Chereads / Genggam atau Lepas? / Chapter 2 - Ampun ayah

Chapter 2 - Ampun ayah

HAI TERIMA KASIH YANG SUDAH BACA😊BANTU CERITA INI JUGA YAH BIAR BERKEMBANG 😊TERIMA KASIH🙏

SELAMA MEMBACA💕

____________________

"Apapun yang terjadi kita harus kuat

menghadapi semua ini."

_Galih Ginanjar_

************

Bugh

Bugh

Bugh

"DASAR CACAT. GAK ADA GUNANYA KAMU! SELALU SAJA NYUSAHIN, KAPAN SIH KAMU MATINYA?!" sambil memukul-mukul Galih dengan ujung Kepala sabuk.

Galih meringis kesakitan. "Ampun ayah. Ini sangat sakit."

"Biarin biar mati sekalian!"

Setelah itu Roy pergi meninggalkan Galih, membiarkan Galih yang sedang kesakitan.

Galih berusaha bangun, ia berusaha mengambil tongkat yang sedikit jauh dari dirinya. Air mata Galih tidak bisa dibendung , ia menangis dalam diam.

Akhirnya Galih bisa mengambil tongkatnya, ia berusaha menuju kasur. Badannya sakit semua, Galih harus kuat.

Galih melihat keadaan dengan banyak luka, ia harus sabar menghadapi semua ini.

******

Galih tersenyum senang, ia akan mendapatkan teman baru di sekolah barunya nanti. Galih sudah tidak sabar, ia menuruni tangga satu persatu dengan hati-hati, dengan bantun tongkatnya ia bisa berjalan.

"Mau apa kamu?!" tanya Lala

"Saya mau ikut sarapan mah." Galih tersenyum dan duduk di kursi makan.

"Suruh siapa kamu duduk? Bangun saya tidak mau ada hama di sini!" perintah Lala.

"Tapi ma--"

"Bangun atau saya pukul!" Marah Roy.

Galih bangun dari duduknya, ia memperhatikan mereka yang sedang sarapan.

"Pagi mah, yah."

"Pagi sayang."

Galih tersenyum lirih, ia melihat pemandangan yang begitu ia rindukan.

"Ayo makan dulu." ajak Lala.

"Oiya, mah, yah. Besok Galuh ada turnamen basket disekolah." ucap Galuh.

"Ayah senang, kamu anak yang berprestasi. Nggak kaya dia." ucap Roy sambil melirik Galih yang sedang menundukkan kepala.

Akhirnya mereka telah selesai makan, mereka pergi untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Galih tersenyum senang, ia duduk di meja makan dan mengambil bekas makanan kedua orang tuanya dan juga kembarnya.

Sisa makanan itu, Galih satukan di piring dan ia mulai makan

Walaupun sisa, Galih bersyukur. Karena ia dapat makan hari ini. Setelah selesai makan, Galih pergi ke sekolah, ia tidak menaik kendaraan ataupun itu. Tapi, Galih ke sekolah jalan kaki karena jaraknya tidak terlalu jauh. Paling hanya tiga puluh menitan baru sampai.

Galih jalan menggunakan tongkatnya, walaupun susah Galih tidak akan menyerah.

Galih tersenyum senang, akhirnya sudah sampai. Ia masuk menuju ruang kepala sekolah.

******

"Perhatiannya dulu sebentar, hari ini kita kedatangan anak baru." ucap bu Clara.

"Ayo masuk." lanjutnya.

Galih tersenyum lebar "Perkenalkan sama saya Galih Ginanjar, semoga kita berteman baik."

Hening. Galih heran kenapa semuanya mendadak hening, apa semua tidak suka kehadiran dirinya?.

"Baiklah Galih silahkan duduk di kursi paling belakang itu yah."

Galih mengangguk mengerti dan duduk apa yang di perintahkan oleh guru, setelah itu mulai belajar.

.

.

.

.

Akhirnya kelas telah selesai. Galih sedikit kewalahan karena materinya sempat tidak mengerti, tapi sekarang ia sudah mengerti.

Bugh

Galih kaget, kepalanya menatap orang yang tadi memukul meja tepat dihadapannya.

"Woi cacat, awas!"

Galih menggeser.

"Gue bilang awas, bukan geser!"

"T-tapikan ini tempat duduk saya."

"Gue gak peduli, sana pergi!"

Galih pergi dari tempat duduknya, ia bingung harus duduk dimana karena satu pelajaran terakhir akan dimulai.

Guru sudah masuk, tapi Galih bingung tidak tahu harus duduk dimana.

"Loh Galih bukannya duduk?" tanya bu Clara.

"Saya tidak ada tempat duduk bu."

Mata Clara mencari tempat yang kosong. "Nah itu."

Galih berbalik, matanya tertuju pada kursi yang kosong.

"Bukannya tadi ditempati oleh orang tadi?" batinnya.

"Sana duduk."

"Iya bu."

******

Galih bekerja di salah satu warung yang lumayan ramai, Galih bersyukur, ia bisa bekerja ditempat ini. Karena pemiliknya begitu baik terhadap Galih, sungguh mulia sekali bapak itu.

