku sedang mengalami delusi sekarang.

Dari lorong sebuah mansion, kulihat papa datang membuka pintu tiba-tiba. Sebuah tongkat golf emas terayun-ayun di tangannya. Beliau muda, berparas tampan, namun fakir nurani. Dia melangkah lurus dan sekuat tenaga menghantam piano yang kumainkan dengan tongkat golf emasnya.

Brak!

Piano berderak patah.

Berengsek! Dia melakukan semua itu agar aku dan mama berhenti bernyanyi. Aku bersyukur mama bisa mengelak dari serangan barusan. Kalau tidak, ah, entah berapa baris tulang rusuknya bakal patah.

"Go on, Raven!" pekik mama yang kemudian tampak berseteru sengit dengan suaminya. Niklas menghantam random semua barang di ruangan dan mama terus mengelak sambil mencaci-makinya.

Retak, pecah, hancur, patah. Segalanya rusak di tangan Niklas. Di tengah kekacauan yang sedang berlangsung, suaraku bergetar tak kuasa. Mau tak mau, aku harus meneruskan nyanyianku.

Angel have no thoughts of ever returning you

Would they be angry if I thought of  joining you

"Sudah kubilang jangan pernah menyanyikan lagu itu di rumahku, Edith!" lirih papa saat tangannya berhasil merantap rambut mama. Dijambaknya mama sampai terpekik. Namun mama tampak tak gentar, beliau berhasil mendorong Niklas dan melepaskan diri. Mama terus bernyanyi dengan nada lirih mengejek. Meringis sombong memamerkan deretan gigi. Tak peduli darah segar mengucur dari celah bibirnya.

Gloomy Sunday …

"Diam! Kubilang berhenti! Kau mengerti bahasa manusia atau tidak?"

Gloomy is Sunday with shadows I spent it all

My heart and I have decided it to end it up

Tangan kiri Niklas terkepal keras, sementara tangan kanannya meremas kuat tongkat golf emas. Aku tak tahan memandang wajah bengisnya tanpa keinginan besar untuk menghajarnya. Menghentikannya. Tetapi serangan fisikku takkan bisa menyentuhnya, satu-satunya cara untuk menghukumnya adalah dengan terus bernyanyi. Hanya suaraku yang bisa menembus dimensi Niklas.

"Kau benar-benar menantangku, wanita keparat!"

Mama terus mengiringiku. Sedangkan aku sungguh tak kuasa melihat kekerasan dalam rumah tangga yang sedang terjadi. Demi Tuhan, aku tak tahu apa maksud semua ini.

Soon there'll be candles and prayers that are sad

I know

Let them not weep

Let them know that I'm glad to go

Papa meraung tepat di depan wajah mama. "Diam atau kubunuh kau, Edith. Diam! I swear to Satan."

Namun bait-bait itu terus berlanjut, terus kurapal ulang seperti mantra yang ampuh mengutuk Niklas. Mengubahnya menjadi monster tak bernurani.

Death is no dream

For in death I'm caressing you

With the last breath of my soul

I'll be blessing you

Dengan manuver tak terduga, lagi-lagi kedua tangan Niklas berhasil menjangkau mama. Kini Niklas menangkup leher mama. Tanpa pikir dua kali, jemari besar lelaki itu mencengkeram erat pusat organ artikulasi istrinya. Sebagaimana mama tercekik, sakit serupa terasa pula padaku.

"I kill you."

"Harder!" tantang mama menambah murka suami iblisnya. "Why are you so weak? Come! Kill me, you son of a bitch!"

Dan Niklas melakukannya tepat di depan mataku. Menghempas mama ke dinding, menampar, merobek gaunnya, dan membanting lagi tubuh tak berdaya itu ke lantai seperti sampah. Tanpa ampun lelaki itu memukul istrinya dengan tongkat golf emas. Kupejamkan mata yang telah menganak sungai. Berusaha menutup telinga dari ratapan mama dengan bernyanyi lebih keras. Aku menangis terisak-isak, kontras dengan mama. Tak ada kesedihan. Hanya kebencian dan rasa sakit menyeruak dari matanya saat menatap lelaki jahanam di atas tubuhnya.

Gloomy Sunday …

"Don't stop, Raven!" pinta mama dengan nada merintih oleh siksaan yang sedang menderanya.

