Chereads / GAGAK LEMBAYUNG / Chapter 2 - TIGA PANGLIMA SAKTI PENUNGGU HUTAN LARANGAN.

Chapter 2 - TIGA PANGLIMA SAKTI PENUNGGU HUTAN LARANGAN.

Tiga bayangan hitam berkelebat menembus pepohonan yang lebat dan berduri. Ketiga bayangan hitam itu loncat dari satu dahan ke dahan yang lain secara cepat, seakan akan terjadi kompetisi adu kekuatan diantara tiga bayangan tersebut. Masing-masing dari ketiga bayangan tersebut mengeluarkan sinar ungu dari tubuh mereka. Sinar tersebut saling bertubrukan dengan sinar ungu lainnya dan mengeluarkan sedikit suara dentuman. Ketiga bayangan hitam tersebut dengan cepat melesat terbang dari atas pepohonan menuju angkasa, laksana burung elang yang sedang menyambar seekor burung kecil yang terbang di udara. Ketika sampai di udara, tiba-tiba saja ketiga bayangan hitam tersebut berhenti melesat. Ketiga bayangan tersebut hanya melayang-layang ditengah udara membentuk tiga barisan saling berhadapan, lalu berangsur-angsur membentuk tubuh laki-laki tua berpakaian hitam dan berjanggut putih panjang.

" Gimana adik-adikku. Walaupun kakangmu ini sudah tua, tapi tenagaku ini tak berkurang sedikitpun. Buktinya, aku masih mampu mengalahkan kalian berdua dalam adu ilmu kanuragan." Ujar salah satu kakek yang paling tua diantara mereka bertiga.

" Memang benar-benar mantap kakang Gedheng Sedhang Kasih ini. Walaupun kakang yang paling tua diantara kita bertiga, tapi tenaga kakang masih yang paling unggul." Puji kakek tua kedua .

" Benar yang diucapkan oleh kakang Gedheng Tapa. Tiada orang yang mampu mengalahkan ilmu kanuragan kakang Gedheng Sedhang Kasih. Kita berdua salut akan hal tersebut." Puji kakek tua ketiga.

" Ha.ha.ha… kalian berdua bisa saja memuji. Tapi,walau bagaimanapun ilmu kanuragan Adik Gedheng Tapa dan Adik Rahyang Dewa Niskala masih tak kalah unggulnya dari yang lain." Balas sang kakek tua pertama." Mari adik-adikku. Mari kita kembali ke tanah. Tidak nyaman juga berlama-lama melayang di atas udara yang dingin ini."

" Sebentar dulu kakang, rasanya aku mendengar suara tangisan bayi. Dan rasanya, tangisan itu tidak jauh dari tempat kita mengudara." Potong Ki Rahyang Dewa Niskala, si kakek tua yang paling muda.

" Benar juga kata Dik Rahyang Dewa Niskala. Akupun mendengar suara tangisan bayi. Sepertinya suara tersebut berasal dari arah sebelah pinggir utara hutan ini. Mari adik-adikku, mari kita tengok kesana. Mungkin saja terjadi sesuatu yang tidak baik dengan bayi itu." Ajak Ki Gedheng Sedhang Kasih kepada dua adiknya. Dengan secepat kilat, ketiga kakek-kakek itu langsung melesat menuju ke arah suara tangisan bayi.

" Dengar wahai kakang-kakangku, suara tangisan bayi itu itu berasal dari arah gubuk kecil itu." Teriak Ki Rahyang Dewa Niskala sambil jarinya menunjuk ke arah gubuk kecil. Mereka bertiga langsung melesat turun menuju tempat yang telah dituju.

Sesampainya di gubuk tua itu,

" Oh, ternyata bayi mungil yang sangat tampan. Siapa pemilik bayi ini. Orang tua mana yang telah begitu tega meninggalkannya." Desah Ki Gedheng Sedhang Kasih dengan nada sedih usai melihat bayi tersebut. Ia langsung menimangnya dengan penuh kasih sayang.

" Kelihatannya dia lapar kakang. Bibirnya terlihat mengecap-ngecap seperti minta disusui oleh ibunya." Ujar Ki Gedheng Tapa memberikan pendapat. Dia mencoba menyapu bibir bayi tersebut dengan jarinya. Usai menyapu bibir bayi itu dengan jarinya, ia langsung bertanya kepada Ki Rahyang Dewa Niskala.

" Adik Rahyang, apakah kamu masih menyimpan madu pemulih raga. Bila ada, berikan beberapa tetes pada bayi ini. Siapa tau laparnya akan hilang dengan madu tersebut."