"Nak, tolong antar ke meja itu yah." ucap pak Wawan.

Galih mengangguk paham dan menghantarkan pesanan pembeli.

Hari semakin sore akhirnya kerjaannya telah selesai, Galih berpamitan pada pak Wawan dan berjalan menuju tempat kedua ia bekerja.

Galih berhenti ditempat pemakaman, ia mulai bekerja merawat makam.

Mulai dari mencabut rumput, menyapu dan membersihkan apa saja yang ada di sana.

Akhirnya kerjaan yang kedua telah selesai. Galih tersenyum senang, ia senang karena masih dikelilingi oleh orang baik. Galih sangat bersyukur.

Setelah itu Galih menuju tempat ia bekerja yang terakhir, yaitu membantu orang yang berkelainan khusus. Di sana Galih mengajarkan banyak hal, mulai dari berhitung, bercerita dan masih banyak lagi.

Sungguh Galih senang melihat orang-orang yang mau berusaha untuk menjadi orang yang lebih baik lagi.

Saat Galih melihat anak kecil yang sedang murung, ia menghampiri anak kecil itu.

"Hai kenapa cemberut begitu?"

Anak kecil itu menatap Galih, lalu memeluk Galih. "Ka, aku tidak mau seperti ini."

Galih mengelus punggung anak kecil itu. "Tidak mau seperti apa?"

Anak kecil itu mengusap air matanya dan melepaskan pelukannya. "Aku ingin seperti anak-anak lainnya, yang selalu pergi kemana-mana. Sedangkan aku? aku hanya duduk di kursi roda ini."

Galih mengerti, ia paham apa yang dimaksud anak itu. Lalu meraih tangan anak itu dan menatap anak itu. "Kamu tidak perlu sedih, kakak paham ko. Tapi, kamu harus bersyukur karena Tuhan ciptakan umatnya semuanya sempurna tidak ada yang tidak sempurna."

"Ini tidak sempurna ka."

"Lihat orang itu," sambil menunjuk ke orang yang tidak mempunyai kaki, "Kamu seharusnya bersyukur, karena masih ada yang kurang dari kamu."

Anak kecil itu menatap kearah yang ditunjuk Galih. "Kasihan sekali dia."

"Oiya nama kamu siapa?" tanya Galih lembut.

"Aku Cantika, ka."

Galih tersenyum dan mengelus rambut Cantika. "Pantas orangnya cantik, namanya juga cantik." sambil terkekeh.

Cantika tersenyum malu.

"Gitu dong senyum, kan tambah cantik. Ayo kita samperin orang itu."

"Let's go."

.

.

.

.

Galih mendekati orang yang tadi ia tunjuk. "Hello." ramahnya.

Orang itu menengok.

"Boleh duduk?"

Orang itu mengangguk.

"Kalau boleh tahu nama kamu siapa?"

"Aku Adit, ka."

Galih terseyum ramah. "Kenalkan kakak Galih dan ini Cantika."

"Hai ka Adit." ucap Cantika.

Adit tersenyum dan mengangguk.

"Kamu sedang apa disini? kenapa tidak main dengan teman yang lainnya?"

"Mereka tidak mau bermain denganku, ka." lirihnya.

Sebenarnya Galih sakit karena mendengar hal ini, kenapa orang-orang selalu menilai dari luar saja?.

"Kalau begitu ayo bermain dengan kakak."

******

Galih pulang melalui pintu belakang, ia bergegas menuju kamar dan mengganti pakaiannya dengan yang lebih santai. Setelah itu Galih mencuci piring, bersih-bersih dan masak untuk makan malam.

Setelah selesai Galih menghampiri keluarganya yang ada di ruang keluarga.

"Makanannya sudah siap."

Mereka hanya berdekhem dan menuju meja makan.

Baru saja Galih ingin duduk, tapi sudah ada perintah.

"Mau ngapain kamu?!" tanya Lala.

"M-makan."

"Pergi dari sini, selera makan saya hilang jika liat muka kusut kamu!" perintah Roy.

"Sana pergi!" ucap Galuh.

"T-tapi saya juga lapar."

"Lo gak denger nyokap bokap gue yah?!"

Galih tetap diam, ia menunduk takut.

"Sini ikut saya!" ucap Roy sambil menarik kerah belakang baju Galih kuat.

Roy membanting tubuh Galih, "Kamu itu tuli yah, hah?" sambil memukul-mukul tubuh Galih.

"Ampun ayah, maafin Galih." sambil berusaha menghindar pukulan Roy.

Roy menarik Galih kasar dan membawa kedalam kamar mandi. Roy menyelamkan kepala Galih dan mengangkat kepala Galih, kemudian menyelamkan lagi dan mengangkat kepala Galih lagi, sampai beberapa kali.

Galih kewalahan, ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Setelah itu Roy membenturkan kepala Galih ke tembok, sampai kepala Galih berdarah, tidak hanya itu Roy mengguyur Galih berkali-kali.

Puas dengan kelakuannya, Roy keluar dan mengunci Galih.

Galih menangis dalam diam, ia begitu sakit. Mereka begitu kejam.

"Padahal saya ingin ikut gabung kalian, apa itu salah?"