Dreaming, I was only dreaming

I wake and I found you asleep in the deep of my heart

Here

Kini suaraku berhasil meresap jauh ke dalam jiwa Niklas. Lagu yang kunyanyikan seperti racun untuknya. Sama seperti mama, kusaksikan secara mental papa juga sangat tersiksa. Mereka berdua saling menyiksa tanpa henti. Setiap hari papa memukul mama. Setiap hari pula, mama menekan psikologis papa dengan menyanyikan lagu itu. Sebagai bayang-bayang, kuanggap semua yang kulihat hanya mimpi buruk semata.

Pernah aku berhenti bernyanyi untuk menghentikan pertengkaran mereka. Kupikir papa akan berhenti. Tapi aku salah. Lelaki itu baru mengakhiri siksaannya setelah mendapat klimaks yang hebat. Persetubuhan tak wajar. Mama sadar atau pingsan, lelaki itu tak peduli.

Darling I hope that my dream never haunted you

My heart is telling you

How much I wanted you

Anehnya, setelah mama pingsan dan nafsunya lepas, saat itu pula Niklas berubah menjadi manusia. Dia menangis, meraung, menyesal, dan sibuk mengutuk diri sendiri. Dia membawa mama ke pelukan penuh cinta, menggendongnya, dan mengobati sendiri luka-lukanya. Dia menjelma menjadi malaikat tanpa sayap, memperlakukan mama seperti ratu.

Hal yang sama berlaku pula pada mama. Kusaksikan sendiri bagaimana mama terbangun dari pingsan dan menemukan papa ketiduran menjaganya dengan mata sembab habis menangis. Mama menjelma menjadi bidadari. Ia merapat ke tubuh papa, mencium, membisikkan kata-kata cinta, dan memeluk papa sepanjang malam. Sama sekali tak mempedulikan tubuhnya yang sakit akibat pukulan tongkat golf emas.

Gloomy Sunday …

Sampai detik ini, aku tak mengerti seperti apa hubungan papa dan mama. Perangai mereka sangat absurd, seperti pasangan yang sama-sama menderita kepribadian ganda, membuatku gila. Bersamaan dengan lagu yang usai, delusi sporadis yang kualami berangsur hilang. Aku belum menemukan keseluruhan jejak motif hidup mereka. Ya, aku belum mendapatkan kronologisnya. Dan untuk itu, aku butuh Alfon yang akan membantu menyusun potongan-potongan delusiku.

Gloomy sun …

Tirai panggung delusiku perlahan menutup, mata kesadaranku perlahan membuka. Wajah dingin Niklas berganti dengan wajah hangat familiar. Dia tersenyum, aku menangis sesenggukan.

"Terima kasih telah menonton pertunjukanku, Alfonso Clarke."

Psikiater tampan itu masih tersenyum hangat saat menganggukkan kepala.

*

"Raven, aku sudah menemukan caranya!"

Suara Alfon membawaku kembali seutuhnya ke dunia nyata. Kamar yang hancur berkeping-keping oleh pertengkaran Niklas dan Edith kini utuh seperti sedia kala. Alfon sedang bertopang dagu di badan piano, tak berkedip menatapku.

"How?" suaraku menguar serak.

Alfon mengembus napas panjang dan menjulurkan tangannya untuk menyeka air mata di wajahku.

"Selama ini kau mengalami delusi dengan bernyanyi. Kau berperan sebagai mitra mamamu. Jadi kau lebih melihat segalanya dari sudut pandang seorang Edith Svastika." Kemudian Alfon menunjukkan sebuah alat perekam di atas badan piano. "Tadi aku sudah merekam suaramu. Sekarang kau bisa jadi pendengar dan bermitra dengan papamu. Mungkin dengan mengetahui kasusnya dari sudut pandang Niklas, kau bisa mendapatkan kronologis permasalahannya. Kau paham, kan?"

Aku berpikir sejenak, lalu mengangguk begitu saja. Setuju untuk mencoba ide dan metode Alfon. Mungkin segala masalahnya memang bermula dari Niklas. Ya, papa lah yang terkutuk, bukan mama. Niklas lah sumber masalahnya.

Tapi, apakah aku sanggup menjadi bayangan seorang Niklas untuk menjabarkan segala yang terjadi sampai dia jadi manusia se-berengsek dan sehina itu?

Hah.

Aku tak yakin sanggup melakukannya.

*