" Ada kakang. Madu ini selalu aku bawa kemanapun aku pergi. Ini madunya." Jawab Ki Rahyang Dewa Niskala, sambil memberikan madu pemulih raga yang biasanya ia simpan dibalik kain sabuk hitam pinggangnya. Ki Gedheng Tapa langsung memberikan beberapa tetes madu ke bibir bayi itu. Tampak sang bayi begitu menikmatinya dengan lahap. Suara tangisannya mulai mereda seiring dengan masuknya beberapa tetes madu ke perutnya.

" Ah, ternyata ia menikmati setiap tetes madu ini." Ki Gedheng Sedhang Kasih berbisik lega.

" Menurut kakang bagaimana?" Tanya Ki Gedheng Tapa.

" Apakah kakang berniat membawa bayi ini ke padepokan kita ?"

" Bagaimana menurutmu Adik Tapa?" Ki Gedheng Sedhang Kasih balik bertanya.

" Menurut adik sekiranya Kakang Sedang Kasih tak keberatan, lebih baik bayi ini kita bawa ke Padepokan kita. Disini terlalu berbahaya bagi sang bayi. Siapa tau anak ini bisa menjadi penerus kita kelak." Jawab Ki Gedheng Tapa.

" Menurut Adik Rahyang sendiri bagaimana ?"

" Kalau adik terserah kakang berdua saja. Memang terlalu beresiko sekali meninggalkan bayi ini sendiri." Jawab Ki Rahyang Dewa Niskala.

" Kalau begitu mari kita tinggalkan gubuk ini. Kita atur rencana masa depan untuk bayi ini." Ki Gedheng Sedhang Kasih langsung mengajak kedua adiknya untuk kembali ke Padepokan mereka. Bayi itu ia dekap dengan lembut di dadanya. Dengan seketika ketiga kakek tua itu langsung melesat menuju ke arah gunung dimana padepokan mereka berada.

Hari terlihat sudah menjelang sore. Sayup angin dingin berhembus kencang seakan memerintahkan para petani untuk berhenti dari aktifitasnya dan kembali ke rumah masing-masing. Perlahan sang mentari mulai turun dari singsana siangnya dan hari mulai berganti malam. Yang tersisa untuk malam ini hanyalah nyanyian derik jangkrik dan burung hantu di iringi lantunan sepoi angin malam. Begitu sangat dingin dan mencekam. Kabut mulai turun menyelimuti sisi lereng pegunungan yang penuh dengan pepohonan besar nan lebat. Sungguh memberikan kesan yang sangat angker bagi orang yang menyaksikannya.

*****

Sesampai di Padepokan, ketiga kakek tua itu disambut hangat oleh Nyi Padmawati, istri dari Ki Gedheng Sedhang Kasih. Padepokan ini dinamakan Padepokan Salaka. Padepokan Salaka boleh dibilang Padepokan Gaib. Kenapa dibilang Padepokan Gaib?- karena tiada satu orangpun bisa melihat ataupun mengetahui keberadaannya. Padepokan ini bisa dibilang tempatnya para mantan prajurit-prajurit sakti pengikut setia Prabu Siliwangi yang moksa di zaman lampau.

Nyi Padmawati begitu terkejut ketika suami beserta adik-adiknya membawa bayi mungil yang tampan.

" Bayi siapa ini kakang ?" Tanya Nyi Padmawati kepada suaminya." Sungguh tampan sekali rupanya." Ia langsung mengambil bayi tersebut dari dekapan suaminya. Ia menimang-nimangnya dengan penuh kasih sayang.

" Entahlah, kami baru saja menemuinya di gubuk dekat tepi batas hutan ini. Ia menangis keras karena lapar." Jawab Ki Ghedeng Sedhang Kasih.

" Sungguh malang sekali nasib bayi ini. Siapa pula yang tega meninggalkan bayi tampan nan rupawan ini sendirian di pinggir hutan." Ujar Nyi Padmawati dengan nada iba. Dibelainya kepala bayi tersebut dengan penuh rasa kasih sayang. Dia membuka selimut lembut yang membungkus bayi tersebut.

" Lihat kakang, ada tanda hitam membentuk gambar gagak di kanan dadanya. Dan diselimut ini tercetak aksara yang dipakai oleh manusia zaman sekarang. Aku pernah sedikit mempelajarinya dari benda yang jatuh hancur itu. Kakang masih ingat kan?- tiga tahun yang lalu pernah jatuh seekor burung besi raksasa yang dikendarai oleh manusia. Aku ada sedikit mengambil beberapa barang dari sisa pecahan burung besi itu untuk aku pelajari."

" Kakang masih ingat kejadian tiga tahun lalu. Kejadian itu sungguh tragis. Banyak manusia yang tidak dapat diselamatkan. Semuanya hancur lebur menjadi serpihan-serpihan kecil. Hanya barang-barang yang terlempar jauh keluar dari perut burung besi itu saja yang masih sedikit utuh." Kenang Ki Ghedeng Sedhang Kasih.